Bangga Punya Mental Tempe

Adinda Mufidah
Pranata Humas Kementerian Pertanian
Konten dari Pengguna
14 Juli 2023 17:01 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adinda Mufidah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi tempe goreng. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tempe goreng. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sejak dulu dan bahkan hingga sekarang, tempe sering dianggap sebagai makanan kelas dua. Sebegitu rendah stratanya sehingga muncul perumpamaan 'mental tempe' bagi mereka yang bermental lemah dan mudah menyerah.
ADVERTISEMENT
”Ah, mental tempe kamu! Segitu saja kok takut?!”
Seketika orang pasti akan tersinggung bila dikata-katai seperti ini.
Mengutip hasil wawancara liputan6.com dengan Ketua Umum Pengurus Pusat Forum Komunikasi Guru IPS Nasional PGRI, Wijaya pada 7 Desember 2020 silam, ternyata mental tempe dipopulerkan oleh Presiden Soekarno pada masa perjuangan dan orde lama. Presiden Soekarno saat itu meminta rakyat untuk tidak memiliki mental tempe. Seruan digunakan sebagai bentuk penyemangat agar rakyat tidak terjebak dalam sikap rendah diri, lemah, murah, dan terbelakang.
Meskipun sering dipandang sebelah mata, pakar gizi menyebut tempe sebagai sumber protein yang sarat nutrisi. Bahkan mereka menyebut tempe sebagai superfood. Meskipun bersumber dari tumbuhan (plant-based), tapi kandungan nutrisinya tidak kalah dari makanan bersumber dari hewan.
ADVERTISEMENT
Tempe mengandung nutrisi yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia, seperti vitamin, mineral, asam lemak, dan antioksidan. Kandungan proteinnya terhitung tinggi, bahkan bisa menggantikan protein hewani, seperti daging merah.
Tempe boleh dibilang menjadi anomali dibandingkan protein nabati lainnya karena mengandung vitamin B12. Biasanya vitamin B12 hanya terdapat pada produk hewani dan tidak dijumpai pada makanan nabati. Dengan kandungan protein dan vitamin B12 ini, tempe banyak disebut sebagai protein nabati yang paling pas sebagai substitusi protein hewani.
Kandungan gizi tinggi ini turut mendorong Driando Ahnan Winarno, seorang doktor pakar teknologi pangan lulusan University of Massachusetts Amherst untuk membuat Indonesian Tempe Movement. Gerakan internasional ini bertujuan mempromosikan tempe. Sejauh ini, pria kelahiran 1992 yang akrab dipanggil Ando itu telah menjalin kolaborasi dengan 13 negara.
ADVERTISEMENT
Untuk mendukung gerakan tersebut, Ando mendirikan perusahaan Better Nature, perusahaan start up yang mengedepankan plantbased food. Melalui Better Nature yang bermarkas di Inggirs, Ando turut memasarkan tempe sebagai alternatif daging yang lezat dan alami.
Pada wawancara dengan Gita Wirjawan untuk podcast Endgame, Ando menyebutkan kandungan nutrisi tempe memang luar biasa. Tapi tak hanya sebatas itu. Ando menyebutkan bahwa Tempe adalah sumber protein yang ideal karena diproduksi dengan cara paling berkesinambungan dan berkelanjutan, sekaligus ramah lingkungan.
Pernyataan Ando itu bukan tanpa data. Ando merujuk pada studi EAT-Lancet, sebuah forum para peneliti yang memiliki perhatian terhadap pola makan sehat dan berkelanjutan membuat studi planetary health diet. Studi ini mencari pola makan yang sehat tak hanya buat diri kita tapi juga bumi. Riset yang dilakukan mereka ini sangat menarik karena tak hanya menelisik keterpenuhan konsumsi protein, tapi juga mendalami dampaknya terhadap kesehatan tubuh dan keselamatan bumi.
ADVERTISEMENT
Hal yang cukup mengejutkan, studi EAT-Lancet menunjukkan bahwa skor negara-negara barat melewati ambang batas normal. Sementara Indonesia justru berada di posisi aman.
Tentunya hasil studi tersebut mengejutkan sekaligus menggelitik. Banyak dari kita berkiblat kepada negara barat dalam menyusun pola makan. Ternyata bila kita mempertimbangkan faktor kesehatan dan dampaknya terhadap bumi, Indonesia lebih unggul. Ando menyebutkan tempe sebagai salah satu produk lokal Indonesia tentunya memiliki kontribusi besar terhadap skor Indonesia.
Berkaca terhadap hasil studi EAT-Lancet, rasanya kita harus mulai mengubah pola pikir kita dalam mendefinisikan makanan sehat. Dalam mengampanyekan pola makan sehat pun tak melulu harus mengadopsi negara-negara barat. Tak ada salahnya menelaah lagi potensi-potensi pangan lokal kita yang tak kalah dengan pangan mancanegara. Seperti tempe dengan segala keunggulan yang berderet, semestinya konsumsi bisa ditingkatkan. Dan dengan begitu, tidak boleh ada lagi istilah kita malu bermental tempe.
ADVERTISEMENT