Konten dari Pengguna

Foto: Gangguan Mental Jurnalis Foto yang Hidup di Zona Konflik dan Bencana

3 Mei 2025 19:27 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aditia Noviansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Fotografer Ukraina Arsenii Gerasymenko menggunakan kamera grafis Graflex Speed 4 x 5 inci miliknya untuk memotret prajurit Ukraina di posisi garis depan di wilayah Kherson, di tengah invasi Rusia ke Ukraina. Dimitar Dilkoff/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Fotografer Ukraina Arsenii Gerasymenko menggunakan kamera grafis Graflex Speed 4 x 5 inci miliknya untuk memotret prajurit Ukraina di posisi garis depan di wilayah Kherson, di tengah invasi Rusia ke Ukraina. Dimitar Dilkoff/AFP
ADVERTISEMENT
Fotografi jurnalistik menjadi peran yang penting di dunia industri media, peran ini sudah jauh berkembang dalam beberapa dekade terakhir dengan pesatnya teknologi kecerdasan buatan ditengah perubahan zaman dimana sebuah informasi sangat mudah didapatkan. Seorang fotografer jurnalistik kini memiliki cara pandang baru dari kemajuan kamera berteknologi yang digunakan untuk mendokumentasikan sebuah peliputan berbagai peristiwa antara lainnya di zona konflik dan bencana.
ADVERTISEMENT
Fotografer jurnalistik harus berdiri di jantung peristiwa dan spektrum dalam kehidupan fotografi jurnalistik akan terus berulang, dari hari ke hari bahkan tahun ke tahun. Dalam keadaan sadar para fotografer jurnalistik akan mengabadikan sebuah sejarah yang akan berdampak pada opini publik serta dapat mempengaruhi kebijakan dari pemerintah.
Sensasi saat memotret itu berada dari jendela bidik, ini menjadi proses saat meletakkan isi kepala di ujung jari untuk menentukan momentum saat menekan shutter kamera untuk menghentikan waktu yang tidak pernah bisa diulang kembali pada setiap liputan di zona konflik mapun bencana yang membahayakan secara fisik dan beban mental yang harus diemban.
Saat ini kita ketahui sejumlah negara sedang terlibat perang, seperti halnya yang terjadi di Ukraina, Palestina, negara-negara Afrika serta memanasnya hubungan antara Korea selatan dan Korea Utara. Saat seorang fotografer jurnalistik mendapat peliputan di zona konflik, ia akan melaporkan kondisi kehancuran yang berdampak pada sisi penderitaan kemanusian, ia akan melihat banyak kerusakan, kelaparan, penderitaan, serta kematian yang menakutkan.
ADVERTISEMENT
Kondisi yang sama saat seorang fotografer jurnalistik meliput di zona bencana, seperti; gempa bumi, gunung meletus, banjir bandang, tanah longsor, badai serta kecelakaan tarnsportasi umum yang memakan banyak korban luka dan kematian. Peristiwa itu tidak hanya tersimpan pada memori pada korban, melainkan ingatan peristiwa tersebut akan tersipan juga oleh ingatan fotogarfer jurnalistik yang meliputnya. Ingatan dalam kejadian tersebut akan terus tersipan pada isi kepalanya, dan apabila ingatan itu tidak direspon dengan baik, maka seorang fotografer akan mengalami depresi serius untuk hidupnya.
Seorang kerabat menutup jenazah keluarganya yang menjadi korban tsunami Mentawai pada 2010. Foto: Aditia Noviansyah
Seperti halnya yang dikatakan Beawiharta dalam bukunya “UNBREAKABLE”, ia mengakui pada saat itu dirinya akhirnya akrab dengan ganja dan alkohol akibat seringnya meliput daerah konflik seperti di Afghanistan, Pakistan, Timor-Timur, dan banyak zona kerusuhan lain di Indonesia setelah masa reformasi termasuk Ambon yang menurutnya tempat yang paling brutal.
ADVERTISEMENT
Adek Berry juga menceritakan dalam bukunya yang berjudul “Mata Lensa”, di mana jejak ketangguhan seorang jurnalis foto perempuan yang sering meliput daerah konflik dan bencana. Ia merasakan tekanan dari keadaan di depan mata mengenai kehancuran, kematian, kehilangan, kelaparan, kemiskinan. Di dalam ketangguhan cerita, ia juga merasakan kesedihan dalam perjalanan selama kariernya sebagai fotografer jurnalistik.
Seperti halnya juga James Nachtwey seorang fotografer asal Amerika yang sering memotret di zona konflik, ia memutuskan untuk tidak menikah dan memiliki anak. James sangat menyadari profesi ini membuatnya menjadi rapuh dan labil, ia tidak mau menyakiti pendampingnya.
