Konten dari Pengguna

Serikat Kucing-Kucing Jalanan Jakarta

Gusti Aditya
Buku terbarunya berjudul Jogja Bab Getih dan Klitih (EA Books, 2024). Dapat disapa di akun Instagram @gustiaditiaa
1 Mei 2023 21:16 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gusti Aditya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jakarta adalah terang sekaligus gelap. Bagaimana Distrik Menteng penuh dengan gedung menjulang tinggi yang ketika malam berubah menjadi warna-warni, halte berbentuk seperti pinisi, dan banyak pemuda berpakaian necis sedang haha-hihi. Namun, di balik gemerlap itu, jika kalian punya waktu lebih, masuklah ke area padat penduduk, kalian akan menemukan hal-hal lain.
ADVERTISEMENT
Hal-hal lain itu adalah Jakarta dalam sisi yang gelap. Padahal hanya beberapa jengkal kaki—bisa dibilang di balik gedung-gedung berlantai puluhan itu—pemandangan sudah lain. Kawasan padat penduduk, kabel pating njlimet, got yang lebih mirip muntahan bayi, bau sampah yang menguar, dan juga tikus-tikusnya bergentayangan di mana-mana akan menyapa kalian.
Selain itu semua, ada sisi gelap dari ibukota yang hadir dan mengisi di tiap wilayahnya. Mau itu di distrik bisnis seperti Sudirman atau kawasan mewah seperti Kebayoran Baru. Yakni kucing jalanan—atau moggy—yang mengisi tiap ruas ibukota. Mereka yang terus membeludak.
Kucing jalanan di area SCBD (foto oleh Gusti Aditya)
Namun, hadirnya kucing jalanan ke dalam sisi gelap Jakarta ini, bagi saya pribadi, bukanlah sesuatu yang disengaja. Manusia tentu saja terlibat, namun tak bisa dimasukan ke dalam satu kategori kebodohan yang sama dengan manusia yang mobil fortuner-nya ber-strobo kelap-kelip seperti pantat kunang-kunang.
ADVERTISEMENT
Kucing memang binatang gemas. Namun, pikiran manusia tentang hewan ini terus bertransformasi. Yang dulu mereka menerima kucing “biasa”, kini mereka punya ideal tersendiri tentang kucing yang layak mereka elus—mereka rawat. Seakan, kucing yang layak dipelihara adalah kucing yang berambut lebat, hidungnya mendelep, ekor panjang ngawu-ngawu, dan tentu saja kucing jalanan nggak masuk dalam syarat-syarat tersebut.
Ditambah populasi kucing jalanan itu terus membeludak. Mereka seperti diternak, namun nggak ada yang merawatnya. Pemprov DKI, dilansir dari Kumparan News, pada tahun 2019 pernah gencar merazia kucing di berbagai sudut ibukota lantaran potensi penyakit rabies dan ledakan populasi kucing.
Jika melihat data, saya hanya bisa merinding. Bukan karena medeni, tapi jumlah populasinya itu lho. Dikutip dari data DKPKP, tahun 2018 tercatat jumlah kucing jalanan adalah 29.504 ekor. Ealah, lha ini hanya beda 2045 saja dari jumlah penduduk laki-laki di Kapanewon Imogiri.
ADVERTISEMENT
Masalah overpopulasi kucing ini sebenarnya sudah jadi perhatian dunia. Ada sebuah metode yang cukup kontroversi bernama trap–neuter–return—yakni menjebak kucing, disteril, divaksin, lalu dilepas kembali. Jika nggak ada perhatian dari pemda setempat, maka populasi kucing jalanan akan terus meledak. Kucing bisa beranak sampai 12 ekor. Mungkin di dunia kucing nggak ada program KB, adanya pepatah banyak anak banyak rezeki. Betapa seramnya kondisi ini.
Namun, menyebut secara mutlak bahwa kucing jalanan adalah sisi gelap Jakarta juga nggak adil. Banyak manusia yang turut mendukung meledaknya populasi kucing seperti membuang kucing di jalanan, pasar, atau tempat ramai lainnya. Juga membuang anak kucing yang sakit agar anak-anak kucing lainnya nggak tertular penyakitnya.
Hanya beberapa kilometer dari Bundaran HI, ketika masuk kawasan padat penduduk, banyak kucing lusuh yang meringkuk. Ketika saya berjalan di kampung-kampung area Menteng menuju Tanah Abang, banyak kucing jalanan dalam keadaan sakit. Mulai dari kurus dan kelaparan, matanya berair, scabies, bahkan ada yang buntutnya terpotong—entah sebabnya karena apa.
