Konten dari Pengguna

Kamu Seperti Senja dan Hujan

15 November 2018 19:53 WIB
clock
Diperbarui 8 Juli 2019 17:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adinda Githa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kamu Seperti Senja dan Hujan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Hai... ini tentang hujan dan senja.. jika disuruh untuk memilih antara keduanya, aku bingung. Sama halnya tentang kamu. Kamu yang bingung harus kembali atau terus berjalan sendiri. Kamu tahu, aku menulis ini di sela-sela jam kantor diiringi derasnya air hujan yang membasahi atap gedung B. Iya, bahkan saat kerja, aku tetap memikirkan ini. Tentang kita.
ADVERTISEMENT
Aku, perempuan yang pernah sangat menyayangimu.
Salah! Aku ralat kalimat kubarusan.
Aku, perempuan yang masih sangat menyayangimu.
Berada di sampingmu seperti menikmati hangatnya senja. Pun menghentikan kisah denganmu, meninggalkanmu.. rasanya seperti dihantam derasnya air hujan - tak hanya dingin dan basah, tapi sakit pada ujungnya.
Aneh. Kamu bukan pria istimewa yang pernah aku kenal tapi kenapa setelah mengenalmu hidupku jadi sesulit dan serumit ini? Mungkin karena kita terlanjur masuk terlalu dalam.
Setelah kita berjalan tiga tahun, kupikir semua akan indah selamanya. Indah.. sampai-sampai kupikir kita akan tinggal di bawah atap yang sama. Ternyata tidak. Semua dugaanku salah, aku belum mahir menjadi peramal. Kita harus menjauh. Tapi itu bukan jadi bagian yang menyakitkan. Kamu tahu apa yang paling sakit dari sebuah perpisahan? Melupakan dan menganggap semuanya baik-baik saja. Ya, itu lebih menyiksa dari apapun.
ADVERTISEMENT
Semua berjalan sempurna setiap harinya meski dalam ketidakjelasan. Setelah kamu memutuskan untuk pergi dan merampas semuanya, siapa bilang aku baik-baik saja? Tapi tenang, aku tidak gila.. aku hanya sedikit tidak waras, hehe.
Hangat senja yang dulu aku rasakan, sekarang berubah menjadi dingin. Anehnya, meski cuaca langit cerah, aku masih merasakan dinginnya hujan. Kamu tahu itu penyakit jenis apa? Bantu aku memahami ini.
Aku terseok-seok menjalani hari-hariku kini. Tapi aku yakin suatu saat nanti senjaku kembali, meski bukan kamu.
Aku berusaha berlari dengan satu kaki. Terdengar mustahil memang. Tapi aku bisa kan?
Lima bulan tanpamu bisa kulalui dengan mulus bukan? Aku sudah memaafkan kita yang dulu pernah salah. Tapi kenapa kamu pulang lagi setelah pergi jauh? Apa rumahmu yang baru tidak senyaman aku? hehe. Sebenearnya aku senang kamu kembali, pun benci itu. Tapi aku bingung harus apa: menerima senjaku atau membiarkan hujan tetap mengguyur?
ADVERTISEMENT
Sekarang tugasku bukan lagi menyembuhkan luka, tapi mencoba menahan semuanya agar tak seperti dulu. Anehnya lagi, mantan kekasihmu malah datang menghampiriku, memberiku seribu tanya: apakah kita sedekat dulu? Ah bedebah.