Sejak dulu, di kepalaku, memancing ikan bak pertaruhan kehidupan. Ketika tetanggaku tak punya uang barang sepeser pun, yang ia lakukan justru angkat joran. Ia mengais tanah di belakang rumah, mencabuti cacing, kemudian pergi ke Kali Gajahwong untuk mancing .
Jika dapat ikan, artinya sisa hidupnya di dunia ini diperpanjang. Jika tak dapat ikan satu pun, yang perlu ia lakukan hanya berdoa untuk dua hal. Pertama, semoga istrinya di rumah tidak ngomel dan, kedua, warung di utara desa sana sudi untuk dihutangi lagi. Seakan, kehidupan ada ujung mata kailnya yang rapuh.
Berlangsungnya zaman yang begitu cepat, semua nampak ubah dengan cepat pula. Pinggir-pinggir Kali Gajahwong tidak lagi dipenuhi bapak-bapak berwajah spaneng atau mas-mas berambut awut-awutan yang bau ketiaknya serupa belerang. Juga tak melulu mbah-mbah yang terus duduk di pinggiran kali berhari-hari yang—ketimbang mancing—justru lebih mirip seperti sedang semedi.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
Gratis akses ke event spesial kumparan
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814