news-card-video
3 Ramadhan 1446 HSenin, 03 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Menakar Kedewasaan Demokrasi dari Respons Pejabat terhadap Kritik

Aditya Angga
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi di Universitas Mercu Buana Jakarta
28 Februari 2025 17:41 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aditya Angga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Anti Kritik (Foto dibuat menggunakan teknologi ai)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Anti Kritik (Foto dibuat menggunakan teknologi ai)
ADVERTISEMENT
Dalam lanskap komunikasi politik, respons pejabat publik terhadap kritik merupakan cerminan dari keterbukaan, transparansi, dan kedewasaan demokrasi.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, belakangan ini kita sering menyaksikan pernyataan pejabat yang tidak hanya defensif tetapi juga kurang pantas, bahkan cenderung meremehkan kritik yang disampaikan masyarakat.
Fenomena ini tidak hanya menjadi sorotan publik tetapi juga menarik untuk dikaji dari perspektif ilmu komunikasi, terutama dalam kaitannya dengan teori komunikasi politik dan etika komunikasi.

Kritik sebagai Pilar Demokrasi

Dalam teori komunikasi politik, kritik dari masyarakat terhadap pejabat negara merupakan bagian dari mekanisme checks and balances.
Kritik adalah salah satu bentuk partisipasi politik yang sah dan menjadi instrumen penting dalam sistem demokrasi. Dalam ruang publik yang sehat, kritik dari masyarakat harus diterima sebagai umpan balik, bukan sebagai ancaman.
Respons pejabat terhadap kritik tidak hanya mencerminkan keterbukaan terhadap masukan publik, tetapi juga menunjukkan kematangan demokrasi dan etika komunikasi.
ADVERTISEMENT
Dalam sistem pemerintahan yang sehat, pejabat publik dituntut untuk mampu berkomunikasi dengan bijak, merespons kritik dengan argumentasi yang kuat, serta menjadikan aspirasi masyarakat sebagai bahan evaluasi kebijakan.
Sayangnya, masih banyak pejabat kita yang menganggap kritik sebagai ancaman, bukan sebagai bagian dari dialog demokratis. Akibatnya, kritik yang seharusnya menjadi alat perbaikan malah dibalas dengan respons yang kontraproduktif, memperlebar jurang antara pemerintah dan rakyat.
Baru-baru ini, beberapa pejabat di Indonesia memberikan respons terhadap kritik masyarakat dengan cara yang dianggap kurang pantas. Alih-alih menjawab kritik secara substantif, mereka justru merespons dengan komentar yang terkesan emosional, sarkastik, atau bahkan merendahkan.

Contoh Kasus: Respons Pejabat yang Kurang Pantas

1. Presiden Prabowo Subianto
Ketika kritik publik terhadap kabinet Prabowo-Gibran yang dianggap terlalu “gemuk” muncul, Presiden RI Prabowo Subianto menanggapi dengan pernyataan, “Kalau gak ada wartawan saya bilang, ndasmu.”
ADVERTISEMENT
Pernyataan ini jelas bernada sarkastik dan seolah ingin membungkam kritik dengan bahasa yang tidak mencerminkan kepemimpinan yang berwibawa. Respons semacam ini tidak hanya merusak citra pribadi, tetapi juga mengabaikan substansi kritik yang seharusnya menjadi bahan refleksi bagi pemerintah.
2. Luhut Binsar Pandjaitan
Luhut Binsar Pandjaitan yang sekarang menjabat sebagai Ketua Dewan Ekonomi Nasional Indonesia di pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, merespon terhadap kritik gerakan “Indonesia gelap” yang muncul dari kegelisahan publik terhadap berbagai persoalan di negeri ini, mulai dari hukum, ekonomi, pendidikan hingga politik.
Menanggapi gerakan tersebut, Luhut menjawab dengan kalimat, “Yang gelap kau, bukan Indonesia.” Pernyataan ini jelas menunjukkan sikap defensif, seolah-olah kritik yang disampaikan tidak benar dan justru menyalahkan pihak yang mengkritik. Hal ini mencerminkan ketidakmampuan pemerintah untuk menerima umpan balik secara dewasa.
ADVERTISEMENT
3. Immanuel Ebenezer
Immanuel Ebenezer, Wakil Menteri Ketenagakerjaan Indonesia, yang menanggapi kritik terhadap hashtag #KaburAjaDulu yang merupakan bentuk refleksi atas kesenjangan global yang terjadi saat ini,
Immanuel malah mengatakan, “Kabur saja lah, kalau perlu jangan balik lagi.” Sikap ini bukan hanya tidak mencerminkan keterbukaan terhadap kritik , tetapi juga seakan mengusir warganya sendiri yang merasa tidak puas dengan kondisi negara. Respons seperti ini hanya akan memperlebar jarak antara pemerintah dan masyarakat.
4. Deddy Corbuzier
Deddy Corbuzier, yang kini menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Pertahanan, juga pernah menanggapi kritik soal program makan bergizi gratis dengan nada emosional di akun media sosialnya. Ketika seorang siswa SD mengeluh bahwa menu program makan bergizi gratis (MBG) kurang enak, Deddy membalas kritik itu dengan ucapan, “Kurang enak, kurang enak, kepala lu pea.”
ADVERTISEMENT
Selain meremehkan kritik, pernyataan ini justru bernuansa personal dan sama sekali tidak menjawab substansi kritik yang diajukan.
Menurut Brown dan Levinson dalam politeness theory (teori kesantunan), kritik publik dianggap sebagai ancaman terhadap citra diri (face-threatening act), sehingga pejabat cenderung bersikap defensif atau bahkan menyerang balik.
Dalam komunikasi politik, respons semacam ini bisa disebut sebagai strategi defleksi, yaitu upaya untuk mengalihkan perhatian dari substansi kritik dengan membuat pernyataan yang bersifat personal atau emosional. Strategi ini sering digunakan untuk meredam kritik tanpa harus menjawabnya secara substansial.
Sebagai pejabat publik, para pemimpin seharusnya memahami bahwa kritik adalah bagian dari demokrasi yang sehat. Respons yang lebih bijak dan konstruktif terhadap kritik dapat meningkatkan kredibilitas pemerintah serta membangun hubungan yang lebih harmonis dengan rakyat. Demokrasi tidak hanya diukur dari kebebasan berbicara, tetapi juga dari seberapa dewasa pemimpin dalam merespons suara rakyatnya.
ADVERTISEMENT