Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Remaja dengan Mental Illness: Mereka Hanya Butuh Didengar
19 Juni 2023 7:57 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Adinda Nurtopani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
David Satcher, Mantan Kepala Badan Kesehatan Masyarakat Amerika Serikat pernah berkata:
ADVERTISEMENT
Kesehatan mental seringkali terlupakan. Karena biasanya kebanyakan orang hanya fokus pada kesehatan fisik saja. Padahal, keduanya sama-sama berperan penting dalam kehidupan seseorang.
Menurut Indonesia National Adolescent Mental Health Survey 2022, menunjukkan bahwa 1 dari 3 remaja Indonesia usia 10-17 tahun memiliki masalah kesehatan mental. Sementara 1 dari 20 remaja Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir. Angka tersebut setara dengan 15,5 juta dan 2,45 juta remaja.
Namun nyatanya, sebagian masyarakat di Indonesia masih menganggap kesehatan mental adalah hal yang tabu. Kalau ada yang mulai berani berbicara soal kondisi kesehatan mentalnya, mereka berkata:
"Jangan lebay."
"Masih banyak yang keadaannya lebih buruk dari kamu."
Padahal, mereka yang sedang berjuang melawan gangguan mentalnya, tidak pernah meminta untuk berada di posisi itu. Mereka juga ingin terbebas. Mereka juga ingin sembuh.
Orang-orang dengan mental health issue, ketika bercerita itu hanya butuh didengar, bukan untuk diceramahi, bukan juga untuk dibanding-bandingkan.
ADVERTISEMENT
"Ah, baru gitu aja..."
"Kamu kurang beriman, kurang ibadah."
"Ah, kamu masih mending..."
Ketika sudah tidak memiliki tempat untuk bercerita, tidak ada sosok teman dan keluarga yang mau mengerti, psikolog adalah pilihan terakhir bagi para penderita mental illness.
Namun, lagi-lagi yang menjadi masalah adalah orang-orang yang menganggap kalau pergi ke psikolog itu harus gila dan pasti gila.
"Dih, lebay banget ke psikolog segala, kayak orang gila aja."
Bukan, dia tidak gila. Tapi dia sakit. Seperti semua orang, kita semua punya potensi untuk sakit.
Kalau kamu punya jantung maka ada kemungkinan untuk sakit jantung. Begitupun dengan orang yang punya mental, maka mungkin-mungkin saja untuk sakit mental.
Masyarakat Indonesia belum sepenuhnya paham dan menyadari mengenai betapa pentingnya kesehatan mental sama dengan halnya kesehatan fisik.
ADVERTISEMENT
Jika fisik yang sakit harus segera diobati, mental juga harus segera ditangani bila terjadi gangguan. Hal tersebut bertujuan agar orang-orang dengan gangguan mental tidak melakukan tindak kejahatan atau hal-hal yang tidak kita inginkan.
Masih banyak sekali orang yang melakukan tindakan menyakiti diri sendiri dengan menyayat pergelangan tangan, menyiksa diri untuk tidak makan berhari-hari, masih ada orang yang setiap harinya menangisi takdir hidup, bahkan sampai berpikir untuk mengakhiri hidupnya.
Kalau ada yang bertanya:
"Kamu itu masih muda, kok ngerasa masalahnya paling berat banget, sih?"
Manusianya saja berbeda, apalagi masalahnya, kan?
Memangnya ada peraturan tertulis kalau yang muda tidak boleh stres, tidak boleh depresi, tidak boleh cemas, bahkan tidak boleh mengeluh akan masalah yang dialaminya?
ADVERTISEMENT
Tidak ada.
Terlepas dari usianya, besar-kecilnya, masalah yang dialami setiap manusia itu nyata. Dan masalah memang akan selalu ada dalam diri setiap individu.
Level stres setiap orang itu berbeda-beda. Kita tidak akan tahu dan percaya jika tidak berada di posisi yang sama dan ikut merasakannya.
Maka dari itu, ketika ada orang yang bercerita kepadamu mengenai masalah mentalnya, dengarkan. Jangan dihujat, jangan diceramahi, jangan dinilai, dan jangan dibanding-bandingkan.
Cukup dengarkan dan berikan mereka kesempatan untuk bicara dan merasakan bahwa cerita mereka didengar, bahwa masih ada yang peduli.
Dengan mendengarkan tanpa menghakimi, sesungguhnya kita dapat membantu mereka merasa lebih dipahami dan didukung.
Seseorang yang mengalami gangguan kesehatan mental bukan orang gila, bukan orang yang jauh dari Tuhan, bukan pula orang yang miskin iman.
ADVERTISEMENT
Tapi mereka hanya terlalu lama berada di bawah tekanan yang mereka sendiri tidak bisa menghindari itu dalam waktu yang cukup panjang, dan mereka tidak memiliki dukungan sosial yang cukup untuk menopang diri mereka sendiri.
Jadi, jangan pernah menganggap remeh perasaan orang lain. Jangan sampai perkataan kita yang terkesan menyepelekan menjadi alasan bagi mereka untuk mengakhiri segalanya.
Dan untuk siapa pun yang mungkin sedang lelah batin dan fisiknya, sedang merasa down atau merasa berada di titik terendah, dan untuk para pejuang mental illness, anxiety, trust issue, dan hal-hal yang terasa berat untuk dijalani.
Saya hanya mau bilang ke kalian kalau kalian hebat bisa bertahan sampai saat ini. Terima kasih banyak, ya?
Terima kasih banyak sudah sekuat sampai hari ini, terima kasih banyak sudah berusaha untuk tetap melangkah meski beberapa kali ada pikiran mau menyerah.
ADVERTISEMENT
Terima kasih untuk tetap bertahan sekalipun sudah banyak air mata yang kamu keluarkan diam-diam. Terima kasih banyak untuk segala kerja keras kamu, dan terima kasih sudah lahir ke bumi
Kita bertahan lebih jauh, yuk?
Untuk lebih banyak senyuman yang harus kamu ukir, untuk makanan-makanan enak yang harus kamu cicipi, untuk suasana pagi dan petang yang masih harus kamu saksikan, dan masih banyak sekali manusia lain yang mau bertemu denganmu.
Sebab, kehadiran kamu adalah bentuk rasa syukur paling nyata. Jadi, jangan merasa sendiri, kita hadapi sama-sama, ya? Karena kamu juga berhak untuk didengar.
Saya percaya, kita semua bisa bertahan menghadapi peliknya masalah kesehatan mental dalam generasi ini. Mari kita sama-sama berjuang, demi generasi yang sehat tidak hanya fisiknya tapi juga mentalnya.
ADVERTISEMENT
Seperti sebuah kutipan dalam Bahasa Latin:
Dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat.