Konten dari Pengguna

Sisi Kelam Remaja: Krisis Identitas dan Ancaman Maut

Kalyana Adi Nugroho
Mahasiswa Semester 2 Prodi Teknik Industri Universitas Airlangga
10 Juni 2022 19:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kalyana Adi Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi remaja dengan krisis identitas, pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi remaja dengan krisis identitas, pexels.com
ADVERTISEMENT
Jagat media sosial dibuat gaduh oleh beragam video dan pemberitaan terkait tren maut yang sedang merebak di kalangan remaja Indonesia. Tren tersebut dikenal dengan istilah “Nge-BM Truk”. Remaja ditantang untuk menghadang truk besar yang melaju cepat di jalanan dan merekam aksi tersebut, lalu diunggah ke laman media sosial, seperti TikTok. Entah siapa yang memulai tren maut ini. Beberapa portal berita telah memberitakan banyaknya remaja yang menjadi korban akibat tren maut yang meresahkan. Banyak yang tewas karena terlindas truk yang tidak mampu berhenti akibat aksi “Nge-BM Truk” yang mendadak tersebut.
ADVERTISEMENT
Jauh sebelum kemunculan tren menghadang truk, telah banyak tren-tren mematikan yang tenar di kalangan remaja. Di tahun 2017, muncul sebuah tren bernama “Skip Challenge” yang merebak luas dan diikuti oleh para remaja. Penyebaran tren ini bahkan meluas di beberapa negara, termasuk Indonesia. Tren tersebut berupa tantangan menekan dada kawan secara keras dan berulang-ulang. Mereka seolah ingin membuktikan diri tentang siapa yang paling kuat. Dampaknya, ada remaja yang dinyatakan tewas akibat mengikuti tren ini karena mengalami gagal napas dan aliran oksigen ke otak tersumbat.
Di tahun 2020, muncul tren “Self-Diagnose” yang juga sangat merebak di kalangan remaja. Tren ini berupa diagnosis sepihak oleh remaja terkait dengan kondisi mentalnya. Ketika mereka mengalami gejala perubahan emosi dan hal-hal yang berkaitan dengan fisik dan mental, mereka mencari tahu artikel-artikel tentang gejala-gejala tersebut kemudian mendiagnosis secara sepihak tanpa melakukan upaya konsultasi psikologis kepada profesional. Mereka mencoba mencari tahu sendiri dan mencocokkan gejala yang dialami dengan artikel yang tersedia di internet. Bahkan, tidak jarang dari mereka yang kemudian membagikan hasil “Self-Diagnose” tersebut ke media sosial, sehingga ditiru oleh remaja lainnya. Hal ini kemudian menjadi sebuah polemik karena tren “Self-Diagnose” tersebut merupakan tindakan ilegal yang membahayakan. Ada dampak serius di balik merebaknya tren ini, yakni kemunculan kekhawatiran atau kecemasan berlebih hingga misdiagnosis.
ADVERTISEMENT
Kemunculan beragam tren maut yang merebak di kalangan remaja tersebut menunjukkan adanya fenomena miris di balik kehidupan remaja. Remaja, makhluk sosial yang seharusnya banyak melakukan aktivitas pengembangan diri, justru terjebak pada hal-hal berbahaya hanya demi membuktikan eksistensi diri. Hal ini menunjukkan bahwa ada suatu fenomena krisis identitas di kalangan remaja yang perlu diamati secara serius oleh orang dewasa.
Fase remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Pada fase ini, terdapat beragam perubahan, mulai dari fisik, emosi, kesenangan, hingga perilaku. Pada fase ini pula, remaja tengah gencar melakukan upaya pencarian identitas diri. Identitas diri dapat dideskripsikan sebagai suatu kesadaran individu terhadap dirinya sendiri. Kesadaran tersebut diperoleh dari adanya upaya observasi serta penilaian terhadap diri. Individu mengenali dirinya, mulai dari apa saja potensi yang dimiliki hingga bagaimana pandangannya terhadap diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Masa-masa pencarian identitas tersebut diistilakan dengan krisis identitas. Pada masa ini, remaja masih mencari-cari bagaimana sesungguhnya identitas yang ia miliki. Mereka akan terus berupaya mencari identitas tersebut, baik melalui pengenalan diri hingga mempertimbangkan penilaian lingkungan atas dirinya. Terkait hal ini, Erik Erikson (1963) menjabarkan bahwa ada pengaruh signifikan dari stimulus sosial terhadap pembentukan identitas remaja. Artinya, lingkungan sosial merupakan aspek krusial yang memengaruhi bagaimana identitas remaja tersebut dibentuk.
