Konten dari Pengguna

Memahami Perang Dagang AS-Tiongkok dan Maknanya bagi Indonesia

Adib Zaidani Abdurrohman
Diplomasi, Politik Internasional, Ekonomi, Seni Bela Diri, Gadget, Teknologi Informasi, Film dan Musik
1 April 2018 13:35 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adib Zaidani Abdurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Memahami Perang Dagang AS-Tiongkok dan Maknanya bagi Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
Dua jawara ekonomi dunia, Amerika Serikat dan RRT tengah secara terbuka menyatakan perang dagang. Kedua negara bertekad menaikan tarif perdagangan, khususnya tarif impor produk dari satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Presiden Trump telah menerapkan bea sebesar 24 - 25% bagi produk besi, baja dan 10% bagi alumunium. Tindakan ini dilakukan berdasarkan hukum nasional Amerika Serikat, yaitu Undang Undang Perdagangan tahun 1974, khususnya section 301, yang mana bila dianggap suatu negara asing melakukan aksi yang dapat merugikan perekonomian Amerika Serikat, maka Paman Sam berhak mempertahankan diri dengan memberlakukan tarif secara sepihak.
Dalam kaitan RRT, negara Tirai Bambu dianggap telah banyak melanggar hukum kekayaan intelektual bagi produk-produk Amerika Serikat.
Menyikapi hal ini, pada tanggal 23 Maret 2018, Pemerintah RRT mengumumkan rencana penerapan tarif kepada produk Amerika Serikat dengan nilai US$ 3 Milyar. 15% tarif untuk Minuman anggur, buah-buahan, kacang-kacangan, dan etanol, serta 25% bagi alumunium dan juga daging babi.
ADVERTISEMENT
RRT juga merupakan pasar terbesar pesawat dan gandung Amerika, serta pasar tebesar kedua untuk mobil dan kapas Amerika Serikat.
Pada hari yang sama, Melalui pidato yang berapi api, pada tanggal 22 Maret 2018, Presiden Donald Trump, menyumbarkan keputusannya untuk memberlakukan skema tarif baru bagi produk RRT, yang bila diterapkan akan memberikan pemasukan bea sebesar US$ 60 milyar. Tarif yang dikenakan adalah produk teknologi, dan restriksi bagi investasi RRT di beberapa sektor strategis di Amerika Serikat.
Perlu dipahami bahwa terlepas keduanya adalah anggota World Trade Organization, sebuah lembaga multilateral yang menyediakan forum bagi penyelesaian sengeketa, kedua negara memilih untuk menyelesaikannya dengan kontes kekuatan ekonomi masing-masing. Banyak pihak berpendapat bahwa perang dagang antara Amerika Serikat dan RRT adalah awal dari kejatuhan era perdagangan multilateral yang berdasarkan hukum dan keadilan.
ADVERTISEMENT
Apa maknanya perang dagang kedua adikuasa ekonomi ini pada Indonesia?
Perlu dipahami bahwa restriksi tarif yang dilakukan oleh Presiden Trump tidak hanya berlaku pada produk RRT, tapi pada seluruh negara. Pada produk besi dan alumunium contohnya, tarif ini tentu saja juga akan mencederai Kanada, Meksiko, Uni Eropa, dan Jepang sebagai eksportir utama komoditas tersebut ke Amerika Serikat.
Perlu juga diketahui bahwa sifat dasar suatu perang dagang adalah proteksionisme yang penerapannya akan terus tumbuh dan berkembang pada berbagai produk, tidak terkecuali produk yang mungkin berasal dari Indonesia, seperti komoditas minyak sayuran yang melingkupi CPO.
Terkait hal ini, Pemerintah Indonesia telah mengambil sikap yang cukup keras. Wakil Presiden Yusuf Kalla berjanji akan mempertahankan kedaulatan dagang nasional dengan cara apapun.
ADVERTISEMENT
"Kalau dia (Amerika) menghalangi (Crude Palm Oil) kita masuk ke Amerika, maka tentu kita juga mengurangi impor kedelai dan impor terigu dari Amerika Serikat. Harus begitu. Kita mengimpor kedelai, jagung, boeing, gandum. Pesawat saja ada berapa yang kita beli dari sana," kata Wapres JK.
Hal lain yang dapat terjadi adalah diversifikasi ekspor besar-besaran produk RRT, khususnya besi, baja alumunium ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Perlu diketahui bahwa sesungguhnya Amerika Serikat adalah peringkat ke 20 bagi pasar produk HS Code 72 (besi, baja, alumunium), 5 pasar terbesar menurut statistik 2017 adalah Korea Selatan, Vietnam, Thailand, Filipina, dan Indonesia. Untuk Indonesia, nilai ekspornya adalah US$ 1,079 Milyar, dengan tarif hanya 2.2% saja. Pertumbuhan ekspor komoditas ini per tahun adalah 17%, oleh karenanya, bisa dipastikan Indonesia yang tengah membangun ini akan lebih banyak membeli produk besi, baja dan alumunium RRT.
ADVERTISEMENT
Dampak lain yang perlu diperhatikan adalah terkait pasar modal dan obligasi. Mengingat dugaan berbagai pihak mengenai adanya kemungkinan pelepasan US$ 1.2 Trilyun obligasi Amerika Serikat oleh RRT, maka pasar modal Amerika Serikat hingga saat ini mengalami bearish yang berkelanjutan.
Hal ini bisa berdampak positif dan negatif bagi Indonesia. Positif bila, RRT memilih diversifikasi portofolio nya untuk membeli SUN, ORI, dan obligasi nasional lainnya, diikuti oleh aksi beli investor lain yang mengekor. Hal ini dapat meningkatkan kekuatan Rupiah dan fundamental finansial Indonesia.Negatif bila portfolio swasta Indonesia justru banyak yang membeli surat obligasi utang AS atau surat berharga lainnya.
Namun bagaimana dengan ekspor Indonesia? apakah dengan lingkungan perdagangan internasional yang semakin proteksionis, hal ini akan merugikan Indonesia? tentu saja iya pada tingkatan tertentu. Terlebih saat ini Pemerintahan Bapak Presiden Joko Widodo tengah dengan gencar menggalakan diplomasi ekonomi dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu export led driven country.
ADVERTISEMENT
Tapi, Mengingat bahwa pasar terbesar Indonesia saat ini adalah pasar domestik, untuk sementara Indonesia berkemungkinan mempertahankan dirinya dengan lebih baik, apalagi dengan pasar yang ditopang dengan bonus demografi, setidaknya pada jangka pendek.
Namun demikian, beberapa ahli berpendapat bahwa, keadaan ini hendaknya diwaspadai oleh negara Asia pada umumnya. Tekanan berat dan ancaman dari luar, akan menyebabkan RRT mencoba memperkuat dirinya sebagai trade bloc yang memiliki aliansi. Hal ini dapat dilihat melalui skema One Belt One Road yang sangat berambisi. Upaya memperkuat faksi Asia dan Afrika bisa menjadi opsi untuk mengukuhkan RRT sebagai negara adidaya ekonomi, khususnya dengan memperkuat jalur distribusi, eksklusifisme pasar, dan pengamanan pasokan komoditas dari hulu ke hilir.
ADVERTISEMENT
Menyikapi semua tantangan dan potensi ini, Pemerintah Indonesia harus terus menguatkan fundamental ekonominya, dengan memperkuat sektor produksi yang bernilai tambah, dan produsen produk berteknologi tinggi. Hal ini dilakukan agar melepaskan Indonesia dari stigma negara pasar yang dimanfaatkan secara rakus oleh negara - negara adidaya ekonomi.