Konten dari Pengguna

Kerja Cerdas, Bukan Kerja Keras!

Adinda Ainun
Mahasiswi Prodi Hubungan Internasional. Anggota Pengurus Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional Departemen Media dan Informasi Periode 2024-2025
5 Januari 2025 12:09 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adinda Ainun tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Pembagian Kerja Global ala Generasi Z

Adinda Ainun/Canva
zoom-in-whitePerbesar
Adinda Ainun/Canva
ADVERTISEMENT
Dalam era globalisasi yang semakin mendalam, konsep pembagian kerja global atau global division of labour telah menjadi inti dari ekonomi politik global. Namun generasi Z membawa perspektif baru terhadap bagaimana pembagian kerja ini seharusnya berjalan. Di tengah tekanan ekonomi, krisis iklim, dan perkembangan teknologi yang pesat. Generasi Z menyerukan perubahan paradigma: Kerja cerdas, bukan kerja keras. Sebuah gagasan yang tidak hanya berbasis efisiensi namun keadilan.
ADVERTISEMENT
Pembagian Kerja Global
Secara historis, pembagian kerja global didorong oleh revolusi industri dan kolonialisme. Negara-negara berkembang menjadi penyedia bahan baku dan tenaga kerja murah, sementara di negara maju menjadi inovasi dan manufaktur bernilai tambah tinggi. Dalam konteks ini, kapitalisme global menempatkan keuntungan sebagai prioritas utama, seringkali dengan mengabaikan kesejahteraan pekerja dan kelestarian lingkungan.
Namun, pola ini bergeser. Data dari Internasional Labour Organization (ILO) menunjukkan bahwa pada 2023, sebanyak 47% pekerja global adalah generasi muda yang didominasi oleh Generasi Z. Generasi Z tumbuh di tengah kemajuan tekonolgi digital yang memungkinkan otomatisasi, kerja jarak jauh, dan platform ekonomi. Ini memberikan pemahaman untuk tentang cara memanfaatkan teknologi untuk mengubah sistem kerja global.
ADVERTISEMENT
Generasi Z dan “Kerja Cerdas”
Generasi Z memiliki kecenderungan untuk memilih efisiensi dan fleksibilitas ketimbang kerja fisik yang berat. Menurut laporan Deloitte Global 2024, 56% generasi Z memilih pekerja berbasis digital dan kreatif, sementara hanya 18% yang bersedia bekerja di sektor yang mengandalkan tenaga fisik. Sikap ini mencerminkan keinginan mereka untuk memperbaiki ketimpangan yang melekat dalam kerja global.
Kerja cerdas yang dimaksud bukan hanya soal teknologi, namun soal keadilan. Generasi Z menantang praktik-praktik seperti outsourcing tenaga kerja murah ke negara berkembang tanpa memperhatikan hak pekerja. Mereka mendukung perusahaan yang menerapkan kebijakan kerja adil, seperti pembayaran upah layak dan pengurangan jam kerja tanpa kehilangan produktivitas.
Masalah dalam Pembagian Kerja Global
1. Ketimpangan Ekonomi: Data dari Oxfam menunjukkan bahwa 1% penduduk dunia menguasai lebih dari 50% kekayaan global. Ketimpangan ini seringkali diperparah oleh pembagian kerja yang eksploitatif, di mana pekerja di negara berkembang hanya mendapatkan sebagian kecil dari nilai yang mereka hasilkan.
ADVERTISEMENT
2. Eksploitasi Lingkungan: Sistem kerjas berbasis outsourcing sering mengabaikan dampak lingkungan. Contohnya, industri tekstil yang mempekerjakan jutaan pekerja di Bangladesh menghasilkan limbah beracun yang merusak ekosistem lokal.
3. Kurangnya Perlindungan Sosial: Pekerja di sektor informasi sering tidak memiliki akses ke asuransi kesehatan atau tunjangan pensiun. Dalam era gig economy, masalah ini semakin akut.
Solusi ala Generasi Z
Generasi Z tidak hanya mengkritik sistem, tetapi juga menawarkan Solusi. Berikut adalah beberapa gagasan mereka:
1. Teknologi untuk Distribusi Kerja yang Adil: Dengan teknologi digital yang berfungsi sebagai buku besar digital (blockchain), transparansi dalam rantai pasok dapat ditingkatkan. Misalnya, Perusahaan seperti Fairphone menggunakan blockchain untuk memastikan bahwa bahan baku mereka berasal dari sumber yang bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT
2. Ekonomi Surkular: Generasi Z mendukung model ekonomi yang mengurangi limbah dan memaksimalkan penggunaan sumber daya. Ini termasuk upcycling, penggunaan bahan daur ulang, dan desain produk yang lebih tahan lama.
3. Penguatan Regulasi Internasional: Mereka menyerukan regulasi global yang lebih ketat untuk melindungi pekerja. Contohnya, Konverensi ILO tentang upah minimum dapat menjadi dasar untuk menetapkan standar upah layak secara global.
4. Pendidikan dan Keterampilan Digital: Untuk mengatasi ketimpangan, generasi Z mendorong investasi dalam pendidikan berbasis teknologi. Menurut laporan UNESCO, setiap dolar yang diinvestasikan dalam pendidikan digital dapat meningkatkan PDB global hingga 2,5%.
Dampak Positif dari Paradigma Baru
Perubahan ini tidak hanya baik bagi pekerja, tetapi juga bagi ekonomi global. Studi dari McKinsey global institute menunjukkan bahwa peningkatan inklusi digital dapat menambah $1,6 triliun ke PDB global pada 2025. Selain itu, sistem kerja yang lebih adil dapat meningkat loyalitas pekerja, mengurangi pergantian tenaga kerja, dan meningkatkan produktivitas.
ADVERTISEMENT
Tantangan yang Harus Dihadapi
Meski cukup menjanjikan, paradigma kerja cerdas ini menghadapi tantangan besar. Salah satunya adalah resistensi dari perusahaan besar yang nyaman dengan model bisnis lama. Selain itu, terdapat kebutuhan untuk harmonisasi kebijakan lintas negara, yang seringkali sulit tercapai karena perbedaan kepentingan nasional.
Generasi Z telah menunjukkan bahwa pembagian kerja global tidak harus eksploitatif dan tidak adil. Dengan memanfaatkan teknologi, mendukung keadilan sosial, dan menutut tanggung jawab lingkungan, mereka mendorong dunia menuju sistem kerja yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Konsep “Kerja Cerdas, Bukan Kerja Keras” bukan hanya sekedar slogan, tetapi sebuah panggilan untuk aksi kolektif. Masa depan pembagian kerja global ada di tangan kita, dan Gen Z memimpin jalan menuju perubahan.
ADVERTISEMENT
Adinda Ainun Izmi ([email protected])
Universitas Bosowa