Tidak hanya itu, Kevin Carter seorang fotografer penerima Pulitzer dan World Press Photo Award harus mati bunuh diri akibat depresi yang terjadi pada bulan Juli tahun 1994.
ADVERTISEMENT
Kevin menuliskan surat terakhir sebelum kematiannya yang bertuliskan, “Depresi… tanpa telepon… uang untuk sewa… uang untuk tunjangan anak… uang untuk membayar hutang… uang! Aku dihantui oleh ingatanku sendiri tentang pembunuhan, mayat, kemarahan, rasa sakit, anak-anak yang kelaparan atau terluka, laki-laki gila yang senang memicu pembunuhan, polisi, algojo, pembunuhan dan kalimat terakhirnya adalah Aku ingin pergi bergabung dengan ken, jika aku seberuntung itu.”
Ken yang dimaksud Kevin Carter adalah Ken Oosterbroek, teman dalam kelompok Bang-bang Club yang tewas tertembak saat meliput pertempuran di Thokoza Afrika Selatan, Maret 1994.
Seorang anak korban tsunami Mentawai usai mendapatkan perawatan dari dokter pada 2010. Foto: Aditia Noviansyah
Serangkaian cerita menarik itu membuktikan, pekerjaan fotografer jurnalistik bukan hanya soal meliput di dalam kedamaian, namun juga dalam suasana duka dan zona berbahaya yang akan membahayakan dirinya. Ia harus menempatkan aturan bagaimana iya menyajikan foto-foto tersebut untuk mata pembaca serta membawa beban moril yang ia lihat langsung tanpa sensor.
ADVERTISEMENT
Jurnalisme harus dapat menjadi aktor perdamaian dan merupakan bagian dari resolusi konflik. Pihak ketiga yang merupakan fasilitator komunikasi, mediator dan arbitrator di antara dua kubu yang berseteru. Begitu kata Samuel Peleg dalam bukunya ‘Peace Journalism Through the Lense of Conflict Theory’. Jurnalis, termasuk fotografer jurnalistik di dalamnya punya tanggung jawab mendamaikan melalui lensanya.
Menurut Setiawan, R, & Bornok, MB. Tahun 2015, Foto jurnalistik tidak hanya mencatat atau mendokumentasikan peristiwa tetapi foto jurnalistik juga akan mempengaruhi kebijakan dan opini publik.
Kata seorang empu fotografer Indonesia, Oscar Motuloh, dalam wawancara menganai bukunya yang berjudul “SOUL SCAPE ROAD” ia mengatakan “Tetaplah menjaga kewarasan disetiap kondisi peliputan.” Para pewarta dituntut berada di tengah kerusuhan, di tengah bencana, dan bahkan bisa menempatkan dirinya di posisi yang membahayakan untuk dirinya sendiri. Sejatinya media tak boleh memberitakan konflik tanpa disertai tanggung jawab sebagai akibat dari pemberitaannya (Peleg: 2016).
ADVERTISEMENT
Dr. Lydia Triana, Sosiolog Universitas Indonesia, mengungkap data kondisi kesehatan jiwa di Indonesia. Faktanya, lebih dari 19 juta penduduk mengalami gangguan mental emosional, lebih dari 12 juta penduduk mengalami depresi, dan data bunuh diri per tahun ada sekitar 1.800 orang.
Sementara itu Menteri Kesehatan periode 2014-2019, Prof. Dr. Nila Moeloek mengatakan bahwa kesehatan jiwa atau mental health merupakan fondasi dari kualitas hidup suatu bangsa. Semua berhak mendapat kesejukan jiwa, termasuk para fotografer jurnalistik yang bertugas di lapangan.
Data dari Asia Care Survey 2024 yang dilakukan Manulife ke 1.000 responden, menunjukkan 54 persen masalah kesehatan mental Indonesia adalah stres atau burnout. Sementara 28,2 persennya adalah gangguan kecemasan.
Hal ini yang menjadi tantangan fotografer jurnalistik dalam menjalankan tugasnya. Khususnya bagi mereka yang kerap bertugas di area konflik ataupun bencana, apalagi kini fotografer jurnalistik dituntut untuk bekerja dengan cepat sesuai perkembangan teknologi informasi saat ini.
ADVERTISEMENT
Timbulnya rasa bersalah merupakan tekanan emosional yang sangat umum, ini disebabkan oleh keyakinan bahwa kita sudah melakukan sesuatu yang salah atau mengakibatkan sesuatu yang tidak menyenangkan terhadap orang lain.
rasa bersalah ini juga memainkan peran penting dalam menjaga norma-norma perilaku dan dalam melindungi hubungan pribadi, kekeluargaan maupun lingkungan kita.
