Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Menyelami Budaya Banten: Atraksi dan Tradisi dalam Lintasan Sejarah Keislaman
18 November 2024 18:20 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Adiatma Fadli Nugraha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Michael C. William menuturkan, secara keseluruhan Banten sejak abad ke 19 secara ekonomis dan politis memang terpencil. Ketika Islam masuk di Banten, masyarakatnya sudah mempunyai kebudayaan yang amat kuat, sebelum Islam berkembang di Banten, masyarakat Banten masih hidup dalam tata cara kehidupan tradisi prasejarah dan dalam abad-abad permulaan masehi ketika agama Hindu berkembang di Indonesia. Namun setelah masuknya peradaban, Banten justru tercatat pernah menjadi kerajaan Islam. Islamisasi budaya yang terjadi di Banten melahirkan sederet budaya khas Banten, di antaranya debus dan dzikir mulud.
ADVERTISEMENT
Islam dalam budaya Banten
Kerajaan Islam di Banten saat itu lebih dikenal oleh masyarakat Banten dan sekitarnya dengan sebutan Kesultanan Banten. Pengaruh yang besar diberikan oleh Islam melalui kesultanan dan para ulama serta mubaligh Islam di Banten, tidak dapat disangsikan lagi dan penyebarannya melalui jalur politik, pendidikan, kebudayaan dan ekonomi di masa itu. Dalam perjalanan sejarahnya, menurut Hoesein Djajadiningrat, bahwa penyebaran Islam di Banten dilakukan oleh Syarif Hidayatullah, pada tahun 1525 M dan 1526 M.
Adapun tugasnya dalam penyebaran Islam di Banten diserahkan kepada Pangeran Hasanuddin, di dalam usaha penyebaran agama Islam ini Pangeran Hasanuddin berkeliling dari daerah ke daerah seperti dari Gunung Pulosari, Gunung Karang bahkan sampai ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon. Masyarakat Islam Banten, dalam tradisi keislaman di Indonesia pada masa lalu, dikenal lebih sadar-diri dibandingkan dengan daerah lainnya di Jawa. Banten yang pernah menjadi pusat kerajaan Islam juga dikenal penduduknya sangat taat beragama. Seni budaya Banten merupakan kesenian peninggalan sebelum Islam dan dipadu atau diwarnai dengan agama Islam. Misalnya arsitektur masjid dengan tiga tingkat sebagai simbolisasi Iman, Islam, Ihsan, atau Syari’at, Tharekat, Hakekat.
ADVERTISEMENT
Di antara banyaknya kesenian Banten, tulisan ini menyajikan dua seni budaya Banten, yaitu debus dan dzikir mulud.
Debus adalah seni pertunjukan yang memperlihatkan permainan kekebalan tubuh. Debus berasal dari “dabus” yang artinya paku atau peniti, yakni suatu “permainan” dengan senjata tajam yang dengan keras ditikamkan ke tubuh para pemainnya. Di Banten ada beberapa macam debus, yakni debus al-Madad, Surosowan dan langitan. Dinamakan debus al-madad (artinya meminta bantuan atau pertolongan) karena para pemainnya setiap kali melakukan aksinya selalu mengucapkan kata-kata al-madad, yang seolah menggambarkan bahwa tindakan ini didasarkan atas pertolongan dari Allah SWT.
Debus al-madad merupakan debus yang paling berat karena untuk melakukan permainan ini khalifahnya (pemimpin group) harus melakukan amalan yang sangat panjang dan berat. Amalan-amalan khalifah debus ini diambil dari tarekat Rifaiyah atau Qodariyah. Sehingga seseorang yang mendapat ijazah untuk menjadi khalifah dari permainan debus ini adalah mereka yang telah dianggap mampu atau lulus menempuh suatu perjalanan panjang dalam mengamalkan suatu do’a-do’a tertentu, melaksanakan puasa dan meditasi lama. Sedangkan Dzikir Mulud yaitu kesenian tradisional rakyat Banten yang menggunakan media gerak dan lagu (vokal) dan syair-syair yang dilantunkan mengagungkan Asma Allah dan pujian kepada Nabi Muhammad saw.
ADVERTISEMENT
Debus dan Dzikir Mulud: Islamisasi Budaya Khas Banten
Debus lebih dikenal sebagai kesenian asli masyarakat Banten, yang berkembang sejak masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1532- 1570), Debus dalam bahasa Arab yang berarti senjata tajam yang terbuat dari besi, mempunyai ujung yang runcing dan berbentuk sedikit bundar, digunakan untuk melukai diri sendiri. Oleh karena itu kata debus dapat diartikan sebagai tidak tembus. Debus adalah salah satu ilmu warisan leluhur yang cukup dikenal hingga kepelosok Nusantara. Atraksi memotong lidah, memotong anggota badan yang lain juga sering kali dipertontonkan baik dalam negeri hingga ke mancanegara. dalam rangka penyebaran agama Islam.
Agama Islam diperkenalkan ke Banten oleh Sunan Gunung Jati, salah satu pendiri Kesultanan Cirebon, pada tahun 1520, dalam ekspedisi damainya bersamaan dengan penaklukan Sunda Kelapa. Kemudian, ketika kekuasaan Banten dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682), debus difokuskan sebagai alat untuk membangkitkan semangat para pejuang dalam melawan penjajah Belanda.
