Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Emoji: Perkembangan Baru Komunikasi atau Degradasi Bahasa Lisan dan Tulisan?
7 Juni 2023 14:38 WIB
Tulisan dari Adinda Shefaly Nadia Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Alih-alih menulis kata-kata, kini kita dapat mengungkapkan perasaan kita dengan sekeping gambar kecil dan berwarna. Emoji, ikon digital kecil ini, telah merubah dunia komunikasi kita, mendorong pertanyaan penting: Apakah ini evolusi bahasa, atau apakah ini mewakili kemunduran dalam kemampuan kita untuk mengomunikasikan gagasan dan emosi dengan kata-kata?
ADVERTISEMENT
Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa emoji telah menjadi bagian tak terpisahkan dari komunikasi digital kita. Menurut laporan dari Emojipedia, ada lebih dari 3000 emoji yang resmi diakui oleh Unicode Consortium hingga tahun 2023 ini. Ada emoji untuk hampir semua ekspresi, emosi, dan hal yang dapat kita bayangkan. Menurut studi di Universitas Oxford pada 2015, emoji "Face with Tears of Joy" adalah kata yang paling sering digunakan di dunia dalam pertukaran pesan.
Sebagaimana dilukiskan oleh Marcel Danesi, profesor semiotika dan antropologi linguistik di University of Toronto, "Emoji telah menjadi sistem simbolis terbesar dan paling serbaguna yang pernah diciptakan, setara dengan bahasa manusia itu sendiri."
Namun, sejauh mana emoji ini benar-benar melengkapi bahasa, dan sejauh mana mereka merusaknya?
ADVERTISEMENT
Memang, emoji membantu melengkapi makna dalam komunikasi digital di mana intonasi dan ekspresi wajah tidak ada. Kita pernah mengalami saat pesan kita disalahartikan karena penerima tidak bisa 'mendengar' nada suara kita atau 'melihat' ekspresi wajah kita. Emoji muncul sebagai solusi untuk permasalahan ini. Tapi, kita harus menanyakan diri kita, sejauh mana kita mengandalkan emoji dalam percakapan kita?
Emoji bukan bahasa dalam arti tradisional, tetapi mereka berfungsi dalam cara yang serupa dengan kata-kata, yaitu menyampaikan makna dan nuansa. Dalam hukum juga, emoji telah mulai dianggap sebagai bagian penting dari bukti komunikasi. Misalnya, dalam Pasal 27 Ayat 3 UU ITE Indonesia, ancaman melalui pesan teks yang mengandung emoji dapat dikenakan sanksi pidana. Emoji telah menjadi alat untuk membantu menjelaskan maksud dan tujuan.
ADVERTISEMENT
Namun, penyalahgunaan atau penggunaan berlebihan emoji dapat menurunkan kualitas komunikasi. Jika kita terlalu bergantung pada gambar-gambar kecil ini untuk menyampaikan pesan kita, apakah kita kehilangan kemampuan untuk menyatakan perasaan dan pemikiran kita dengan kata-kata? Ini adalah pertanyaan yang harus kita pertimbangkan saat kita semakin banyak berkomunikasi dalam dunia digital.
Untuk memberikan perspektif, saya teringat pada cerita seorang teman yang merupakan guru Bahasa Inggris di sebuah sekolah menengah. Dia menceritakan bagaimana dia merasa terkejut dan sedih saat melihat sejumlah besar muridnya lebih memilih menggunakan emoji daripada kata-kata saat menulis esai. Meskipun ini mungkin contoh ekstrim, ini menggambarkan bagaimana penggunaan emoji yang berlebihan dapat mengaburkan kemampuan kita untuk mengekspresikan diri dengan bahasa tulisan dan lisan yang efektif dan presisi.
ADVERTISEMENT
Seperti yang pernah dikatakan oleh Neil Postman, seorang kritikus media dan budaya, "Kita adalah alat dari alat-alat kita sendiri." Kita harus berhati-hati agar tidak menjadi alat dari emoji, alih-alih menggunakannya sebagai alat untuk memperkaya komunikasi kita.
Ada tempat dan waktu untuk setiap mode komunikasi. Kita tidak boleh membiarkan kemudahan dan efisiensi komunikasi yang diberikan oleh emoji menggantikan kekayaan dan nuansa yang ditawarkan oleh bahasa lisan dan tulisan. Kita perlu menghargai emoji sebagai tambahan ke bahasa, bukan sebagai penggantinya.
Dalam hal ini, kita harus menciptakan keseimbangan dalam menggunakan emoji. Kita perlu mengajarkan generasi muda tentang pentingnya bahasa lisan dan tulisan, dan bagaimana mereka dapat menggunakan emoji untuk melengkapi, bukan menggantikan, kata-kata mereka.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, mungkin yang paling penting adalah mengenali bahwa bahasa selalu berubah. Emoji mungkin bukan bentuk tradisional dari bahasa, tetapi mereka adalah bentuk komunikasi, dan mereka telah menemukan tempat mereka dalam bahasa digital kita. Namun, kita harus berhati-hati agar tidak membiarkan bentuk komunikasi ini mengambil alih kemampuan kita untuk berbicara dan menulis dengan kata-kata.
Seperti yang dikatakan oleh penulis dan filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche, "Kita tidak boleh lupa bahwa penulisan adalah penemuan terbaik kita." Bahasa lisan dan tulisan memberikan kita kebebasan dan kekuatan untuk berpikir, berkomunikasi, dan berbagi ide dengan cara yang belum bisa dicapai oleh emoji. Mari kita jaga kekuatan itu.