Dermaga Hantu dalam Sengkarut Jiwasraya

Adithiya Diar
Advokat pada Kantor Hukum Adithiya Diar dan Rekan, Dosen tetap pada Fakultas Hukum dan Ilmu Bisnis Universitas Adiwangsa Jambi, dan seorang Musafir Kehidupan.
Konten dari Pengguna
11 Januari 2022 19:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adithiya Diar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: kumparan.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pasca dihukumnya 6 (enam) orang pelaku tindak pidana korupsi (tipikor) yang merugikan PT. Jiwasraya (Persero), kini perusahaan berlabel plat merah ini mengalami goncangan yang sangat hebat. Mulai dari hilangnya kepercayaan publik, hingga dari tuntutan ganti kerugian yang diminta pertanggungjawabannya oleh nasabah, membuat perusahaan yang berumur lebih dari setengah abad ini akan mengalami kesuraman.
ADVERTISEMENT
Dari putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim terhadap 6 (enam) orang pelaku tipikor tersebut, telah menetapkan adanya kerugian yang dialami oleh Jiwasraya senilai Rp 16 triliun. Namun, jumlah kerugian yang tertuang dalam putusan hakim tersebut, sangat sedikit dibandingkan dengan taksiran kerugian yang dialami perusahaan yang mencapai Rp 37,4 triliun. Taksiran kerugian tersebut telah disampaikan langsung oleh Direktur Utama Jiwasraya, Hexana Tri Sasongko diberbagai media.
"Jika disandingkan antara taksiran kerugian yang dialami perusahaan dengan putusan hakim atas enam terdakwa korupsi jiwasraya, setidaknya masih terdapat 21.4 triliun lagi yang masih belum diketahui kemana rimbanya, atau dengan kata lain masih tersimpan di dermaga hantu, antara ada dan tiada."

Dermaga Hantu Jiwasraya

Dermaga hantu kerap kali disetarakan dengan pelabuhan gelap alias ilegal. Di dermaga hantu, sering terjadi transaksi ilegal terkait segala sesuatu terkait hasil dari suatu kejahatan. Tak jarang dermaga ini berada di titik lokasi yang sangat sulit dijangkau oleh masyarakat umum. Bahkan bagi aparat penegak hukum sekalipun. Demikian yang terjadi dengan jiwasraya saat ini. Jika hasil taksiran kerugian perusahaan sebagaimana diumumkan oleh Sang Dirut tidak sama dengan jumlah putusan hakim yang dijatuhkan, artinya masih ada Rp. 21,4 triliun dana yang seharusnya dikelola Jiwasraya masih parkir di dermaga hantu. Tak tahu rimbanya, dan bagaimana nasibnya kini.
ADVERTISEMENT
Diibaratkan sepotong bayang yang melintas tanpa wujud, demikian pula nasib dana 21.4 triliun yang kini masih misteri. Hal lainnya yang terus menjadi pertanyaan besar dari berbagai kalangan, siapa lagi yang harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut?
"Jika enam orang sebelumnya telah dihadapkan kehadapan hukum, dan bertanggungjawab senilai Rp. 16 Triliyun, lalu siapa lagi pelaku begal yang harus bertanggungjawab atas hilangnya dana 21.4 triliun itu?"
Pertanyaan ini menggantung tanpa jawaban, yang membuat para nasabah yang turut menanggung kerugian, hanya bisa menunggu peran pemerintah untuk dapat menyelesaikan sengkarut yang melanda. Para nasabah tetap berharap agar kapal jiwasraya berlayar tenang tanpa tersandera di dermaga hantu. Walaupun terasa berat.

Perlunya Investigasi OJK

Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk melakukan investigasi, sangat dibutuhkan dalam membongkar permasalahan ini. Sebagai salah satu lembaga yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan, OJK dituntut untuk bekerja maksimal terhadap penyelesaian masalah ini. Selain itu, kehadiran OJK yang juga berperan sebagai penyidik disektor jasa keuangan berdasarkan Peraturan OJK No.22 Tahun 2015, kini mulai diuji kinerjanya.
ADVERTISEMENT
Dalam kaitannya dengan OJK selaku penyidik tindak pidana, tentu perkara atas raibnya dana nasabah jiwasraya harus menjadi perhatian khusus, terlepas itu juga juga terikat persoalan kerugian negara atau tidak. Lebih dari itu, OJK dituntut melakukan investigasi mendalam terhadap dana 21,4 Triliun tersebut. Hal ini semata-mata untuk mengembalikan kepercayaan publik atas investasi mereka pada perusahaan plat merah bisa berjalan aman pada masa yang akan datang. Ini tentu akan menjadi kerja keras Penyidik OJK, terutama untuk membongkar sindikat begal dana yang terjadi di PT. jiwasraya.
OJK yang memiliki super power terhadap segala transaksi keuangan yang ada dinegeri ini, tentu sangat mudah untuk melacak pergerakan dana yang dialihkan secara ilegal tersebut. Penyidik OJK tak perlu untuk menunggu laporan ataupun pengaduan masyarakat untuk melakukan itu. Bukankah secara sadar OJK bisa mengambil kebijakan sendiri untuk mengejar pelaku begal dana nasabah jiwasraya tanpa adanya laporan masyarakat lebih dulu sebagai tindaklanjut dari perkara tipikor yang terjadi sebelumnya? atau OJK hanya ingin bekerja setengah hati, hanya karena kerugian yang dialami perusahaan tersebut telah diganti pemerintah melalui perusahaan plat merah lainnya?
ADVERTISEMENT
Perlu diingat, bahwa berbicara persoalan investasi, adalah bicara masalah kepercayaan. Jika kepercayaan dari masyarakat telah pudar, dan semua kehilangan yang terjadi tak dapat menemukan penyebab yang sebenarnya, maka akan ada lebih dari 1000 nasabah yang berpotensi mengalami hal yang sama dikemudian hari. Uang investasi mereka di perusahaan plat merah akan berpeluang digerogoti dengan cara yang sama, tanpa adanya pelaku, dan hasil penggerogotan itu akan kembali disimpan di dermaga hantu. Hilang tak membekas.