Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Fenomena Cerita 21+ di Ruang Sastra Digital
1 November 2021 20:36 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Adinda Destiana Aisyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Eksistensi karya sastra di Indonesia telah mengalami perjalanan yang panjang, belum lagi polemik yang terjadi di tengah-tengah sastrawan dan masyarakat. Seiring berjalannya waktu, ketika teknologi semakin memimpin di tengah generasi, kedudukan sastra pun mengikuti perkembangannya. Ketika dahulu kita hanya menikmati karya sastra lewat media cetak, seperti koran dan majalah, tetapi di era yang serba canggih ini kita bisa menikmati karya sastra itu lewat digital.
ADVERTISEMENT
Di zaman yang serba berteknologi tinggi, semua orang mulai menggantungkan kehidupannya kepada teknologi. Masyarakat mulai mengandalkan digital dalam memenuhi kebutuhan informasi. Selain itu, bukan hanya dalam memenuhi kebutuhan informasi berupa berita, tetapi masyarakat juga mulai mengandalkan media digital dalam mencari hiburan contohnya karya sastra.
Masyarakat berlomba-lomba mengunduh aplikasi platform digital yang menyediakan karya-karya sastra anak bangsa yang bisa dinikmati dengan bebas tanpa harus merogoh kocek yang dalam. Mereka bisa menikmati beragam jenis cerita anak muda dengan "cinta monyet" yang konyol, cerita cinta dewasa yang berputar-putar pada keegoisan tokohnya, atau bahkan cerita pelik rumah tangga yang menguras emosi. Tentu saja! Semua cerita sedih, bahagia, dan penuh emosi, tersedia lengkap di platform digital.
ADVERTISEMENT
Saya adalah salah satu penikmat karya sastra modern Indonesia. Sejak dulu media cetak adalah pilihan terbaik dalam menikmati karya-karya sastra. Selain untuk menghindari menatap layar hp terlalu lama, membaca karya sastra melalui media cetak terasa lebih nyata daripada harus membacanya lewat platform digital. Namun, ketika kelahiran sastra digital menggegerkan dunia sastra, saya berpikir bahwa tidak buruk untuk mencoba menikmati karya sastra melalui media digital. Hingga akhirnya rasa penasaran dan pikiran tidak ingin ketinggalan zaman, membuat diri ini menjelajahi berbagai media digital yang telah direkomendasikan oleh masyarakat luas.
Pertemuan pertama dengan salah satu platform digital bernuansa oranye, dengan jumlah pengunduh yang telah melampaui jutaan orang, bahkan penilaian yang diberikan untuk aplikasi itu terbilang cukup tinggi dan memuaskan. Hal-hal menakjubkan tersebut memunculkan stereotip di dalam pikiran saya, bahwa media digital memang sedang digandrungi oleh masyarakat luas, bahkan bisa dibilang sangat populer di kalangan remaja. Hingga ekspektasi tinggi tentang cerita-cerita yang berada di platform digital itu pun mulai tertumpuk di dalam otak.
ADVERTISEMENT
Menjelajahi dunia oranye tersebut tidak membutuhkan waktu lama, karena sebagian besar cerita yang tersedia di sana bisa dinikmati secara gratis. Namun, sungguh miris! Ketika saya harus menemukan cerita dengan tema dewasa. Bahkan cerita-cerita dewasa itu bukan hanya satu sampai dua cerita, melainkan ada banyak cerita-cerita bertema dewasa di dalam platform digital tersebut.
Penulis memang memperingatkan di bagian deskripsi cerita, bahwa karyanya tersebut adalah cerita dewasa dan hanya boleh diakses oleh pembaca yang sudah berusia 21+. Namun, faktanya tidak ada yang bisa menjamin bahwa para pembaca menghiraukan peringatan tersebut. Karena pengunduh aplikasi tersebut, atau penikmat platform digital itu sebagian besar adalah anak remaja. Hingga tidak menutup kemungkinan, dengan rasa penasaran, ditambah peringatan yang terkesan "menantang", membuat para pembaca di segala usia memberanikan diri untuk membaca cerita dewasa tersebut, tanpa mengindahkan peringatan dari penulis.
ADVERTISEMENT
Ketika saya mencoba untuk membaca lebih jauh beberapa cerita 21+ yang berada di platform digital, untuk melihat apakah masih memperhatikan kaidah penulisan yang baik dan benar. Hanya ada satu jawaban yang muncul selama saya menelusuri lebih dalam cerita tersebut adalah, tidak ada kaidah penulisan yang benar. Selama membaca cerita tersebut saya merasa heran, takut, malu, dan tidak berhenti menggelengkan kepala. Cerita dewasa yang disajikan bukan hanya dari jalan ceritanya saja, melainkan pilihan diksi yang terkesan vulgar dan berani, hingga bisa dibilang tidak pantas untuk dibaca secara bebas.
Cerita-cerita tersebut dikemas dengan pilihan kata yang penuh dengan unsur sara, bahkan adegan di dalamnya memuat pertanyaan besar. “Apakah tidak ada penyaringan terhadap cerita yang dimuat dalam platform digital?” Sehingga cerita-cerita tersebut bisa bebas dinikmati oleh siapa pun, kapan pun, dan dimana pun. Bahkan, adegan ranjang yang selayaknya dilakukan oleh pasangan suami-istri pun dijabarkan dengan sangat rinci oleh penulis. Sungguh miris, bukan?
