Tokyo Eki dan Tanah Abang, sebuah Paradox Perilaku

Adib Zaidani Abdurrohman
Diplomasi, Politik Internasional, Ekonomi, Seni Bela Diri, Gadget, Teknologi Informasi, Film dan Musik
Konten dari Pengguna
22 Februari 2018 15:48 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adib Zaidani Abdurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tokyo Eki dan Tanah Abang, sebuah Paradox Perilaku
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tinggal di Tangerang dan bekerja di Jakarta Pusat mengharuskan saya untuk bepergian dengan moda transportasi publik yang memiliki jalur di kedua kota.
ADVERTISEMENT
Saya bersyukur bahwa dalam 5 tahun terakhir ini, media transportasi kereta api sudah mengalami peningkatan kualitas di sana sini.
Disamping lebih teratur, berkendara dengan kereta api terbilang sangat murah, khususnya bila dijadikan sebagai alat utama commuting setiap hari dalam jangka panjang.
Berdasar pada pengalaman saya berkendara dengan kereta api, saya mendapat banyak pelajaran. Bila kita cukup peka mendengar percakapan penumpang lainnya, banyak hal yang bisa kita temui dan simpulkan sebagai pelajaran.
Pada suatu hari, saya duduk di samping dua orang wanita muda cantik yang kelihatannya lahir di era milenial. Keduanya mengobrol hal – hal yang lazim dibicarakan oleh angkatan muda pekerja, seperti travelling ke luar negeri, gadget baru, maupun kebosanannya bekerja di tempat yang saat ini mereka berkantor saat ini.
ADVERTISEMENT
Keduanya asik membicarakan mengenai kekagumannya tentang negara Jepang. Keduanya terhanyut dalam kekaguman akan keteraturan, keindahan, kebersihan, kedisiplinan orang Jepang dan memalukannya sikap orang – orang Indonesia lainnya yang mereka temui di Jepang.
Mereka merasa jengah dengan kebiasaan orang Indonesia yang tidak suka antre, tidak merapihkan makanannya sendiri, dan selalu berisik di sana – sini. Mereka menceritakan bagaimana ada seorang laki – laki Indonesia dungu yang tidak berjalan di sisi eskalator sebelah kanan hingga menghalangi penumpang lain yang turun dari stasiun Tokyo (Tokyo Eki). “Tidak Beradab”, begitu kata salah satu dari mereka.
Ketika kereta merapat di stasiun Tanah Abang, penumpang berhamburan keluar. Semuanya berjalan tertunduk karena tengah memesan ojek online langganannya. Kedua wanita tadi, berjalan di depan saya dan berhenti terpaku, tidak berjalan di eskalator sisi sebelah kanan, meski telah diteriaki dengan gelegar oleh para perangkat kemanan dalam stasiun Tanah Abang untuk terus bergerak jalan. “Berisik”,”Bawel”, begitu kata mereka menanggapi teguran.
ADVERTISEMENT
Cerita serupa tentu banyak kita dengar, mengenai orang – orang Indonesia yang begitu disiplin, taat, menghormati kaum rentan dan sangat manis di luar negeri. Di saat yang sama, orang yang sama tersebut, tidak suka antre, mendorong – dorong, berkata kasar, membuang sampah dan meludah sembarangan di negeri sendiri.
Kerap kita dengar di luar negeri, teman seperjalanan kita, berkata: “Bro, jangan samakan dengan Indonesia, di sini beda”.
Bagaimana paradox perubahan sikap ini bisa terjadi, dan mengapa ini bisa terjadi, dan kenapa bersikap lebih baik menjadi lebih relevan di luar negeri?
Ada beribu alasan mengapa menjadi citizen of the world memaksa kita lebih bermoral daripada menjadi warga negara Indonesia. Namun demikian, ada satu argumen yang mungkin terbesit menjadi dugaan umum, yaitu hal – hal terkait inferiority complex.
ADVERTISEMENT
Bila benar, perasaan keterbelakangan akhirnya memupuk kemunduran. Maka setiap individu harus mulai memikirkan hal – hal untuk memperbaikinya. Bila para travellers bisa bepergian ke luar negeri sambil mengambil contoh dan model kebijakan, produk, dan kebiasaan untuk diterapkan di dalam negeri, maka mungkin di masa depan kita akan bisa berbangga menjadikan Indonesia seindah dan semengagumkan Jepang.
Bukankah rahasia utama keberhasilan dan kekuatan Jepang adalah dari seluruh warga negaranya yang sangat mencintai negaranya. Mungkin kemajuan Indonesia yang mengagumkan dapat mulai terengkuh, dimulai dengan keinginan kuat kita untuk memajukan Indonesia.