Konten dari Pengguna

Mengulas Posisi Perempuan dalam Tradisi Sumba

Adinna Islah Perwita
Seorang dosen muda di Universitas Amikom Purwokerto yang tertarik menulis tentang komunikasi, media, gender dan gaya hidup.
5 Agustus 2024 13:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adinna Islah Perwita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Perempuan. Sumber: freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Perempuan. Sumber: freepik.com
ADVERTISEMENT
Sedikit kilas balik pada tahun 2021, saya menonton sebuah film dokumenter berjudul Perempuan Tana Humba di Bioskop Online Indonesia. Film yang diproduksi oleh Tanakhir Films, disutradarai oleh Lasja F. Susatyo serta diproduseri oleh Mandy Marahimin ini mengangkat realitas budaya Sumba, Nusa Tenggara Timur yang mempengaruhi posisi kehidupan perempuan di sana.
ADVERTISEMENT
Saya rasa, tema dokumenter tersebut berkaitan dengan isu feminitas yang semakin berkembang di kalangan masyarakat Indonesia, sehingga tak heran jika akhir-akhir ini tren film mengarah pada perempuan sebagai cerita utamanya.
Dalam film tersebut menceritakan tiga babak kehidupan yang harus dijalani masyarakat perempuan Sumba, yaitu Marapu, Belis dan Perkawinan.
Marapu adalah budaya asli masyarakat Sumba yang memuliakan leluhurnya. Di bab ini, digambarkan bagaimana sebuah ritual atau rangkaian upacara yang dilakukan oleh masyarakat penganut Marapu seperti potong ayam dan babi yang kemudian dibagikan kepada penganut Marapu lainnya. Budaya sejak nenek moyang tersebut rupanya masih sangat kental hingga saat ini dan diyakini untuk tidak boleh ditinggalkan.
Dalam budaya Marapu, terdapat budaya “Belis” atau dalam bahasa Indonesia disebut mahar/mas kawin. Ketika saya teliti menggunakan analisis wacana pada film tersebut, terlihat jelas posisi perempuan yang lemah akan posisi laki-laki yang dominan. Pasalnya, bagi orang Sumba, perempuan memiliki nilai tukar berupa kuda, sapi, kerbau, dan babi yang bernilai tinggi.
ADVERTISEMENT
“Kalau orang Sumba dulu sering bilang “bayar”. Jadi sesuatu yang dibayarkan untuk mendapatkan sesuatu. Jadi kita (laki-laki) bayar hewan, kita dapat perempuan,” ujar Umbu Ndjurumanna, tokoh masyarakat Sumba yang ada di dalam film tersebut.
Dalam film itu juga menjelaskan jika semakin tinggi nilai belis maka semakin tinggi martabat perempuan, begitu juga sebaliknya. Namun jika tidak ada belis dalam perkawinannya, maka perempuan tidak memiliki “nilai” dihadapan pihak laki-laki. Tidak berhenti di situ, setelah mendapat Belis, perempuan diharuskan meninggalkan keluarganya dan berpindah ke keluarga laki-laki. Film tersebut juga menggambarkan perempuan sebagai yang bertanggungjawab terhadap "urusan belakang" dan tidak pernah di tempatkan di depan sebagai pengambil keputusan. Hal ini jelas menunjukkan posisi perempuan yang termarginalisasi dalam tradisi.
ADVERTISEMENT
Kemudian babak ketiga menceritakan tentang “Perkawinan”. Dalam penggambaran bab ini sutradara memperlihatkan dua sudut pandang berbeda yakni dari sisi tradisional dan modern. Rambu Ana, sebagai pemeran perempuan modern dalam film tersebut mengatakan bahwa tidak semua bagian tradisi Sumba harus dipenuhi, tapi jika dirasa merugikan perempuan maka perempuan berhak untuk menolak.
Lasja, sebagai sutradara, dalam kegiatan wawancara dengan sebuah media nasional juga mengatakan bahwa melalui film ini dapat memberikan penjelasan kepada masyarakat luas bahwa tradisi yang masih memberatkan posisi perempuan, dapat untuk diubah dan diperbaiki seiring dengan perkembangan zaman.