Tindakan Diskriminatif yang Masih Saja Menimpa Penyandang Disabilitas di Kampus

AT Wardhana
Pernah makan belut. Mahasiswa Sejarah.
Konten dari Pengguna
26 Agustus 2020 13:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari AT Wardhana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebagai salah seorang yang memiliki teman dekat penyandang disabilitas yang juga seorang mahasiswa, saya menjadi memahami dan mengerti bagaimana lika-liku kehidupan di kampus para mahasiswa penyandang disabilitas.
ADVERTISEMENT
Sebut saja namanya Roy, salah satu teman kos saya yang juga sama-sama menimba ilmu di salah satu Universitas terkenal di Indonesia. Roy merupakan penyandang disabilitas tuna netra. Setiap akan berangkat kuliah Roy harus berjalan kaki sejauh kira-kira 200 meter dari tempat kos untuk menuju kampus dengan bantuan sebilah tongkat penunjuk. Tak jarang saya membantu Roy untuk mengantarkanya ke kampus. Apabila saya sedang kuliah atau ada kepentingan, Roy mau tidak mau harus berjalan ke kampus dan melewati jalan yang ramai.
Oh iya, kampus saya merupakan kampus paling inklusif katanya, kampus tersebut memiliki jargon ‘kampus infklusif dan ramah difabel’ dan juga terdapat relawan difabel untuk setia membantu para penyandang disabilitas dalam kegiatan akademik di kampus. Apabila mahasiswa mendaftar menjadi relawan difabel tersebut, maka setelah lulus akan mendapatkan piagam dari rektor yang sangat berharga dan bisa jalan-jalan ke luar negeri katanya. Maka dari itu saya tidak mau mendaftar menjadi relawan tersebut. Saya takut misi kemanusiaan saya malah berubah menjadi misi mencari piagam.
ADVERTISEMENT
Saya dengan Roy sering ngobrol, biasanya tempat ngobrol favorit adalah di pusat difabel kampus, disana juga banyak sekali penyandang disabilitas, saya juga sering ngobrol dengan mereka, tema obrolan kita biasanya tentang lika-liku kehidupan dikampus sebagai mahasiswa penyandang disabilitas.
Saya sering mendengar mereka sering mendapat perlakuan diskriminatif dan perlakuan tidak menyenangkan dari para sivitas akademika dikampus. Misalnya saja apabila mereka berjalan kaki ke kampus dan ingin menyebrang jalan ia sering kesulitan untuk menyebrang karena tidak ada orang yang membantu menyebrangkan jalan bahkan mereka sering menunggu lama sekali baru ada yang menyebrangkan jalan. Wah wah Katanya kampus inklusif pak?
Tidak hanya berhenti disitu, Roy pernah mendapat perlakuan diskriminatif lain di lingkungan kampus, seperti saat dia sedang berjalan di area kampus tiba-tiba ada mahasiswa kopyor nyletup ngomong “bro nanti nomor togel munculnya apa?” sambil dibubuhi nada yang diskriminatif.
ADVERTISEMENT
Perlakuan tersebut sangat merisihkan bagi para penyandang tuna netra. mahasiswa kopyor tersebut menganggap tuna netra bisa menebak angka nomor togel.
Tidak hanya kalangan mahasiswa yang memperlakukan diskriminatif terhadap penyandang disabilitas, bapak ibu dosen pun juga ikut-ikutan memberikan perlakuan buruk terhadap mereka. Sebut saja Abdul yang juga teman Roy, suatu ketika ia pernah terlambat masuk kelas kira-kira 20 menitan lah. Tetapi ketika mau masuk kelas Abdul malah ditolak dosen, katanya ia sudah melebihi toleransi waktu terlambat yaitu 10 menit. Itu menurut saya merupakan perlakuan yang tidak adil, mereka penyandang disabilitas kan berbeda pak bu harusnya kasihani lah. Mereka sudah sekuat tenaga untuk berangkat ke kampus dengan berjalan kaki, apalagi ketika mau nyebrang saja sangat kesulitan untuk mendapat bantuan. Katanya kampus inklusif, kok anda nggak inklusif ya?
ADVERTISEMENT
Saya pribadi pernah melihat perlakuan yang tidak menyenangkan terhadap mahasiswa disabilitas di kampus. Seperti saat saya membantu Roy dalam menyelesaikan administrasi di kantor tata usaha. Tiba-tiba ibu-ibu tata usahanya nyletup tanya, “Mas maaf sebelumnya, kamu kok bisa tuna netra itu penyebabnya apa ya?” seketika itu saya ingin menampar jidat ibu-ibu itu. Bukanya malah membantu, lha kok malah nyakitin. Memang nada pertanyaannya itu halus tetapi pertanyaan itu bisa nyakitin tau nggak bu?. Pertanyaan itu memang sederhana tetapi pertanyaan tersebut bisa membuat penyandang tuna netra merasa terdiskriminasi. Pernyataan ini bukan pendapat saya, tetapi ini kata Roy sendiri.
Tidak hanya diskriminatif, akseptabilitas dan aksesibilitas di kampus-kampus memang masih jauh dari harapan. Aksesibilitas yakni derajat kemudahan yang bisa dicapai oleh orang terhadap suatu objek, pelayanan atau lingkungan.
ADVERTISEMENT
Kampus-kampus Inklusif di Indonesia menurut saya terlalu dini untuk melabeli sebagai "kampus ramah difabel". Sebaiknya sebelum menyatakan menjadi kampus ramah difabel, ada baiknya jika membenahi terlebih dahulu aksesbilitas maupun aksepbilitas bagi mahasiswa penyandang disabilitas. Mereka mencari kampus inklusif utuk mendapatkan aksepbilitas dan aksesbilitas yang baik dalam mencari ilmu, tetapi setelah masuk di kampus inklusif mereka malah kesulitan dalam aksesbilitas di kampus dan parahnya adalah mendapat perlakuan diskriminatif. Hal ini menyebabkan para penyandang disabilitas merasa tertipu dengan label kampus inklusif. Inilah yang terjadi apabila kampus terlalu dini melabeli kampus inklusif.
Katanya kampus inklusif, kok masih ada tindakan diskriminatif?