Konten dari Pengguna

Berdamai dengan Standar Kecantikan

Adinda Destiana Aisyah
Mahasiswi Sastra Indonesia di Universitas Pamulang.
15 Januari 2023 15:59 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adinda Destiana Aisyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi. Foto: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. Foto: Unsplash
ADVERTISEMENT
Ketika berdiam di ruang publik, kita dapat menemukan beragam kecantikan perempuan hingga membuat sepasang tidak berhenti menatap. Atau, bahkan membuat kita lupa caranya berkedip. Kita pasti sering bergumam dan memuji betapa cantiknya perempuan yang sedang berjalan di trotoar, sedang membaca buku di halte, sedang tertidur di dalam angkutan umum, atau bahkan yang sedang berbicara dengan keanggunannya.
ADVERTISEMENT
Siapa pun pernah melakukannya, baik perempuan maupun laki-laki. Mendefinisikan cantik di dalam alam bawah sadar atau dengan kesadaran penuh, ketika melihat sosok perempuan yang berbeda-beda adalah hal yang wajar. Hal tersebut seolah menginstruksikan pikiran manusia untuk menyimpulkan arti atau konsep cantik berdasarkan kriteria pribadi.
Cantik, satu istilah yang terlalu bias untuk didefiniskan secara teoritis. Siapapun dapat mendefinisikan istilah cantik. Kenapa? Karena istilah tersebut bersifat universal dan dapat didefinisikan berdasarkan kriteria, teori, analisis, objek nyata, dan pendapat pribadi. Sebagian besar manusia tidak dapat menyimpulkan satu dari sekian banyak definisi cantik adalah benar hingga disahkan menjadi definisi yang permanen.
Namun, hadirnya standar kecantikan seolah mengunci jawaban akan arti atau konsep cantik tersebut dengan konstruksi dan bentuk yang telah diatur sedemikian rupa. Budaya patriarki yang memiliki konsep kerja dalam mengkonstruksikan kehidupan perempuan, hingga hadirnya standar kecantikan yang seolah menjadi kunci utama dalam mendefinisikan cantik itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Berbicara seputar standar kecantikan rupanya bukan hal baru bagi perempuan. Hal tersebut seolah telah menjadi kiblat ketika merumuskan konsep cantik yang sebenarnya.
Ketika sejenak berselancar di media sosial, beberapa perempuan sibuk memuji warna kulit perempuan lain yang lebih cerah, hidung yang lebih mancung, bibir yang lebih tebal, alis yang lebih hitam, tubuh yang lebih langsing, hingga bentuk payudara yang lebih besar. Mereka sibuk membandingkan proporsi tubuh yang dimiliki dengan tubuh milik orang lain.
Ilustrasi perempuan. Foto: dok. Shutter Stock
Fakta lain yang lebih mengejutkan adalah, perempuan juga ikut andil dalam menyongsong standar kecantikan sebagai hal krusial. Sebagian besar perempuan pernah dan sering mengolok wajah atau tubuh perempuan lain yang dianggap tidak sesuai dengan standar.
ADVERTISEMENT
Beberapa perempuan menganggap bahwa cantik harus memiliki kulit yang putih, hidung yang mancung, bibir tebal dan seksi, alis yang lebat, tubuh ideal, hingga payudara atau bokong yang terbentuk sempurna. Mereka telah mendefinisikan cantik adalah mereka yang memiliki proporsi tubuh dan wajah yang sesuai dengan standar kecantikan yang ada.
Sebuah jurnal yang berjudul “Relationship Between Media Exposure and Antifat Attitudes: The Role of Dysfunctional Appearance Beliefs” karya Linda Lin memuat definisi standar kecantikan yang berpusat pada kulit putih, tubuh langsing, rambut hitam lurus, hidung mancung, dan sejenisnya. Sedangkan di Indonesia, kita sering mendengar hal yang sama. Perempuan telah dihantui oleh standar kecantikan yang tidak berpacu pada ciri khas kecantikan perempuan Indonesia yang sebenarya sangat beragam.
ADVERTISEMENT
Cantik tidak dapat didefinisikan hanya dalam satu bentuk tubuh tertentu, seperti misalnya langsung. Atau bahkan hanya pada satu warna tertentu, seperti putih dan cerah. Perempuan diciptakan dengan keindahan yang beraneka ragam, bahkan di Indonesia perempuan memiliki ciri khas tersendiri. Keunikan dan kekhasan yang dimiliki oleh masing-masing perempuan tidak dapat dikalahkan oleh standar kecantikan yang mengatur tubuh perempuan dalam satu konsep saja.
Beberapa negara bahkan memiliki definisi cantik yang berbeda-beda. Contohnya adalah; cincin leher yang dipakai oleh perempuan pada Suku Kayan, Thailand dan Myanmar. Semakin tinggi cincin yang terpasang di leher para perempuan di sana, maka mereka akan semakin cantik.
Sedangkan standar kecantikan yang dimiliki negara Irlandia, yaitu dahi mereka harus lebar, matanya harus berwarna hijau, rambut perempuan di sana harus meras, dan wajah mereka harus memiliki banyak bintik-bintik untuk dapat dikategorikan cantik menurut standar negara tersebut. Keanekaragaman dari berbagai negara menunjukkan bahwa cantik itu relatif dan subjektif.
Ilustrasi perempuan. Foto: metamorworks/Shutterstock
Standar kecantikan di Indonesia telah terkunci pada warna kulit. Bahkan perempuan yang berasal dari Papua dengan ciri khas warna kulit gelap, jika terdapat salah seorang saja perempuan di sana yang memiliki warna kulit lebih terang dari penduduk pada umumnya maka ia dianggap lebih cantik dan menarik.
