Konten dari Pengguna

Kala Mayoritas Penduduk Negeri Ini tak Mampu Makan Bergizi

Adib Achmad
Mahasiswa Fakultas Kedokteran UIN Jakarta
17 Desember 2022 13:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adib Achmad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://cdn.pixabay.com/photo/2017/09/16/19/21/salad-2756467_1280.jpg
zoom-in-whitePerbesar
https://cdn.pixabay.com/photo/2017/09/16/19/21/salad-2756467_1280.jpg
ADVERTISEMENT
Riset milik tim jurnalisme data Harian Kompas yang baru saja dirilis (9/12) mengungkapkan bahwa lebih dari separuh penduduk Indonesia—68 persen atau sekitar 183,7 juta orang—tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi harian mereka. Fakta ini diambil berdasarkan perhitungan biaya harian orang Indonesia dalam membeli kebutuhan bergizi seimbang berdasarkan standar komposisi gizi Healthy Diet Basket (HDB) yang juga dipakai Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), yakni sebesar Rp22.136 per hari atau sekitar Rp663.791 per bulan.
ADVERTISEMENT
Dengan angka tersebut, hanya sekitar 32 persen penduduk Indonesia yang mampu memenuhi biaya kebutuhan gizi seimbang. Tiga besar provinsi yang tidak memiliki akses makanan bergizi dengan persentase tertinggi antara lain Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar 78 persen, Maluku Utara 70 persen, dan Sulawesi Barat 69 persen. DKI Jakarta sendiri berada di tiga besar persentase terendah dengan angka 28 persen.
Gizi dalam asupan makanan sendiri memiliki peran yang vital dalam pertumbuhan dan perkembangan fisik manusia mencakup seluruh kelompok umur. Pola makan dengan gizi yang optimal dapat berdampak pada berat badan yang normal dan membuat tubuh memiliki metabolisme yang baik, sehingga tidak mudah terinfeksi penyakit dan membuat produktivitas meningkat. Dalam cakupan yang lebih luas, apabila setiap manusia memenuhi kebutuhan gizi yang seimbang, maka kualitas sumber daya manusia suatu negara akan mencapai perwujudan yang lebih baik.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, apabila manusia sulit mencapai tingkat gizi yang optimal, maka kesehatan di dalam tubuhnya akan mudah terinfeksi penyakit, khususnya penyakit kanker; diabetes; hingga kardiovaskular seperti stroke, hipertensi, jantung, pembuluh darah, dan lainnya. Data Kementerian Kesehatan membuktikan bahwa lebih dari separuh kematian di Indonesia disebabkan karena ragam penyakit tersebut.
Pola gizi yang optimal sendiri bukan berarti mengonsumsi makanan dengan komposisi gizi berlebih apalagi kurang, melainkan harus seimbang. Gizi seimbang didefinisikan dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 41 Tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang sebagai susunan pangan sehari-hari yang mengandung zat gizi dalam jenis dan jumalh yang sesuai dengan kebutuhan tubuh, dengan memperhatikan prinsip keanekaragaman pangan, aktivitas fisik, perilaku hidup bersih, dan memantau berat badan secara teratur dalam rangka mempertahankan berat badan normal untuk mencegah masalah gizi.
ADVERTISEMENT
Dalam Permenkes tersebut, negara mengatur pedoman gizi seimbang yang harus dipenuhi masyarakat Indonesia dengan prinsip empat pilar, antara lain mengonsumsi anekaragam pangan; membiasakan perilaku hidup bersih; melakukan aktivitas fisik; dan memantau berat badan secara teratur untuk mempertahankan berat badan normal. Permenkes tersebut juga mengatur secara lengkap ragam angka gizi tiap-tiap bahan makanan serta pedoman gizi seimbang untuk ragam kelompok umur.
Pedoman gizi seimbang ini merupakan realisasi dari rekomendari Konferensi Pangan Sedunia pada 1992 lalu di Roma, Italia. Pedoman ini menggantikan moto "Empat Sehat Lima Sempurna" yang dalam Permenkes tersebut dianggap sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang gizi serta tantangan yang dihadapi.
Permenkes tersebut dengan tegas meyakini bahwa dengan mengimplementasikan pedoman gizi seimbang tersebut secara benar, maka semua masalah gizi dapat teratasi. Yang kini menjadi pertanyaan, mengapa lebih dari separuh masyarakat Indonesia—seperti apa yang ditemukan dalam riset Harian Kompas—belum mampu mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang?
ADVERTISEMENT
Kemiskinan dan sulitnya akses mendapatkan makanan bergizi dirasa menjadi faktor utama dalam hal ini. Hasil Analisis Fill the Nutrient Gap (FNG) menjelaskan bahwa kondisi tidak mampunya orang Indonesia dalam mengonsumsi makanan bergizi didorong oleh kurangnya pendapatan di antara sebagian besar rumah tangga. Masalah tersebut ditambah dengan tingginya harga pangan, khususnya pada wilayah-wilayah di timur Indonesia.
Makanan berjenis sayur, buah, dan sumber protein lainnya ditemukan lebih mahal hingga tiga kali lipat dibanding makanan pokok yang hanya memenuhi kebutuhan energi konsumennya. Hal itu membuat lebih dari sepertiga hingga separuh penduduk provinsi-provinsi di timur Indonesia seperti Papua Barat, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur tidak menjangkau makanan bergizi. Ahli Gizi di Sumba Barat Daya, Imelda Tamo Inya juga berpendapat bahwa keterbatasan ekonomi menjadi salah satu faktor dalam pemenuhan gizi, khususnya pada anak usia dini di daerahnya.
ADVERTISEMENT
“Sumber karbo mungkin memenuhi, tetapi vitamin, mineral, protein itu sangat kurang. Untuk anak berusia dua tahun yang gizi buruk itu seharusnya makan telur sehari dua kali. Walaupun sudah kita terus ingatkan, kalau orang tua tidak ada uang ya tidak bisa dibeli juga,” terang Imelda dilansir Kompas (10/12).
Permasalahan ini perlu dikawal bersama. Jangan sampai, hal yang berkaitan dengan pangan dan gizi manusia ini seolah-olah menjadi sebuah masalah yang tak memiliki nilai di negeri ini. Padahal, PBB sendiri melalui pakar nutrisinya, Hilal Elver menyebut ketersediaan makanan bernutrisi adalah salah satu hak asasi manusia.
"Dalam kerangka hak asasi, negara bertanggung jawab memastikan adanya regulasi yang efektif bagi industri makanan. Pembuat kebihakan juga harusnya bebas dari pengaruh sektor swasta dan mengimplementasikan kebijakan untuk melawan kekurangan nutrisi dalam segala bentuk. Langkah pertama yang penting adalah memahami bahwa nutrisi adalah komponen esensial dalam hak asasi manusia terhadap makanan yang cukup," ujar Elver dilansir Kompas (26/10/18).
ADVERTISEMENT
Diperlukannya peran dari ragam kolaborator untuk menyelesaikan masalah ini. Meskipun sulit untuk diatasi dalam waktu yang singkat, setidaknya beban terkait gizi untuk masyarakat Indonesia ini harus diringankan secara perlahan-lahan. Negara sebagai penanggung jawab utama perlu berkoordinasi dengan ragam pelaku terkait agar masalah vital ini dapat teratasi dan mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas.