Seni Pertunjukan Teater sebagai Media Bersuara Para Kritikus Kecil

Adinda Destiana Aisyah
Mahasiswi Sastra Indonesia di Universitas Pamulang.
Konten dari Pengguna
12 Juli 2023 18:51 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adinda Destiana Aisyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi teater. Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi teater. Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Seiring berkembangnya zaman serta serangan teknologi yang semakin menggila, membuat kita lebih senang berselancar di depan layar ponsel daripada menyaksikan pertunjukan seni seperti drama, teater, dan lain-lain. Mungkin saja, hanya segelintir manusia yang di dalam jiwanya masih menyukai seni hingga gemar menyaksikan seni pertunjukan, daripada rebahan mantengin layar ponsel yang isinya tidak jauh dari kisah perselingkuhan. Walaupun ya tidak salah sih, semua orang punya hak masing-masing akan kehidupannya.
Perlu diakui bahwa gempuran teknologi semakin membuat manusia menggantungkan kehidupannya di sana. Semua serba online, semua serba teknologi, semua serba canggih dan efisien, bahkan beberapa masyarakat menggunakan media daring sebagai wadah dalam menyampaikan aspirasi atau kritikan. Sejauh hemat saya, pemanfaatan teknologi khususnya media sosial masih eksis sebagai wadah untuk mengkritik, mencaci, merundung, dan lain-lain. Bahkan kasus-kasus penting bisa dilirik, setelah viral melalui media sosial. Apalagi yang berkaitan soal belahan. Belahan bumi hihihi.
ADVERTISEMENT
Memang harus diakui berkali-kali bahwa minimnya wadah untuk menyampaikan aspirasi, kritikan, keluhan, membuat masyarakat sibuk meraba-raba untuk mencari wadah yang tepat. Kalau wadahnya tidak tepat, malah jadi boomerang untuk yang bersuara. Bersuara itu sulit, kalau tidak tau tempatnya atau tidak ada dukungan orang-orang kuat. Sepertinya suara itu akan hanya dianggap angin lalu. Jadi, saat ini mencari dukungan masyarakat luas melalui media sosial menjadi cara paling ampuh untuk bersuara.
Namun, berbeda dengan yang dilakukan oleh para kritikus kecil yang gemar menyentil tanpa sepenuhnya melibatkan media sosial. Kritikus kecil yang selalu melek akan masalah sosial tetapi sulit menemukan wadah yang tepat, mereka lebih memilih untuk menyalurkan segalanya melalui seni. Lebih tepatnya adalah seni lakon.
ADVERTISEMENT
Walaupun tidak banyak yang mendengar dan menyaksikan, bahkan jauh kemungkinan untuk didengar para pemilik singgasana utama. Namun, para lakon tetap menyuarakan kritik sosial dengan penghayatan yang sesuai dengan yang dirasakan masyarakat luas. Salah satunya adalah, lakon Negeri Manipulasi yang baru saja dipentaskan pada tanggal 22 Juni kemarin. Menurut saya, lakon ini sarat akan kritik sosial.
Pertunjukan teater yang disutradarai oleh seorang mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Pamulang Handhyka Permana, dan merupakan adaptasi naskah milik Bintang Wijaya AS Darma yang berasal dari universitas yang sama. Berhasil membuat saya bergidik, tak mampu bersuara dan hanya termangu menyaksikan pertunjukan tersebut hingga usai.
Pertunjukan teater tersebut berhasil menyampaikan sentilan manis untuk para pemilik kursi tinggi di negeri ini. Bukan hanya kritik sosial yang mendalam, tetapi para lakon yang berhasil mengeskpresikan penderitaan, kesedihan, amarah, dan pemberontakan dari rakyat kecil yang membuat pertunjukan ini patut diberi tepuk tangan berdiri.
ADVERTISEMENT
Saya akui bahwa monolog yang disampaikan salah satu lakon bernama Rumini pada pertunjukan tersebut menjadi salah satu yang terbaik. Bisa dibuktikan bahwa tidak semua masyarakat di negeri ini dapat terlihat dan diperhatikan oleh para pengatur negeri. Banyak makhluk kecil yang merongrong meminta pertolongan dan keadilan, tetapi seolah tidak terdengar tangisannya. Rumini justru berhasil menyampaikan penderitaan tersebut dengan penghayatan yang dalam.
Penggalan monolog di atas merupakan salah satu kritik sosial yang disampaikan pada pertunjukan Negeri Manipulasi, mengenai suara-suara rakyat kecil yang tidak terdengar. Teater memang telah menjadi jembatan komunikasi bagi masyarakat dalam menyampaikan ketidakadilan, gagasan tersebut disampaikan oleh James Danandjaja (1997) dalam Foklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Teater rakyat yang menjadi wadah komunikasi dalam menempatkan sindiran atau kritik atas ketidakadilan yang dirasakan. Hal ini membuat para kritikus kecil pecinta seni lebih memilih untuk menggunakan teater sebagai wadah dalam bersuara.
ADVERTISEMENT
Monolog lain yang membuat saya menyimpulkan kebenaran akan fenomena negeri sendiri. Aturan yang membludak, manusia disetir dengan aturan tetapi tanpa kepedulian. Lagi dan lagi, lakon tersebut berhasil menyampaikan kritik sosial yang sesuai dengan keadaan.
Sebenarnya, banyak sekali dialog atau monolog yang sarat akan kritik dan sindiran pada pertunjukan Negeri Manipulasi tersebut. Namun, sayangnya saya tidak bisa membeberkan semuanya di sini karena khawatir menjadi spoiler menyadari bahwa pertunjukan tersebut masih baru dan belum dipublikasikan secara luas.
Saya hanya ingin menekankan bahwasanya seni pertunjukan terbilang masih relevan untuk dijadikan wadah dalam bersuara, ketika jiwa-jiwa muda kesulitan untuk menyampaikan sindiran atau kritikan. Walaupun cara ini tidak dapat menjamin langsung terdengar pada yang dituju, tetapi seni, hiburan, nilai estetika, serta amanat dari pertunjukan tersebut masih bisa dijadikan oleh-oleh bermanfaat untuk dibawa pulang.
ADVERTISEMENT
Cara tersebut juga dapat dilakukan untuk mempertahankan eksistensi seni pertunjukan terutama teater di kalangan masyarakat luas, walaupun sulit untuk menjamah jiwa-jiwa muda terutama gen z yang mungkin segan untuk menikmati seni. Seni itu tidak boleh padam. tidak masalah jika ingin menjadikan seni sebagai wadah dalam bersuara atau sekadar hiburan semata.