Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Perempuan dan Masa Berlaku
1 September 2023 6:40 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Adinda Destiana Aisyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apakah kamu pernah menyadari bahwa dalam kehidupan, perempuan sering kali dibentuk berdasarkan batas usia terbaik atau istilahnya memiliki usia kedaluwarsa?
ADVERTISEMENT
Kenapa perempuan harus hidup dengan konstruksi pembatasan usia yang dikotak-kotakkan seperti misalnya subur dan tidak subur, usia produktif dan tidak produktif, usia maksimal dan minimal? Kenapa perempuan tidak bisa hidup tenang tanpa aturan baku perihal usia? Kenapa perempuan harus punya masa berlaku?
Sulitnya jadi perempuan tidak berhenti pada perihal budaya patriarki yang mengikat kedua kaki—konstruksi sosial yang mengurung diri, stigma, strereotipe, beban kerja ganda, subordinasi, dan lain-lain. Banyak hal yang membuat perempuan akhirnya perlu mengerahkan usaha besar untuk bertahan hidup tengah budaya patriarki.
Jika laki-laki bisa dengan mudah memasuki pintu manapun tanpa khawatir akan asumsi masyarakat, justru perempuan perlu mengerahkan tenaga dalam untuk memasuki pintu mana saja ditambah lagi asumsi masyarakat yang menganggap negatif.
ADVERTISEMENT
Mungkin kamu sering mendengar perihal anggapan sebaiknya perempuan menikah sebelum usia 30 tahun. Atau, anggapan sebaiknya perempuan segera mempunyai anak sebelum usia 30-35 tahun karena dianggap masih subur dan baik untuk mengandung serta melahirkan.
Tanpa sadar, hal itu menunjukkan seolah usia produktif perempuan dibatasi hingga usia 30 tahun. Jika lebih dari itu, maka perempuan dianggap tidak produktif, alot, ketuaan, atau dianggap sudah kedaluwarsa.
Perempuan makin mirip makanan kemasan yang harus selalu diperhatikan tanggal kedaluwarsanya, supaya jangan sampai terlewat. Ya, memang tidak aneh jika melihat bagaimana eksistensi perempuan sering dianggap sebagai objek. Seperti objek-objek pada umumnya yang memiliki batas pemakaian tertentu, perempuan juga dianggap memiliki masa berlaku atau masa kedaluwarsa.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini bukanlah sesuatu yang asing, karena banyak perempuan tanpa sadar telah menjadi korban dari konstruksi mengenai usia ini. Bahkan, novel yang pernah saya baca karya Andina Dwifatma yang berjudul Lebih Senyap dari Bisikan, memiliki blurb yang bertuliskan:
Hal ini menunjukkan bahwa isu mengenai usia maksimal tubuh perempuan memang kian mengusik. Isu mengenai aturan usia perempuan masih memberikan dampak yang signifikan bagi para perempuan.
Perempuan jadi menganggap bahwa dirinya memang harus menikah sebelum usia 30 tahun, atau perempuan harus segera memiliki anak sebelum usia rawan yaitu 30 tahun-an. Tanpa disadari hal ini justru menghambat pergerakan perempuan untuk memiliki tujuan hidup selain menikah dan mempunyai anak.
Ibaratkan perlombaan, perempuan bukan berlomba dengan orang lain, tetapi berlomba dengan usianya sendiri. Padahal, usia bukanlah penentu produktivitas seorang perempuan.
ADVERTISEMENT
Semakin menua, perempuan dianggap telah memasuki masa kedaluwarsa, rawan juga. Perempuan seolah tidak diperbolehkan untuk menua. Perempuan harus mencapai segala hal dalam hidupnya sebelum menua, karena dianggap jika menua bukan lagi waktu yang tepat baginya untuk menemukan pijakan sendiri.
Bahkan, jika seorang perempuan sudah menunjukkan perbedaan pada fisiknya, maka ia dianggap telah menua dan kedaluwarsa. Daya tariknya pun ikut menghilang.
Fenomena seperti ini kerap membuat perempuan-perempuan khawatir akan perubahan fisik yang dialaminya hanya karena menua. Perempuan jadi khawatir akan usianya, padahal usia 30-40 tahun bukan batasan bagi perempuan untuk bermimpi, memiliki aspirasi, dan menemukan pijakannya sendiri.
Kenapa perempuan harus terusik dengan usia? Bahkan, fenomena baru yang saya temui di media sosial, ada banyak sekali kekhawatiran ketika usia hampir menginjak 30 tahunan.
ADVERTISEMENT
Jika bisa berlari menjauhi usia tersebut, mungkin lebih baik berlari daripada menginjak usia 30 tahun. Ibarat melarikan diri dari kenyataan yang sudah pasti datang. Sepertinya hal ini juga dialami oleh para perempuan. Dibilang ketuaan kalau belum menikah sebelum usia 30 tahun, dibilang usia rawan kalau belum hamil di usia 30 tahun.
Perempuan tidak boleh menua, karena jika menua maka hilang sudah pijakan dan eksistensinya. Seperti yang pernah dikatakan oleh Zoe Saldana yaitu, ketika perempuan berusia 28 tahun maka perempuan akan kedaluwarsa.
Bahkan, suatu penelitian mengemukakan bahwa eksistensi perempuan menurun drastis ketika melewati usia 30 tahun. Berbeda dengan laki-laki yang bahkan bisa mencapai usia 46 tahun.
Dunia selebritas bahkan menunjukkan fenomena ini lebih jelas, misalnya pada perfilman Hollywood ketika aktor laki-laki yang sudah menua dianggap masih atau lebih menarik, berbeda dengan aktor perempuan.
ADVERTISEMENT
Perubahan fisik yang dialami oleh laki-laki ketika menua dianggap lebih menarik, dibandingkan perubahan fisik pada perempuan ketika menua. Akhirnya, eksistensi perempuan ketika memasuki usia 30 tahun akan terpinggirkan dan hilang.
Fenomena ini mengingatkan saya pada definisi seksisme karena adanya diskriminasi terhadap suatu gender —yang pada kasus ini menyerang perempuan. Fitrah perempuan yang kita ketahui bersama adalah hamil dan melahirkan, tetapi hal tersebut justru sering dijadikan alasan untuk memandang rendah perempuan tua.
Perempuan yang sudah hamil dan melahirkan maka dianggap memasuki masa tua. Hal itu berbeda dengan laki-laki yang tidak memandang usia untuk bereproduksi.
Perempuan kerap kali khawatir mengenai masa produktif berdasarkan usianya. Sehingga sebagian takut untuk memulai langkah baru hanya karena usia yang dianggap tidak muda lagi. Hal ini didasari oleh seksisme mengenai usia perempuan dan masa berlakunya. Padahal usia 40 tahun itu seharusnya tergolong masih muda.
ADVERTISEMENT
Perlu diingatkan kembali bahwa usia bukanlah pangkal atau kunci produktivitas seseorang. Jangan jadikan usia sebagai penentu garis akhir perjalanan hidup, atau keraguan untuk memulai sesuatu.
Menikah itu bukan berdasarkan usia matang atau perihal hormonal, tetapi kesiapan mental, fisik, dan finansial. Hamil atau melahirkan itu bukan fungsi utama perempuan, karena pada dasarnya perempuan bukan mesin penghasil bayi atau anak.
Jadi, memiliki anak bukan berdasarkan usia tetapi kesiapan mental dan aspek lainnya. Seharusnya perempuan bebas bergerak dan mengemudikan dirinya sendiri tanpa konstruksi masyarakat karena budaya patriarki.