ADVERTISEMENT
Perempuan-perempuan yang memiliki kulit cerah akan mendapatkan perhatian hingga pujian lebih. Hal ini menunjukkan seberapa kuat pengaruh konstruksi standar kecantikan di negeri ini telah meracuni pikiran masyarakat.
Konstruksi terhadap perempuan melalui standar kecantikan, diperkeruh dengan adanya iklan produk kecantikan yang mendeskripsikan bahwa cantik harus putih. Beberapa iklan menunjukkan bahwa perempuan berkulit putih atau cerah lebih baik dari yang berkulit gelap.
Anjuran terhadap pemakaian produk tertentu agar memperoleh kulit cerah, perlahan meracuni pikiran masyarakat tentang standar kecantikan yang ada. Beberapa iklan produk kecantikan, lebih banyak melibatkan perempuan dengan bentuk tubuh dan wajah yang terbilang ideal.
Akibatnya masyarakat lebih mudah terpengaruh akan satu konsep yang merujuk pada bentuk tubuh dan wajah yang terpampang di televisi adalah konsep cantik yang diterima oleh masyarakat. Dengan adanya pandangan bahwa cantik lebih mudah mendapatkan segalanya, perlahan mendorong masyarakat untuk lebih mudah dikonstruksikan berdasarkan standar kecantikan yang subjektif.
ADVERTISEMENT
Standar kecantikan perlahan meracuni pikiran masyarakat. Bahkan sampai mengkonstruksikan mereka untuk memandang hal tersebut sebagai konsep krusial yang perlu diimplementasikan dalam kehidupan.
Jika perempuan-perempuan tidak berupaya untuk berdamai atau melawan standar kecantikan tersebut, dengan mematenkan bahwa segala hal yang diatur dalam standar itu adalah benar adanya. Maka perempuan akan terus terkurung dalam konstruksi budaya patriarki yang memang bertujuan untuk mengatur tubuh perempuan.
Ilustrasi perempuan. Foto: metamorworks/Shutterstock
Dampak yang lahir dari adanya standar kecantikan lebih dominan bermuara pada dampak negatif. Sebab, hal ini dapat mempengaruhi pikiran perempuan untuk mengubah bentuk tubuh atau wajahnya. Perempuan lebih mudah merasakan insecure ketika mereka menemukan satu titik yang menurutnya tidak sesuai dengan standar kecantikan. Beberapa perempuan tidak percaya diri dengan bentuk tubuhnya yang terlalu kurus atau terlalu gemuk. Pikiran mereka telah dipasung oleh rantai standar kecantikan yang berputar di lingkungan sosial mereka.
ADVERTISEMENT
Mereka beranggapan bahwa perempuan dengan tubuh ideal—payudara besar, bokong yang berbentuk, tubuh langsing seperti gitar Spanyol, kulit putih, wajah dengan tulang pipi yang tegas, bibir tebal, alis hitam, dagu dengan belahan tengah, hidung mancung—merupakan cantik yang sebenarnya. Sehingga, ketika para perempuan menemukan titik yang tidak sesuai dengan standar kecantikan yang ada, maka mereka akan berloma-lomba untuk mengubahnya.
Oleh karena itu, saat ini para perempuan remaja dan dewasa lebih senang menghabiskan uangnya untuk sulam alis atau bibir dari pada shopping dan jajan. Walaupun kita tidak dapat memukul rata fakta tersebut terhadap seluruh perempuan.
Lalu, apakah standar kecantikan dapat membawa dampak positif bagi masyarakat terutama perempuan? Hal ini kembali lagi pada individu masing-masing. Standar kecantikan dapat membawa dampak positif jika dilihat dengan sudut pandang yang berbeda.
ADVERTISEMENT
Bahwasanya dengan standar kecantikan dapat dijadikan acuan untuk merawat diri bukan mengubah diri, mensyukuri adanya perbedaan dari standar yang ada karena perempuan lahir dengan kecantikan yang beragam. Standar kecantikan tidak melulu soal satu sudut pandang mengenai cantik, yang sebenarnya sangat relatif.
Berdamai dengan standar kecantikan, dengan menganggap bahwa standar tersebut bukan hal krusial untuk diimplementasikan dalam kehidupan. Berdamai dengan standar kecantikan, sama halnya dengan berdamai dengan diri sendiri. Mulai berhenti menyalahkan diri akan hal-hal yang dianggap kurang memuaskan, karena Tuhan menciptakan bentuk manusia dengan seadil-adilnya.
Mulai menerima bahwa, kulit itu bukan harus putih atau cerah tetapi harus sehat. Tubuh itu bukan harus ideal seperti gitar Spanyol, tetapi harus sehat dan kuat. Wajah itu tidak harus mulus tanpa jerawat, tetapi harus dijaga kebersihannya. Lagi dan lagi soal pola pikir masyarakat yang seharusnya tidak terkunci pada standar kecantikan yang terbentuk oleh masyarakat itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Saya dan sebagian besar perempuan di masyarakat, telah berdamai dengan standar kecantikan. Kami mulai melihat kecantikan dari sudut pandang yang luas, bahwasanya perempuan bukan harus cantik, tetapi harus bernilai. Perempuan bukan harus kurus atau gendut, tetapi harus bahagia. Perempuan bukan harus menangisi kondisi tubuh atau wajahnya, tetapi mulai menyelam lebih dalam untuk menemukan potensi diri.