ADVERTISEMENT
Menurut catatan sejarah, Debus itu sendiri sebenarnya ada hubungannya dengan tarikat Rifaiah. Tarikat ini dibawa oleh Nurrudin Ar-Raniry ke Aceh pada abad 16. Tarikat ini ketika melakukan suatu ritual sedang dalam kondisi epiphany (kegembiraan yang tak terhingga karena “bertatap muka” dengan Tuhan), mereka kerap menghantamkam berbagai benda tajam ke tubuh mereka. Filosofi sederhananya adalah “la haula wala Quwwata illa billah al-‘aliyy al-adzhim” atau tiada daya upaya melainkan karena Allah semata. Jadi kalau Allah tidak mengijinkan pisau, golok, parang atau peluru sekalipun melukai mereka, maka mereka tak akan terluka. Keyakinan kepada Allah model inilah yang menjadikan debus hingga saat ini masih terus dikenal bahkan menjadi warisan budaya.
Dalam melakukan atraksi ini setiap pemain mempunyai syarat-syarat yang berat, sebelum pentas mereka melakukan ritual-ritual yang diberikan oleh guru mereka. Biasanya dilakukan 1-2 minggu sebelum ritual dilakukan. Selain itu mereka juga dituntut mempunyai iman yang kuat dan harus yakin dengan ajaran Islam. Pantangan bagi pemain debus adalah tidak boleh minum minuman keras, main judi, bermain wanita, atau mencuri. Dan pemain juga harus yakin dan tidak ragu-ragu dalam melaksanakan tindakan tersebut, pelanggaran yang dilakukan oleh seorang pemain bisa sangat membahayakan jiwa pemain tersebut.
ADVERTISEMENT
Selain debus, warisan budaya yang cukup kental dengan orang Banten adalah dzikir mulud.
Istilah maulid atau mulud dipergunakan bagi peringatan dan perayaan hari jadi seorang yang dianggap suci, laki-laki atau perempuan, muslim, Kristen atau Yahudi yang sudah meninggal. Namun istilah ini kemudian populer dipergunakan bagi kelahiran Nabi Muhammad. Perayaan Maulid Nabi Muhammad saw. pertama kali dilakukan pada zaman Fathimiyyah (dinasti yang didirikan pada 920 M) yang bermadzhab Syi’ah. Banten begitu kental dengan budaya Islam. Salah satunya adalah Dzikir Mulud atau yang dikenal pula dengan seni Saman.
Seni Saman adalah kesenian tradisional rakyat Banten khususnya di Kabupaten Pandeglang yang menggunakan media gerak dan lagu (vokal) dan syair-syair yang dilantunkan mengagungkan asma Allah dan pujian kepada Nabi Muhammad saw. Tradisi di Banten sendiri, dzikir mulud biasasnya dimulai dengan alunan seni rebana yang membuka rangkaian perayaan. Rebana biasanya disandingkan dengan pembacaan salawat dan maulid Nabi yang kental nuansa ke Islamannya. Perayaan semakin meriah dengan adanya arak-arakan serta sajian aneka makanan. Demikian pula dengan pembakaran petasan, membuat suasana perayaan semakin terasa. Uniknya, semua itu dilakukan warga sekitar sambil berkeliling kampung.
ADVERTISEMENT
Tradisi panjang mulud konon diwariskan sejak jaman Sultan Ageng Tirtayasa. Panjang Mulud adalah tempat untuk mengangkut makanan, yang dibagikan pada perayaan Maulid atau hari lahir Nabi Muhammad SAW. Istilah atau penyebutan “panjang” ini pun berbagai makna, ada yang menterjemahkan bentuk dari sesajian itu sendiri karena banyaknya panjang yang ditampilkan atau bentuk kapal yang panjang, ada juga yang mengartikan karena panjangnya prosesi yang harus dilalui dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad saw ini. Panjang adalah tempat menaruh makanan dalam bentuk replika berbagai aneka, mulai dari bentuk kendaraan, masjid, perahu dan lainnya. Dari pemaknaan awal berkembang bukan hanya menaruh makanan, tapi merupakan memajangkan dan menyumbangkan hadiah berupa makanan yang khas.
Tradisi panjang mulud konon diwariskan sejak jaman Sultan Ageng Tirtayasa. Panjang mulud adalah tempat untuk mengangkut makanan, yang dibagikan pada perayaan Maulid atau hari lahir Nabi Muhammad SAW. Seiring dengan berjalannya waktu, bentuk Panjang Mulud kini juga mengikuti perkembangan budaya populer. “Apapun hasil kreasi seni ini tak diharamkan, selama mengikuti koridor,” kata Ardi salah satu peserta perayaan panjang mulud, saat diminta tanggapannya terkait puncak tradisi keagamaan di Serang tersebut. Dari telaah di atas, entitas debus dan dzikir mulud dalam masyarakat Banten memiliki pengaruh yang melewati batas-batas geografis karena kharisma yang dimilikinya.
ADVERTISEMENT
Adiatma Fadli Nugraha, Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.