Konten dari Pengguna

Apakah Perempuan Sudah Merdeka?

Adinda Destiana Aisyah
Mahasiswi Sastra Indonesia di Universitas Pamulang.
21 Oktober 2022 19:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adinda Destiana Aisyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Image from Unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Image from Unsplash.com
Berbicara tentang merdeka kerap kali didefinisikan sebagai bentuk kemenangan, kebebasan, dan kebahagiaan. Jika kita menoleh sejenak ke belakang untuk mengingat kembali bagaimana para pahlawan revolusi dalam memperjuangkan kemerdekaan. Peluh yang setiap tetesnya tidak terhitung lagi, darah yang mengalir menjadi jejak perlawanan demi kemenangan, serta nyawa yang hanya satu akhirnya dikorbankan juga. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemerdekaan memang harus diperjuangkan.
ADVERTISEMENT
Merdeka bukan hanya tentang negara kita tercinta, Indonesia. Tetapi berkaitan pula dengan perempuan. Apakah perempuan sudah benar-benar merdeka? Pertanyaan tersebut sepertinya belum menemukan jawaban tepat hingga saat ini. Bagaimana tidak? Saat ini perempuan masih dijadikan sebagai objek kekerasan seksual, objek pemuas nafsu, pergerakannya kerap kali ditahan oleh budaya patriarki, belum lagi konstruksi sosial yang mengikat perempuan seakan kehidupannya bergantung pada masyarakat sekitar.
Budaya patriarki yang membelenggu perempuan, menuntut mereka agar berdiam diri di rumah dan melakukan pekerjaan domestik seperti mencuci dan memasak. Perempuan dianggap sebagai makhluk inferior sedangkan laki-laki sebagai makhluk superior, hingga menimbulkan ketidakadilan gender. Perempuan dianggap berada di bawah kendali laki-laki. Perempuan seolah tidak memiliki hak untuk mengendalikan apapun. Budaya patriarki menjadi salah satu dari berbagai alasan yang membuat perempuan sulit meraih kemerdekaannya, terutama soal keadilan. Hidayati (2018) mengatakan bahwa perempuan kesulitan untuk mendapatkan keadilan dikarenakan budaya patriarki dan kuatnya sistem sosial budaya yang mengakar di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Hal-hal seperti kebebasan dalam menuntut ilmu, bekerja berdampingan dengan laki-laki, memiliki kedudukan lebih tinggi, dan mendapatkan kesempatan untuk menjadi pemimpin, merupakan hasil dari perjuangan perempuan dalam memperoleh kemerdekaan sejak dahulu. Namun, apakah perempuan sudah benar-benar merdeka ketika tubuhnya belum benar-benar aman dari ancaman kekerasan fisik, kekerasan seksual, atau kekerasan mental?
Ruang publik menjadi tempat perempuan bernaung, mengekspresikan kehidupan mereka dengan kebebasan yang ada. Namun, keamanan seolah menjadi hal yang sulit untuk didapatkan di ruang publik. Pelecehan dan kekerasan seksual kerap kali terjadi di ruang publik, dimana seharusnya perempuan dapat merasakan aman di tengah keramaian, tetapi yang terjadi justru berbanding terbalik. Bukan hanya ruang publik, tetapi di rumah tangga pun tidak menjamin kemerdekaan bagi perempuan. Saat perempuan berharap bahwa dirinya berada di bawah perlindungan seorang laki-laki dengan jaminan keamanan, fisik dan mentalnya sering kali menjadi taruhan dari harapan tersebut.
ADVERTISEMENT
Data yang dimiliki oleh Komnas Perempuan menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2011 ada 119.107 kasus kekerasan yang ditangani 393 lembaga pengada layanan. Kasus KDRT menjadi kasus paling banyak ditangani oleh lembaga pengada layanan, sekitar 113.878 kasus (95,61%). Sebanyak 5.187 kasus (4,35%) terjadi di ranah publik seperti kekerasan seksual di angkutan umum dan lainnya. Sedangkan 42 kasus (0,03%) terjadi di ranah negara (Liputan6.com). Padahal keamanan setiap warga negara seharusnya dijamin oleh negara, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara RI Pasal 28G ayat 1 yang membahas terkait hak atas rasa aman sebagai hak warga negara. Namun, dewasa ini keamanan dan keadilan seolah menjadi hal yang tabu bagi perempuan.
Perempuan sulit untuk merdeka, bukan hanya tentang budaya patriarki yang membelenggu perempuan, atau tentang keamanan akan tubuhnya saat berada di ranah publik, tetapi juga tentang stigma, stereotipe, atau konstruksi masyarakat yang mengatur kehidupan perempuan. Kodrat perempuan yang seharusnya hanya menstruasi, melahirkan dan menyusui, seolah menjadi hal yang tidak pernah dihiraukan. Masyarakat hanya menganggap bahwa kodrat perempuan itu di dapur, di kasur, dan di sumur. Sering pula terdengar bahwa perempuan tidak perlu bersekolah tinggi, karena akan berakhir di dapur juga. Bukan hanya itu, perempuan dianggap terlalu tua jika menikah melebihi usia 25 tahun. Hal tersebut seolah mengonstruksikan kehidupan perempuan harus sesuai dengan keinginan sosial.
ADVERTISEMENT
Setelah melihat fakta-fakta tersebut, sepertinya masih sulit untuk menjawab pertanyaan “Apakah perempuan benar-benar sudah merdeka?” Ketika setiap kali perempuan pemilik warung nasi harus terdiam saat tubuhnya dijadikan objek candaan birahi laki-laki. Atau ketika perempuan mengalami kekerasan hanya karena dianggap lemah dan mudah disetir oleh laki-laki yang dianggap memegang kendali. Dan contoh-contoh yang sering kita temukan dengan bebas ketika perempuan-perempuan yang berprofesi sebagai Sales Promotion Girl harus menerima bentuk pelecehan sepeti cat calling dan sentuhan fisik, saat mereka sedang mencari nafkah.
Merdeka untuk perempuan alangkah baiknya jangan ada lagi: kerisauan, keresahan, ketakutan terhadap stigma masyarakat, stereotipe, dan konstruksi sosial, yang membuat banyak perempuan terkungkung dan sulit untuk bergerak. Sebaiknya tidak ada lagi konstruksi sosial yang mengharuskan perempuan menikah sebelum usia 25 tahun, dan konstruksi yang menggerakkan perempuan untuk tidak menempuh pendidikan tinggi. Jangan ada lagi stereotipe bahwa perempuan hanya hidup di kasur, di dapur, dan di sumur. Perempuan bebas bermimpi, berpendidikan, dan berkarya. Indonesia merdeka bersama perempuan-perempuan hebat di dalamnya. *
ADVERTISEMENT
*Adinda Destiana Aisyah, Penulis dan Mahasiswi Universitas Pamulang.