Konten dari Pengguna

Kontroversi Daging Sintetik

Aditya Fakhri
Mahasiswa aktif Prodi Kimia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21 September 2023 6:03 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aditya Fakhri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
Daging merupakan salah satu pilihan bahan pangan yang biasa digunakan oleh masyarakat untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Di Indonesia, berbagai jenis daging hewan ternak adalah kompartemen terpenting pada makanan tradisional di setiap daerah. Misalnya daging sapi pada masakan rendang dari Padang, daging ayam pada masakan soto lamongan dari Lamongan dan daging babi guling pada masakan nasi campur dari Bali. Jika dilihat dari kebutuhan tubuh, daging memiliki nilai gizi yang tinggi berupa protein dan asam amino.
ADVERTISEMENT
Nilai protein daging yang tinggi disebabkan oleh kandungan asam amino esensialnya yang lengkap dan seimbang. Asam amino esensial merupakan pembangun protein tubuh yang berasal dari makanan dan tidak dapat dibentuk di dalam tubuh. Selain kaya protein, daging juga mengandung energi sebesar 250 kkal/100 g. Jumlah energi dalam daging ditentukan oleh kandungan lemak intraseluler di dalam serabut-serabut otot yang disebut lemak marbling. Kadar lemak pada daging berkisar antara 5-40%, tergantung pada jenis spesies, makanan, dan umur ternak. Daging juga merupakan sumber mineral, kalsium, fosfor, dan zat besi, serta vitamin B kompleks (niasin, riboflavin dan tiamin), dan memiliki kadar vitamin C yang rendah (Ide, 2007)
Dengan banyaknya dan meningkatnya kebutuhan pada konsumsi daging serta terbatasnya produksi daging dalam industri peternakan, memunculkan dampak terhadap kurangnya pasokan daging untuk memenuhi permintaan kebutuhan. Oleh karenanya banyak ilmuwan maupun ahli pangan yang berlomba-lomba untuk memecahkan masalah ini dengan berbagi inovasi. Salah satu inovasi yang terus berkembang untuk mencegah kurangnya pasokan daging adalah dengan membuat daging sintetis. Daging sintetis merupakan teknologi pangan dengan menghasilkan daging dari sel hewan tanpa membunuh hewan tersebut. Daging ini dihasilkan menggunakan metode kultur jaringan yang kemudian dalam pertumbuhannya memanfaatkan sel punca sebagai media penumbuhan serabut otot yang akan menjadi sebuah daging.
ADVERTISEMENT
Jika dibandingkan daging konvensional, daging sintetik yang sedang dikembangkan memiliki kualitas yang lebih sehat dan efisien. Karena komposisi pada nutrisinya dapat dimanipulasi dan dapat diatur sesuai dengan kebutuhan (Kadim et All, 2015). Hal ini yang membuat banyak masyarakat di berbagai negara yang mulai beralih ke daging sintetik. Selain itu fenomena pola hidup sehat dengan pengaturan nutrisi tubuh menjadi alasan kuat mengapa daging sintetis banyak dikonsumsi masyarakat di berbagai negara.
Sumber : Dokumentasi Pribadi
Namun terdapat faktor yang menghambat berkembangnya daging sintetis ini Indonesia yaitu terhadap penerimaannya di masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena Indonesia merupakan masyarakat yang banyak memeluk agama islam sehingga kehalalan pada suatu bahan pangan harus diketahui sebelum dikonsumsi. Masyarakat menilai daging sintetik merupakan isu yang sensitif terutama mengenai keamanan, masalah etika, nilai gizi dan masalah kesehatan lainnya. Daging sintetik meski dinilai sebagai daging yang sehat, namun dalam kenyataannya banyak penggunaan bahan kimia dalam media pembuatan daging yang memungkinkan berdampak ada produk akhir daging sintetik (Chriki & Hocquette, 2020).
ADVERTISEMENT
Dengan berdasarkan hal tersebut daging sintetis memiliki sudut pandang dan titik kritis yang tabu. Terdapat hal yang bersinggungan kuat dengan hukum islam sehingga muncul dasar baik halal maupun haramnya. Dalam hal ini Allah sudah mengatur dalam surat Al-Baqarah ayat 168 yaitu :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
Berdasarkan ayat tersebut diketahui bahwa halal dapat ditinjau dari zat yang terkandung serta cara memperoleh dan memprosesnya. Adapun status kehalalan juga didapatkan dari proses penyembelihan sesuai syariat. Jika ditinjau dari daging sintetik maka jelas bahwa daging sintetik dihasilkan tanpa adanya penyembelihan (CNN, 2021). Hal ini sesuai dengan Al-Maidah ayat 5 yaitu :
ADVERTISEMENT
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ ۖ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.”
Selain itu hal yang perlu dilihat kembali yaitu bagaimana proses dengan metode teknik kultur. Teknik kultur menggunakan media sel induk berupa darah ataupun pepton yang dihasilkan dari proses hidrolisis protein babi. Darah dan babi merupakan sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT. Adapun perkara ini sesuai dengan Al-Baqarah ayat 173 yaitu :
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
ADVERTISEMENT
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Secara ilmu pengetahuan daging sintetik memang tidak menyinggung apapun untuk mendukung kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, jika daging sintetik disinggung dengan syariat islam maka banyak aturan-aturan yang telah dilanggar dan menyebabkan daging sintetik tidak dapat dikonsumsi karena dinyatakan haram atau daging yang tidak halal.
Daftar Pustaka
R. Kadim, I., Faye, B., Mahgoub, O. & Purchas, “Cultured Meat from Muscle Stem Cells: A Review of Challenges and Prospects.,” Journal of Integrative Agriculture 14, no. 2 (2015): 222–233
ADVERTISEMENT
Chriki, S. & Hocquette, “The Myth of Cultured Meat: A Review.”
CNN, “Munas NU Fatwakan Daging Berbasis Sel Haram Dikonsumsi,” 2021,https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210927112105-20-699872/munas-nu-fatwakan-daging-berbasis-sel-haramdikonsumsi
Tuomisto, H. L, Mattos, M. J. T. “Environmental Impacts of Cultured Meat Production.” Environmental Science & Technology 45 (2011): 6117–6123.
Post, M. J. “Cultured Meat from Stem Cells: Challenges and Prospects.” Meat Science, 92 (2012): 297–301.