Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Konten dari Pengguna
Hindari Dry Text dalam Komunikasi Digital
28 Januari 2025 18:26 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Adinna Islah Perwita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perkembangan teknologi yang kian masif berdampak pada keanekaragaman bentuk komunikasi. Kini, komunikasi berada pada medium yang tidak hanya melalui tatap muka, tetapi melalui aplikasi atau platform khusus pertukaran pesan. Sebut saja WhatsApp, menjadi aplikasi pertukaran pesan terpopuler di dunia (Statista, 2024). Komunikasi jalur ini sering disebut juga sebagai komunikasi digital, yakni proses perpindahan pesan atau informasi dari komunikator ke komunikan melalui media digital (Asari et al., 2023).
ADVERTISEMENT
Berkomunikasi bukan sekadar menyampaikan dan menerima pesan semata. Etisnya, berkomunikasi juga memerlukan etika. Dengan etika, hubungan komunikator dan komunikan akan terjalin harmonis. Sebaliknya, komunikasi tanpa etika akan menimbulkan perselisihan antar individu (Sari, 2020).
Etika dalam komunikasi berpedoman pada asas moralitas yang berkaitan dengan adat kebiasaan, norma, nilai dan kaidah yang berkembang di masyarakat. Misalnya, dalam komunikasi digital, hendaknya menggunakan sapaan, menggunakan bahasa yang santun, tidak menjurus dan membangkitkan emosi negatif, tidak mem-bully, dan mengecek pesan sebelum dikirim (Mutiah dalam Bustami et al., 2024).
Namun, akhir-akhir ini, Gen Z kembali meluncurkan istilah baru yakni dry text dalam komunikasi digital. Dry text adalah orang-orang yang hanya menjawab dengan satu kata atau tidak melanjutkan percakapan dengan cara yang menarik (Ranti, 2024). Istilah ini merujuk pada gaya komunikasi yang singkat, padat, dan terkesan dingin. Contoh; “oke”, “siap”, “wkwk”, “hmm”, “jam 6”, “silahkan”, dll. Bahkan tidak hanya berlaku untuk satu kata saja, beberapa kata yang tidak terdapat unsur sapaan juga menjadi kategori dry text.
ADVERTISEMENT
Dilansir dari Tempo.co (2024), beberapa kemungkinan komunikator melakukan dry text adalah ingin mengakhiri pembicaraan atau tidak tertarik dengan pembicaraan, dan bisa juga karena tengah sibuk atau memang merupakan gaya komunikasi individu tersebut. Namun hal ini tentu dapat menimbulkan komunikasi yang tidak sehat atau kurang hangat antar individu (Sari, 2020). Tidak hanya itu, dampaknya juga dapat mengarah pada menurunnya keterlibatan percakapan, memunculkan kesalahpahaman, dan menghambat pengembangan hubungan sosial (Muallif, 2024).
Muallif (2024) juga mengatakan, guna menghindari dampak tersebut, komunikator dapat menambahkan emoji untuk memberi kesan hidup dan ekspresif dalam teks, menambahkan sapaan guna memberi kesan keberadaan, membuat pertanyaan secara terbuka sehingga tidak menimbulkan jawaban singkat seperti "ya" atau "tidak", memberi respons lebih dari satu kata bahkan membentuk sebuah kalimat lengkap dan jelas untuk menanamkan kesan ketertarikan pada bab yang tengah dibahas.
ADVERTISEMENT
Dry text memiliki dampak signifikan terhadap kualitas komunikasi digital, baik secara personal maupun profesional. Berdasarkan penelitian dari Bustami et al. (2024), gaya komunikasi yang minim seperti ini dapat menurunkan keterlibatan percakapan hingga 35% dan meningkatkan risiko kesalahpahaman sebesar 28%. Sedangkan dalam dunia kerja, gaya komunikasi yang tidak hangat berpotensi menurunkan produktivitas tim hingga 22% karena kurangnya kepercayaan dan kedekatan antar anggota. Oleh karena itu, menghindari dry text dan menerapkan etika komunikasi yang lebih ramah, seperti menggunakan emoji, sapaan, atau respons yang lengkap, sangat penting untuk membangun hubungan yang lebih baik di era digital ini.