Perasaan bersalah akan menjadi berbahaya apabila perasaan bersalah itu bertahan dan menjadi penghuni yang tidak diinginkan dalam pemikiran kita. Perasaan bersalah ini akan menjadi penjahat psikologis yang akan meracuni ketenangan maupun hubungan yang sangat berarti bagi kita.
Rasa bersalah ini akan timbul dam tiga bentuk utama, yaitu: Rasa bersalah yang tidak terselesaikan, yang merupakan bentuk paling umum dan yang sering kali yang paling membahayakan rasa bersalah yang bertahan, dan rasa bersalah karena perpisahan (M.J.A Wohl, T.A Pychyl, dan S.H. Benett, personality and Individual Differences (2010).
ADVERTISEMENT
Rasa bersalah itu muncul tanpa alasan yang jelas dari diri kita. Seperti halnya para fotografer jurnalistik yang secara langsung dapat dikatakan sebagai penyintas perang yang melihat banyak korban, kematian, kelaparan, keserakahan dan kejahatan yang terstruktur.
Pengalaman itu membangkitkan bayangan atau kenangan dari liputan yang terbawa dikehidupan nyata. Para fotografer jurnalistik pada akhirnya menimbulkan perasaan bertanggung jawab walaupun tidak ada yang bisa mereka lakukan guna mencegah terjadinya peristiwa tersebut.
Penderitaan kenangan buruk yang tersimpan dengan lama bisa menderita ganguan stress pasca-trauma (post-traumatic stress disorder atau PTSD).
Petugas melakuka evakuasi korban tertimbun longsor akibat gempa di Cugenang, Cianjur, Selasa (22/11/2022). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Dalam film dokumenter yang berjudul “War Photographer” James Nachtwey berkata, seorang fotogarfer yang akan mati saat meliput di zona perang adalah fotografer jurnalistik pemula dan fotografer jurnalistik yang sudah berpengalaman meliput perang. Ini disebabkan, karena fotografer pemula masih minim pengalaman dan fotografer yang sudah banyak pengalaman memiliki rasa mengusai liputan tersebut hingga mengabaikan standar keselamatan dalam liputan konflik.
ADVERTISEMENT
Begitu juga dalam diskusi yang untuk memperingati 20 tahun tsunami Aceh yang diadakan oleh Yayasan riset visual matawaktu yang juga disiarkan di channel youtube. Pada bahasan tersebut yang menjadi narasumber, Oscar Motuloh, Mantan fotografer harian Kompas, Edi Hasbi, Desainer Buku dan juga fotografer, Andi Ari Setiadi, dan Fotografer kantor berita Antara, Maha Eka Swasta, menjelaskan mengenai pengalaman mereka meliput bencana tsunami Aceh yang sangat dasyat.
Mereka memiliki cerita yang membuat ingatan sampai hari ini yang tak mungkin dilupakan akan dasyatnya sapuan tsunami dan banyaknya korban jiwa di Aceh. Bahkan sempat Edi Hasbi sampai tidak mampu menceritakan pengalamannya dengan situasi yang menakutkan.
Mereka bekerja menggunakan Standard Operating Procedure (SOP), dari mitigasi liputan, pesrsiapan, membuat catatan visual dan jangka waktu peliputan. Etika menjadi hal yang penting untuk masuk kearea peliputan. Dengan subjek manusia, yang akan menceritakan sebuah kehancuran, serta keluarga korban yang mencari jenazah keluarga yang entah dimana fisiknya.
ADVERTISEMENT
Dalam buku yang berjudul “The Burden of Visual Truth: The Role of Photojournalism in Mediating Reality" (2001) karya J. Newton menuliskan bahwa jurnalis foto memiliki kewajiban moral untuk menyampaikan kebenaran visual. Newton juga menyatakan bahwa foto jurnalistik dapat sangat memengaruhi persepsi publik tentang peristiwa dan masalah global. Karena itu, jurnalis foto harus berhati-hati untuk memastikan bahwa gambar yang mereka ambil dan publikasikan benar-benar mencerminkan kenyataan, tanpa mengubah atau mengubahnya. Fotografi jurnalistik akan berdampak pada pembacanya, menimbulkan perasaan, memengaruhi opini publik, dan kadang-kadang, jika dianggap tidak etis, menimbulkan kontroversi. Buku ini menekankan bahwa kejujuran dan integritas dalam foto jurnalistik sangat penting untuk menjaga kredibilitas media dan kepercayaan publik.