Indonesia Sehat: Bebas Endemi HIV/AIDS

Adinda Afifah Damayanti
Mahasiswa Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran
Konten dari Pengguna
8 Januari 2022 17:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adinda Afifah Damayanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi HIV/AIDS (Sumber: Unsplash.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi HIV/AIDS (Sumber: Unsplash.com)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menuju Indonesia bebas endemi HIV/AIDS 2030. - Kemenkes RI 2020
ADVERTISEMENT
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) penyakit yang dianggap oleh sebagian orang menyeramkan dan memalukan. Kurang lengkap rasanya ketika kata AIDS tidak berdampingan dengan kata HIV seperti yang biasa kita baca pada tiap artikel atau unggahan di media sosial. HIV atau Human Immunodeficiency Virus merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Virus ini pada akhirnya akan membuat tubuh manusia semakin rentan terkena berbagai penyakit. Hal ini disebabkan karena sistem pertahanan tubuh kita sebagai manusia telah rusak hingga akhirnya bisa menimbulkan AIDS. Yakni, tahap terakhir dari pertumbuhan virus HIV.
Virus ini muncul pertama kali di Indonesia pada tahun 1987, seorang wisatawan asal Belanda meninggal dunia di RSUP Sanglah Denpasar Bali. Pada mulanya, penyakit ini beredar di kalangan pekerja seks komersial (PSK) dan juga pelanggannya. Lalu, menular ke ibu rumah tangga hingga bayi yang lahir dari ibu yang positif terkena HIV/AIDS.
ADVERTISEMENT
Dalam perkembangannya, pertumbuhan penyakit ini bergerak seperti fenomena gunung es. Pasalnya penyakit ini juga pernah mengalami fase asimtomatik (tanpa gejala) yang membuat penderita nya tidak sadar mengidap virus tersebut. Jumlah penyakit ini dari tahun ke tahun terus bertambah, seluruh negara terkena penyakit ini. Terlebih, vaksin untuk pengidap HIV/AIDS belum ditemukan hingga saat ini. Namun, dalam perawatannya terdapat beberapa obat yang dapat memperlambat perkembangan virus HIV/AIDS dalam tubuh manusia. Pengidap HIV/AIDS atau biasa disebut ODHA ini juga perlu melakukan perawatan seumur hidupnya hingga ditemukannya vaksin untuk virus tersebut.
Mengutip dari catatan InfoDATIN Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI tahun 2006, virus ini disebabkan oleh berbagai macam penularan dari pengidap. Bisa dari penularan melalui hubungan seksual bersama pengidap, ASI dari ibu yang positif HIV, penggunaan jarum yang tercemar pada penyalahgunaan NAPZA, transfusi darah, donor organ dan lain semacamnya.
ADVERTISEMENT
Namun yang perlu kita garis bawahi secara bersama ialah bahwa HIV/AIDS tidak bisa menular melalui kontak sosial, kolam renang, alat makan, toilet, nyamuk/serangga maupun udara di ruangan. Tidak seperti Covid-19, virus HIV/AIDS tidak semudah itu menular melalui saluran pernapasan dalam udara di satu ruangan.
Hal tersebut perlu masyarakat kita ketahui, agar tidak terjadi lagi kekhawatiran yang berakhir stigmatisasi dan diskriminasi untuk ODHA ketika ada masyarakat non-pengidap yang berjabat tangan dan berpelukan dengan ODHA. Karena faktanya, penularan tidak terjadi melalui kontak sosial seperti yang disebutkan sebelumnya.
Berdasarkan hasil survei infoDATIN, hingga tahun 2019 kasus HIV/AIDS di Indonesia mencapai 50.282 kasus dan terus mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya. Sementara pengidap AIDS, mengalami penurunan dari tahun sebelumnya menjadi 7.036 kasus. Dari banyaknya tindakan preventif hingga penyebaran informasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai HIV/AIDS kasus ini terus meningkat dari awal kemunculannya.
ADVERTISEMENT
Kabar baiknya, Case Fatility Rate (CFR) atau angka kematian dari kasus HIV/AIDS berhasil terus menurun dari tahun 2005 hingga tahun 2019. Hal ini membuktikan bahwa pengobatan HIV/AIDS di Indonesia telah berhasil dan efektif walaupun vaksin dari virus tersebut belum ditemukan.
Hal lain yang juga menjadi perhatian utama dari endemi ini ialah adanya stigmatisasi dan diskriminasi dari masyarakat terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Seperti yang sudah disinggung di bagian awal, masyarakat Indonesia menganggap bahwa ODHA memiliki kebiasaan berganti pasangan yang mana tidak sesuai dengan norma di lingkungan masyarakat kita. Padahal faktanya, orang yang hanya memiliki satu pasangan dan tidak mengonsumsi obat terlarang juga tetap memiliki risiko untuk terkena virus HIV/AIDS.
Stigma risiko kematian lebih cepat bagi ODHA juga muncul akibat belum ada nya obat yang pasti untuk ODHA. Namun, walau belum ada obat untuk ODHA, pengobatan dan perawatan serta gaya hidup sehat mampu untuk mengurangi risiko AIDS dan juga kematian akibat virus HIV ini.
ADVERTISEMENT
Dalam keberlangsungan hidupnya, ODHA dapat terganggu menjalani kesehariannya akibat adanya stigmatisasi dan diskriminasi dari masyarakat. Tentunya hal ini dapat membuat akibat buruk kepada kesehatan mental dan fisik ODHA. Pentingnya peran masyarakat serta pendamping ODHA dalam kesembuhannya melawan virus mematikan ini tentunya menjadi salah satu bentuk penyelamatan Indonesia untuk terbebas dari virus HIV/AIDS.
Menuju Indonesia yang bebas endemi HIV/AIDS seharusnya masyarakat Indonesia dapat bahu-membahu mewujudkan cita-cita tersebut. Dimulai dari awareness atau kesadaran masyarakat mengenai HIV/AIDS dengan banyaknya mengonsumsi serta menyebarkan informasi tepercaya mengenai HIV/AIDS. Serta stop stigmatisasi dan diskriminasi untuk pengidap HIV/AIDS, untuk Indonesia dengan lingkungan masyarakat yang lebih sehat lagi.