Amandemen Kelima UUD 1945 untuk Kepentingan Siapa?

Aditiya Prasetiyo Aripin
Mahasiswa Administrasi Publik FISIP UNDIP 2020
Konten dari Pengguna
15 April 2021 9:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aditiya Prasetiyo Aripin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://twitter.com/FerdinandHaean3/status/1377635772874952705/photo/1
zoom-in-whitePerbesar
https://twitter.com/FerdinandHaean3/status/1377635772874952705/photo/1
ADVERTISEMENT
Wacana amendemen kelima Undang-Undang Dasar 1945 muncul kembali, hingga kini wacana itu masih menuai kontroversi. Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan keputusan terkait wacana amandemen UUD 1945 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tidak akan dilakukan dalam waktu dekat. Setidaknya amandemen baru akan dilakukan di tahun ketiga masa jabatan MPR RI 2019-2024 setelah menyerap hasil amandemen 1945. Selain menghidupkan kembali GBHN, wacana seperti mengembalikan wewenang MPR untuk memilih presiden serta penambahan masa jabatan presiden RI mengemuka. Namun ia menegaskan bahwa di dalamnya, tak ada pembahasan perpanjangan masa jabatan presiden.
ADVERTISEMENT
Banyak orang yang menilai rencana MPR yang ingin menghidupkan kembali GBHN melalui amandemen kelima Undang-undang Dasar 1945 tidak tepat. Dikhawatirkan ada upaya untuk mengembalikannya seperti zaman Orde Baru. Terlepas dari berbagai tujuan amandemen kelima oleh MPR, sudah seharusnya sejak awal rencana ini dihentikan. Mengingat saat ini tak ada urgensi amandemen yang perlu dilakukan.
Amandemen kelima berpeluang membunuh demokrasi
Dulu GBHN ada sebagai mandat yang diberikan MPR kepada presiden, karena presiden dipilih oleh MPR. Dengan model pemilihan presiden langsung oleh rakyat seperti sekarang, MPR tidak lagi relevan karena bukan lagi lembaga tertinggi negara. Apabila GBHN dihidupkan kembali imbasnya ialah sistem pertanggungjawaban presiden menjadi ganda, kepada Dewan Perwakilan Rakyat terkait pelaksanaan Undang-undang dan terhadap MPR dengan mengacu GBHN. Selain itu juga dikhawatirkan akan muncul gagasan menjadikan MPR kembali sebagai lembaga tertinggi negara dan bisa jadi kelanjutannya adalah presiden dipilih kembali oleh MPR. Hal tersebut sama saja ingin mengembalikan ke masa suram presidensial Indonesia tatkala jabatan presiden bisa berlarut-larut.
ADVERTISEMENT
Pada era Orde Baru, kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi mematikan demokrasi, karena segala persoalan politik dianggap bisa diselesaikan MPR. Tidak ada kompetisi atau pengawasan di antara lembaga-lembaga negara lainnya. Sebab itu upaya amandemen kelima bisa saja merupakan siasat elit partai yang ingin kembali ke sistem lama, di mana yang memegang segala pengambilan keputusan bukan masyarakat umum, tetapi partai politik. Hal ini disebabkan karena sistem yang ada sekarang ini dianggap tidak menguntungkan. Misalnya dengan adanya sistem pemilihan presiden secara langsung, tokoh-tokoh yang tidak termasuk dalam keluarga pemilik partai, seperti Jokowi sendiri, bisa maju sebagai presiden.
Amandemen dapat dilakukan tetapi dengan syarat keterlibatan masyarakat
Banyak dari kalangan ahli Hukum Tata Negara mengatakan, konstitusi di Indonesia yang telah berulang kali mengalami perubahan hasilnya masih belum maksimal. Hal tersebut disebabkan karena perubahannya hanya disesuaikan dengan selera pemerintahan yang berkuasa pada masanya, tanpa disesuaikan dengan prinsip-prinsip negara yang terkandung dalam Pancasila. Sehingga, sudah menjadi hal yang mutlak bahwa dalam mengubah konstitusi harus melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya upaya serta gagasan baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, untuk menghadirkan peranan berupa aspirasi masyarakat dalam amandemen UUD 1945 yang akan datang.
ADVERTISEMENT
MPR merupakan lembaga tinggi negara juga salah satu lembaga politik Indonesia yang beranggotakan DPR dan DPD yang keduanya juga merupakan lembaga tinggi negara dan politik Indonesia. Karenanya, dapat dipastikan bahwa substansi dalam amandemen UUD 1945 yang akan disusun oleh MPR, didominasi oleh berbagai kebijakan politik. Sehingga, demi melahirkan amandemen UUD 1945 yang sesuai dengan Pancasila, pertimbangan-pertimbangan politik tersebut harus diimbangi dengan suara masyarakat agar hasil amandemen UUD 1945 selanjutnya dapat sejalan dengan cita-cita dan jati diri bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sehingga, apabila UUD diubah, maka ketatanegaran negara, stabilitas ekonomi, politik, sosial dan budaya bangsa akan turut berubah pula. Oleh karena itu, perubahan tersebut harus tetap terarah sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat, bukan malah menjadi sarana kepentingan para elit politik untuk mempertahankan kekuasaanya.
ADVERTISEMENT