ADVERTISEMENT
Mungkin tulisan ini terkesan nggak adil, namun beberapa hal manusia menjadi penyebab utamanya. Misalnya (di daerah saya, di Jogja) gerakan sterilisasi gratis yang justru banyak diisi oleh kucing yang memiliki tuan. Mungkin Jakarta juga sama.
Bantuan dari pemerintah nggak merata. Yang dapat justru kucing-kucing yang nggak berhak mendapatkan bantuan. Di mana peri kekucingan ini? Di mana penegakan keadilan bagi seluruh kucing di Indonesia? Harusnya ini menjadi kesadaran bagi para pemilik kucing.
Wah, wah, ketidakadilan penyaluran bantuan sosial ternyata juga terjadi di dunia kucing, ya. Jangan-jangan di dunia kucing juga ada seekor kucing korup bernama Juliacat Batubarcat? Siapa yang tahu.
Soalnya, bagaimana pun, manusia adalah kawan yang sekonyong-konyong bisa berubah menjadi musuh. Kucing-kucing ras yang tinggal di rumah gedongan, mereka yang melingkarkan badan dan meregangkan otot di sofa mahal, walau diliputi banyak keberuntungan, mereka bisa saja suatu hari akan dibuang karena sakit atau hadir kucing yang lebih lucu darinya. Ia bisa kapan saja menderita.
ADVERTISEMENT
Kucing jalanan pun bisa kapan saja disiksa oleh manusia. Seperti gambaran dalam novel I Am a Cat karya Natsume Sōseki. Si kucing itu banyak mengomentari tentang manusia. Ia bilang begini, “Hidup berdampingan seperti yang aku lakukan dengan manusia, semakin aku mengamati mereka, semakin aku terpaksa menyimpulkan bahwa mereka egois.” Dan itu terasa nyata sekali.
Si kamerad kucing itu juga menggamabrkan bagaimana manusia menyiksa mereka, “Mereka menggantung tubuhku terbalik, memasukkan wajahku ke dalam kantong kertas, mereka melemparku, mereka juga membenturkan aku ke kompor dapur. Jika aku melakukan kejahatan sekecil apa pun, seluruh rumah tangga bersatu untuk mengejar dan menganiaya diriku.”
Semua ini adalah realita yang harus dihadapi oleh para kucing jalanan. Mau bergantung kepada pemerintah setempat agar para kucing terurus, ya mau sampai kapan? Pemerintah saja enggak bisa mengurus manusia dengan baik, apalagi kucing-kucing jalanan. Padahal manusia dan kucing itu sejatinya sama, mereka butuh pemenuhan hak agar hidup dengan layak.
ADVERTISEMENT
Harusnya sih para kucing jalanan ini bentuk saja asosiasi buruh kerja. Mau bagaimana pun, mereka di ibukota termasuk sebagai pekerja. Mereka yang hidup di daerah kawasan Cipulir, mengais sampah di Pasar Cipulir, sama saja dengan kucing liar di kawasan SCBD. Hanya tempat cari nafkahnya saja yang beda, sejatinya mereka sama-sama pekerja yang butuh perlindungan.
Harusnya mereka buat perserikatan, ah, maksud saya, PerseriCATan. Serikat ini menaungi mereka agar hak dan kewajiban terpenuhi. Jadi manusia nggak semena-mena kepada mereka. Jika ada yang semena-mena, mereka bakalan turun berjuang bersama-sama. Tidak hanya spall-spill di Twitter dan base saja.
Bayangkan saja ada hampir 30 ribu kucing bisa berembug dalam SP/SB untuk memperjuangkan pemenuhan hak-hak mereka. Serikat kerja yang kuat, walau sulit, akan diperhitungkan oleh pemodal atau si pemilik alat. Dalam artian, manusia akan melihat kucing jalanan juga sebagai sesama makhluk hidup. Bukan sesuatu yang liyan dan halal untuk disiksa.
ADVERTISEMENT
Berharap kepada penguasa, sepertinya lebih masuk akal berharap agar Persitara Jakarta Utara masuk ke Liga 1. Mengharap kebaikan kepada pemodal/pemilik alat/bos perusahaan, itu seperti gim gacha yang kadang probabilitasnya baik, sisanya tentu saja buruk sekali. Lebih baik berharap kepada serikat. Karena dengan membentuk serikat, kucing-kucing bernasib sama akan merangkul dan saling berpegangan tangan.
Wahai kucing-kucing jalanan di Jakarta, bentuklah serikat. Kehidupan yang baik bisa diupayakan, penguasa yang dzalim bisa dihindari. Mengeong-lah!