Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Fenomena #KaburAjaDulu: Refleksi Kekecewaan dan Tantang bagi Pemerintah
18 Februari 2025 14:56 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Aditya Angga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Tagar #KaburAjaDulu yang sedang ramai di media sosial bukan sekadar tren, melainkan ekspresi kekecewaan generasi muda Indonesia terhadap kondisi Tanah Air yang penuh kesenjangan. Fenomena ini dapat dianalisis melalui Teori Uses and Gratifications, yang menjelaskan bahwa audiens (dalam hal ini, generasi muda) menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan mereka, seperti mencari informasi, mengekspresikan ketidakpuasan, atau mencari solusi atas masalah yang sedang dihadapi.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks #KaburAjaDulu, media sosial menjadi sarana bagi anak-anak muda untuk menyebarkan informasi tentang beasiswa kuliah, peluang kerja di luar negeri, dan ajakan untuk meninggalkan Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa mereka menggunakan media sosial sebagai alat untuk mencari solusi atas ketidakpuasan terhadap biaya pendidikan yang mahal, minimnya lapangan pekerjaan, dan ketidakpastian masa depan di negeri sendiri.
Beberapa negara seperti Korea Selatan, Jepang, Australia, Amerika, dan Jerman menjadi tujuan favorit bagi mereka yang ingin "kabur". Negara-negara ini menawarkan peluang kerja, kesejahteraan, dan sistem pendidikan yang lebih menjanjikan. Namun, tren ini juga memicu perdebatan. Sebagian orang yang kurang setuju dengan tren ini mempertimbangkan karena beberapa asalan, seperti biaya kebutuhan hidup di luar negeri jauh lebih mahal dibandingkan Indonesia, iklim atau cuaca di Indonesia yang dirasa lebih nyaman dan bersahabat, atau ketidakinginan untuk berpisah jauh dari keluarga. Di sisi lain, beberapa pakar berpendapat bahwa #KaburAjaDulu bukan sekadar ajakan melarikan diri, melainkan strategi rasional untuk mencapai kehidupan yang lebih sejahtera.
ADVERTISEMENT
Fenomena #KaburAjaDulu juga dapat dilihat melalui lensa Teori Agenda Setting, yang menyatakan bahwa media memiliki kekuatan untuk memengaruhi apa yang dianggap penting oleh publik. Dalam hal ini, media sosial berperan besar dalam mengangkat isu kesenjangan sosial, minimnya lapangan kerja, dan ketidakpuasan generasi muda terhadap pemerintah. Tagar #KaburAjaDulu berhasil menciptakan agenda publik yang memaksa pemerintah untuk merespons, meski respons yang diberikan terkesan minim dan tidak memadai.
Namun, teori ini juga menunjukkan bahwa meskipun media berhasil menyoroti suatu isu, perubahan nyata tetap bergantung pada tindakan konkret dari pemangku kebijakan. Dalam kasus #KaburAjaDulu, meskipun isu ini telah menjadi perbincangan luas, pemerintah belum menunjukkan langkah-langkah signifikan untuk mengatasi akar permasalahan yang dihadapi generasi muda.
ADVERTISEMENT
Respons Pemerintah yang Minim Tindakan Nyata
Ramainya tagar #KaburAjaDulu ini, berdasarkan dari berbagai sumber, mematik respon dari pemerintahan kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli menyatakan bahwa tren ini merupakan bentuk aspirasi masyarakat dan tantangan bagi pemerintah. “Ini tantangan buat kami kalau memang itu adalah terkait dengan aspirasi mereka. Ayo pemerintah create better jobs (ciptakan lapangan pekerjaan yang lebih baik), itu yang kemudian menjadi catatan kami,” ujarnya pada 17 Februari 2025.
Namun, pernyataan ini belum diikuti dengan langkah konkret untuk menciptakan lapangan kerja yang lebih baik atau memperbaiki sistem pendidikan.
Di sisi lain, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nusron Wahid justru menyoroti masalah nasionalisme. “Kalau ada (tagar) Kabur Aja Dulu, itu dia ini warga negara Indonesia apa tidak? Kalau kita ini patriotik sejati, kalau memang ada masalah kita selesaikan bersama,” katanya.
ADVERTISEMENT
Pernyataan Mesteri Nusron ini terkesan mengabaikan akar masalah yang sebenarnya, yaitu ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan kesejahteraan serta peluang yang adil dan merata bagi seluruh rakyat.
Sikap yang lebih kontroversial datang dari Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer Gerungan. Dia mengaku tidak mempermasalahkan fenomena ini dan bahkan mempersilakan warga negara Indonesia yang ingin pindah dari Indonesia ke luar negeri. “Mau kabur, kabur aja lah. Kalau perlu jangan balik lagi,” ujarnya.
Pernyataan ini tidak hanya menunjukkan ketidakpedulian, tetapi juga mengabaikan tanggung jawab pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja dan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Refleksi dan Harapan ke Depan
Fenomena #KaburAjaDulu seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi mendalam. Kekecewaan rakyat tidak hanya terkait efisiensi anggaran yang belakangan ini juga sedang gencar dilakukan, struktur kabinet yang gemuk, praktik nepotisme dalam penunjukan pejabat, hingga ketidakmampuan menyediakan lapangan kerja dan kesejahteraan yang merata.
ADVERTISEMENT
Pergantian kepemimpinan ternyata tidak mampu menghadirkan perubahan signifikan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Meskipun setiap rezim membawa janji-janji pembaruan dan perbaikan, pada praktiknya, kebijakan yang diimplementasikan sering kali tidak menyentuh akar permasalahan yang dihadapi oleh rakyat.
Pemerintah perlu mengambil langkah serius untuk merespons fenomena ini, bukan hanya dengan pernyataan-pernyataan kosong, tetapi dengan kebijakan yang konkret dan berpihak pada rakyat. Tanpa upaya nyata, tagar #KaburAjaDulu akan terus menjadi cerminan ketidakpuasan rakyat terhadap kondisi negara yang masih jauh dari harapan.