Erikson menjabarkan ada suatu tahapan bernama identity vs. roleconfusion yang dialami oleh remaja. Pada tahapan ini, remaja akan cenderung memikirkan bagaimana tampilan diri mereka dan bagaimana anggapan orang lain terhadap mereka. Di tahapan ini, ego remaja memegang peran krusial. Remaja memiliki kecenderungan untuk melakukan upaya pencarian identitas diri dan menilai keunikan apa yang ada di dalam dirinya. Ketika keinginan tersebut tidak tercapai, maka akan muncul suatu ketimpangan peran.
ADVERTISEMENT
Fenomena mengikuti tren maut tersebut merupakan salah satu bentuk kegagalan remaja dalam menemukan identitas dirinya. Sebagai manusia yang dibekali oleh akal pikir, remaja tentu dapat menilai bahwa tindakan tersebut adalah tindakan berbahaya. Remaja yang berhasil menemukan identitas dirinya tentu akan berusaha untuk menghindari hal-hal yang membahayakan nyawa. Namun, hal ini akan berbeda jika remaja tersebut tidak mampu menemukan identitas dirinya. Risiko bahaya pun dikesampingkan dan diabaikan oleh mereka.
Pengesampingan dan pengabaian terhadap risiko tersebut dipengaruhi oleh beragam kondisi yang melingkupi remaja tersebut. Pertama, ada satu tujuan yang hendak dicapai, yakni adanya pengakuan dari lingkungan sekitar. Aktivitas mengikuti tren “Nge-BM Truk” dan “Skip Challeng” menunjukkan adanya keinginan dari remaja remaja tersebut untuk diakui keberaniannya oleh orang sekitar. Selain itu, mereka akan merasa tergugah egonya ketika mendapatkan tantangan melakukan hal-hal ekstrem dan akan merasa senang ketika mampu melakukan hal tersebut. Pada intinya, upaya tersebut dilakukan oleh remaja untuk memperoleh pengakuan diri dan penghargaan dari lingkungan.
ADVERTISEMENT
Kedua, adanya pengertian yang salah di kalangan remaja. Hal ini kemudian menyebabkan adanya mispersepsi yang berbahaya. Misalnya, remaja melihat bahwa banyak remaja lain yang melakukan tren “Nge-BM Truk” dan mereka tidak mengalami kejadian buruk. Hal ini kemudian digeneralisasi oleh remaja bahwa tren tersebut tidak akan membahayakan mereka, toh kawan-kawan lain juga melakukannya tapi tidak kenapa-kenapa. Mereka justru akan merasa bangga jika dapat turut mengikuti tren yang sedang merebak tersebut.
Ketiga, adanya pengaruh lingkungan pergaulan. Tidak bisa dipungkiri bahwa lingkup pergaulan akan memengaruhi perilaku remaja tersebut. Remaja yang berada di lingkungan positif akan cenderung melakukan hal-hal positif. Begitu pula sebaliknya. Merebaknya fenomena tren “Nge-BM Truk” menunjukkan adanya sistem pergaulan yang menyimpang di kalangan remaja. Ada upaya saling memengaruhi atas nama “solidaritas”, sehingga remaja yang terdapat di lingkup pergaulan tersebut pun turut aktif dalam melakukan upaya-upaya yang sama dengan apa yang dilakukan oleh temannya.
ADVERTISEMENT
Simpulannya, kehidupan remaja memiliki sisi kelam yang nyata adanya. Kita tidak dapat menafikan hal tersebut. Hal ini berkaitan dengan krisis identitas yang dialami oleh remaja. Merebaknya tren-tren berbahaya yang diikuti oleh remaja menunjukkan bahwa remaja tidak lepas dari bayang-bayang ancaman maut yang dapat merenggut nyawa mereka. Oleh karena itu, perlu adanya upaya penanganan serius terkait hal ini agar remaja tidak semakin terjebak dalam dunia kelam yang membahayakan dirinya.
Referensi:
Erikson, Erik. 1963. Childhhood and Society. New York: Norton.