Konten dari Pengguna

Etika Komunikasi Pejabat Publik: Antara Spontanitas dan Tanggung Jawab Sosial

Aditya Angga
Mahasiswa Pascasarjana, Ilmu Komunikasi di Universitas Mercu Buana, Jakarta.
17 Februari 2025 16:59 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aditya Angga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Komunikasi Politik (Canva)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Komunikasi Politik (Canva)
ADVERTISEMENT
Jakarta - Dalam dinamika komunikasi politik, pejabat publik memiliki peran sentral sebagai panutan bagi masyarakat. Setiap kata yang terucap dan setiap gestur yang ditampilkan memiliki implikasi yang luas baik secara politik maupun sosial. Oleh karena itu, penting bagi seorang pejabat publik untuk menjaga etika dan komunikasi dalam membangun kepercayaan publik serta menjaga marwah kepemimpinan.
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini, pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang menyebut "Ndasmu" dalam acara HUT ke-17 Partai Gerindra menjadi sorotan tajam di media sosial. Ucapan tersebut muncul sebagai respon terhadap kritik soal "kabinet gemuk" yang viral di berbagai platform media sosial, mulai dari Instagram, TikTok, hingga X (dulu Twitter).
Fenomena ini mengundang diskusi publik termasuk di kalangan warganet, tidak hanya mengenai substansi kritik yang disampaikan, tetapi juga tentang etika komunikasi yang seharusnya dijunjung tinggi oleh seorang pejabat termasuk kepala negara.

Perspektif Teori Komunikasi

Dalam konteks teori komunikasi, fenomena ini dapat dikaji melalui Teori Dramaturgi Erving Goffman, yang menekankan pentingnya "front stage" (panggung depan) dan "back stage" (panggung belakang) dalam interaksi sosial.
Seorang pejabat publik, terutama dalam situasi resmi, berada di panggung depan di mana perilaku yang ditampilkan harus mencerminkan profesionalitas, penghormatan dan pengendalian diri.
ADVERTISEMENT
Ucapan yang cenderung kasar atau tidak pantas, meskipun mungkin dimaksudkan sebagai ekspresi spontan atau candaan, tetap memiliki konsekuensi serius pada citra dan legitimasi kepemimpinan.
Lebih lanjut, Teori Spiral of Silence dari Elisabeth Noelle-Neumann juga relevan dalam melihat dampak komunikasi pejabat publik terhadap opini masyarakat.
Pernyataan yang kontroversial dari tokoh berpengaruh dapat menciptakan efek pembungkaman, di mana individu yang memiliki pandangan berbeda merasa enggan untuk bersuara karena takut dikucilkan atau mendapat serangan verbal.
Dalam kasus ini, alih-alih membangun diskursus yang sehat, komunikasi yang tidak etis justru berpotensi menekan kebebasan berpendapat.

Tanggung Jawab Moral dan Sosial

Sebagai pemimpin, setiap pejabat publik memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk menjaga kesantunan dalam komunikasi. Sikap ini bukan hanya soal etika melainkan juga bagian dari strategi komunikasi politik yang matang.
ADVERTISEMENT
Mengelola kritik dengan kepala dingin, menjawab pertanyaan publik dengan substansi yang membangun, serta menunjukkan empati adalah langkah-langkah yang akan memperkuat kepercayaan masyarakat dan memperkuat legitimasi politik.
Pejabat publik juga harus menyadari bahwa mereka adalah representasi negara dan bangsa. Setiap tindakan dan ucapan mereka tidak hanya mempengaruhi citra pribadi tetapi juga citra institusi yang mereka pimpin.
Oleh karena itu, etika komunikasi harus menjadi prioritas, terutama di era digital di mana informasi menyebar dengan cepat dan dapat meninggalkan dampak yang bertahan lama.

Membangun Ruang Publik yang Sehat

Dengan demikian, penting bagi pejabat publik, termasuk Presiden, untuk memahami bahwa setiap kata yang terucap adalah bagian dari kontrak sosial dengan rakyatnya. Etika komunikasi yang baik adalah cerminan dari kepemimpinan yang berkelas, berwibawa dan mampu merangkul seluruh elemen bangsa tanpa meninggalkan luka verbal yang tidak perlu.
ADVERTISEMENT
Mari kita berharap bahwa ke depan, ruang publik kita ditandai oleh komunikasi yang mencerdaskan, menginspirasi dan menjaga martabat bersama. Sebagai Masyarakat, kita juga memiliki peran untuk mendorong akuntabilitas dan kesantunan dalam komunikasi publik, sehingga tercipta iklim politik yang lebih sehat dan produktif.