ADVERTISEMENT
Saya sudah dibuat geram oleh cerita yang penuh dengan kontroversi, ditambah jumlah pembaca dari cerita-cerita tersebut terbilang tidak sedikit, yaitu mencapai 2.000 orang pembaca. Sebenarnya apa yang mereka dapatkan dari cerita dewasa tersebut? Padahal di dalamnya tidak ada nilai sastranya, nilai estetikanya pun bisa dibilang hanya 1% saja. Fenomena ini juga terungkap pada pelaksanaan "Webinar Nasional" yang dilaksanakan oleh Universitas Pamulang. Pada saat itu seorang penulis novel terkenal bernama Achi TM menjadi narasumbernya. Pada sesi tanya jawab, ada satu pertanyaan yang dilontarkan oleh salah seorang mahasiswa terkait tema cerita yang banyak disukai oleh remaja saat ini, kemudian Achi TM menjawab tanpa ragu bahwa tema atau genre cerita dewasa, romantis, erotis-romantis, memiliki jumlah pembaca yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Belum selesai dengan perihal jumlah pembaca dan peminat cerita dewasa, masalah lain yang terlihat cukup memprihatinkan adalah terkait komentar yang selalu ada di bagian akhir cerita, “Lanjut Thor!” dan “Semangat Thor!” atau “Aku suka banget sama jalan ceritanya Thor!” saya semakin melongo pada saat itu.
Tidak hanya berhenti di fakta cerita 21+ yang menarik minat masyarakat, dengan jumlah pembaca di luar nalar, ditambah komentar-komentar positif alih-alih menyetujui cerita tersebut, belum lagi fakta bahwa tidak sedikit penulis dari cerita-cerita dewasa tersebut adalah anak di bawah umur. Saya sibuk bertanya-tanya (lagi), bagaimana bisa anak di bawah umur menuliskan adegan-adegan dewasa yang penuh dengan kemesraan, seperti sudah merasakan sendiri? Saya semakin dibuat pusing oleh fenomena mengiris hati di ruang sastra digital ini.
ADVERTISEMENT
Sastra digital sebenarnya memberikan dampak positif bagi masyarakat yang gemar membaca karya-karya sastra berupa novel, cerpen, puisi, dan lain-lain. Mereka bebas mengakses cerita-cerita tersebut dimanapun dan kapanpun. Bahkan, seorang penulis pemula bisa mulai menunjukkan kemampuannya dengan wadah platform digital yang membebaskan siapa pun untuk berkarya dan berimajinasi dalam menuangkan ide-ide menarik.
Namun, kebebasan ini justru membawa dampak buruk bagi generasi muda jika tidak diperhatikan secara mendalam. Mengapa tidak? Bagaimana bisa cerita dewasa 21+ bisa dinikmati dengan mudah bahkan di kalangan anak-anak? Bagaimana bisa seorang anak remaja membuat cerita dengan adegan dewasa yang rinci? Bagaimana bisa cerita 21+ memiliki jumlah pembaca mencapai ribuan orang? Pertanyaan-pertanyaan tersebut seharusnya bisa dijadikan perhatian, bahwa dampak negatif dari platform digital tidak bisa dianggap remeh, jika tidak ingin meracuni pikiran anak bangsa di masa depan.
ADVERTISEMENT
Mengapa saya membahas tentang 'meracuni pikiran anak bangsa?' karena secara tidak langsung ketika karya sastra itu lahir, ada tiga aspek psikologi yang terdapat di dalamnya. Aspek psikologi pengarang, aspek psikologi tokoh di dalam karya sastra, dan aspek psikologi pembaca. Seperti yang dikemukakan oleh Iser (1979), bahwa suatu karya sastra akan menimbulkan kesan tertentu kepada pembaca. Coba bayangkan saja, keadaan psikologi seperti apa yang akan dihasilkan dari cerita-cerita dewasa dengan adegan-adegan berani seperti itu?
Sebenarnya tidak ada kesalahan dari perkembangan teknologi yang ada di negeri ini, hanya saja teknik pemanfaatan yang terkesan terlalu bebas memberikan dampak negatif yang tinggi. Alangkah baiknya para pengurus platform digital dapat menyaring kembali cerita-cerita yang masuk, memilih dengan teliti terkait dengan genre cerita, pilihan diksi, dan adegan-adegan yang tidak sepatutnya ada di dalam sebuah novel.
ADVERTISEMENT
Para penulis juga harus bisa menggunakan pilihan diksi yang tepat pada ceritanya, tidak mengandung unsur sara dan tidak terlalu vulgar. Pengurangan adegan-adegan dewasa sebenarnya tidak akan mempengaruhi jalan cerita jika bisa dikemas dengan baik. Poin penting yang tidak boleh dilupakan oleh penulis adalah kaidah penulisan yang baik dan benar sesuai dengan aturan yang sudah tersedia. Pembaca juga diharapkan untuk lebih selektif dalam memilih cerita-cerita di platform digital. Alangkah baiknya untuk membaca cerita yang mengandung nilai positif bukan hanya nilai hiburan saja.
Dunia sastra, karya sastra, sastra Indonesia, bukan hanya sekadar wadah untuk hiburan. Di dalamnya terdapat banyak nilai pendidikan, nilai budaya, nilai estetika, dan nilai kehidupan yang bisa diambil. Namun, jika dunia sastra tercampur dengan nilai-nilai cerita yang tidak sesuai kaidah, maka akan timbul 'penyakit' untuk generasi penerus bangsa.
ADVERTISEMENT