Konten dari Pengguna

Skandal Pertamina: Manipulasi Energi dan Erosi Kepercayaan Publik

Aditya Angga
Mahasiswa Pascasarjana, Ilmu Komunikasi di Universitas Mercu Buana, Jakarta.
26 Februari 2025 12:36 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aditya Angga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi: Korupsi Pertamina (gambar dibuat menggunakan teknologi ai)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Korupsi Pertamina (gambar dibuat menggunakan teknologi ai)
Kasus korupsi di Indonesia seolah menjadi fenomena yang tidak pernah surut. Hampir setiap tahun, publik disuguhkan berita tentang penyalahgunaan wewenang oleh pejabat tinggi negara yang merugikan keuangan negara dalam jumlah fantastis. Setelah skandal korupsi sektor timah yang merugikan negara hampir Rp300 triliun, kini muncul kasus baru: pengoplosan Pertalite menjadi Pertamax yang melibatkan oknum petinggi Pertamina Patra Niaga, dengan potensi kerugian negara hampir mencapai Rp200 triliun.
ADVERTISEMENT
Dalam perspektif ekonomi politik komunikasi, kasus ini memperlihatkan bagaimana struktur kekuasaan dan ekonomi saling berkelindan dalam praktik penyimpangan yang merugikan publik.
Mosco (2009) dalam The Political Economy of Communication, dominasi elit ekonomi dan politik dalam industri strategis, seperti energi, sering kali melahirkan praktik korupsi yang sistematis. Rakyat, sebagai konsumen sekaligus pembayar pajak, menjadi pihak yang paling dirugikan dalam skema manipulatif semacam ini.
Lebih ironis lagi, pelaku kejahatan ini bukanlah individu dengan keterbatasan ekonomi yang mungkin terdorong oleh kebutuhan hidup, melainkan mereka yang telah mendapatkan gaji tinggi, fasilitas negara, dan berbagai privilege lainnya. Ketamakan dalam birokrasi tinggi ini mencerminkan konsep white-collar crime yang dikemukakan oleh Sutherland (1949), di mana kejahatan dilakukan oleh individu dalam posisi terhormat dan berstatus tinggi dalam lingkup pekerjaannya.
ADVERTISEMENT
Skandal Pertamina ini menguji kembali tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah dan institusi negara. Dalam teori komunikasi massa, khususnya dalam studi trust in government (Mishler & Rose, 2001), kepercayaan publik terhadap institusi sangat bergantung pada konsistensi tindakan negara dalam menegakkan hukum dan menjaga integritas.

Erosi Kepercayaan Publik

Di negeri tercinta kita, Indonesia, daftar panjang kasus korupsi terus bertambah, sementara sanksi bagi para pelakunya masih jauh dari kata adil. Hukuman yang ringan karena alasan "bersikap sopan" di persidangan, fasilitas mewah di dalam penjara, hingga remisi yang seolah menjadi hadiah bagi koruptor, menciptakan pola berulang yang semakin mengikis kepercayaan publik terhadap sistem hukum.
Masyarakat menyaksikan bagaimana hukum begitu tajam ke bawah namun tumpul ke atas, rakyat kecil dihukum berat untuk pelanggaran kecil, sementara elite politik dan pejabat yang terbukti merugikan negara triliunan rupiah masih bisa menikmati kehidupan nyaman setelah keluar dari penjara. Ketimpangan ini bukan sekadar menciptakan kemarahan, tetapi juga mendorong apatisme.
ADVERTISEMENT
Dalam jangka panjang, erosi kepercayaan publik tidak hanya berdampak pada legitimasi pemerintah, tetapi juga pada stabilitas sosial. Ketidakpercayaan yang terus tumbuh dapat berujung pada lemahnya kepatuhan terhadap kebijakan negara, meningkatnya populisme, serta memburuknya hubungan antara rakyat dan institusi pemerintahan. Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin kondisi ini akan menciptakan jurang yang semakin lebar antara negara dan rakyatnya.

Mari Terus Bersuara!

Sampai kapan kita akan membiarkan kasus seperti ini terus terjadi? Bersikap apatis hanya akan memperpanjang ketidakadilan yang telah berlangsung bertahun-tahun. Sebaliknya, masyarakat harus terus bersuara, menggunakan berbagai kanal komunikasi yang tersedia untuk menekan pemerintah agar bertindak lebih tegas terhadap koruptor. Akuntabilitas tidak boleh hanya menjadi jargon politik, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata.
ADVERTISEMENT
Menjadi warga di negeri ini sangat melelahkan, kita terus-menerus dipertontonkan ketidakadilan, dipaksa bersabar, dan dibiarkan bertanya-tanya apakah kejujuran masih memiliki tempat di negara ini.
Kesabaran rakyat memang luar biasa, tetapi "Sabar itu ada batasnya." Sudah waktunya masyarakat menolak untuk terus menjadi korban dari sistem yang korup. Jika keadilan tak kunjung ditegakkan, maka tekanan dari bawah harus semakin kuat. Sebab, dalam demokrasi, suara rakyat adalah kekuatan yang tidak bisa diabaikan. Mari terus bersuara!