Mengingat Mobil Murah Asal Surabaya Zaman Penjajahan Belanda

8 Februari 2018 13:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Datsun Go+ Panca (Foto: Gesit Prayogi/Kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Datsun Go+ Panca (Foto: Gesit Prayogi/Kumparan)
ADVERTISEMENT
Skema low cost green car (LCGC) bagai magnet bagi masyarakat Indonesia untuk bisa memiliki kendaraan roda empat dengan harga terjangkau. Bak kacang rebus di pasar malam, penjualannya pun laris manis.
ADVERTISEMENT
Nyatanya tidak hanya ada di zaman modern, mobil murah juga pernah hadir di masa lalu pada era kolonial Belanda.
Pada masanya, mobil murah tersebut memiliki bentuk terbuka, menggunakan tiga roda, mesin di depan, dan kursi pengemudi layaknya kusir delman.
Jalanan Indonesia kala zaman penjajahan masih sepi dengan lalu lalang kendaraan bermotor. Bukannya deru mesin yang terdengar, suara aduan tapak kuda yang membentur langsung ke jalan menjadi bunyi-bunyian yang tak asing.
Tapi, bukan berarti belum ada mobil kala itu. Masih banyaknya pemanfaatan kendaraan yang ditarik oleh kuda membuat jumlah mobil sangat sedikit. Hanya segelintir orang saja yang dapat menikmati duduk manis di kendaraan bermesin itu. Mobil masih menjadi barang langka yang digunakan oleh orang kaya Eropa ataupun para pedagang China. Sedangkan sisanya masih mengandalkan kereta kuda.
Ilustrasi Kuda Delman (Foto: commons.wikipedia.org)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kuda Delman (Foto: commons.wikipedia.org)
Seiring berjalannya waktu dominasi dokar, sado, delman, gerobak, cikar, dan kossong mulai pudar. Di saat bersamaan lonjakan jumlah mobil meningkat drastis. Tercatat banyak merek mobil Eropa yang mengaspal jalanan Surabaya saat itu.
ADVERTISEMENT
Mobil dengan merek Ford, Chrysler, dan Dodge banyak berkeliaran. Tentu saja kendaran-kendaran ini adalah hasil impor (completely built-up alias CBU), yang bahkan tidak drakit di Hindia Belanda (nama Indonesia saat itu).
Sampai pada akhirnya, kereta kuda yang masih melintas bersama dengan mobil yang mulai menjamur justru menimbulkan permasalahan baru.
Kecelakaan mobil dengan kereta kuda kerap terjadi dan mengakibatkan kuda-kuda mati. Hal ini diperparah dengan bau semerbak kotoran hewan ini yang menyelimuti penjuru kota.
Dari situlah kemudian timbul wacana untuk membatasi ruang gerak kereta kuda dengan menghadirkan mobil murah.
Tanpa menunggu lama, wacana tersebut langsung dijawab oleh sebuah perusahaan NV Demmo di Surabaya. Caranya, mereka menggandeng sejumlah produsen karoseri (badan dan rangka kendaraan) di Surabaya untuk merakit mobil dengan wujud dan harga yang paling terjangkau. Sedangkan mesinnya didatangkan langsung dari Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Kemudian lahirlah mobil roda tiga pertama yang diberi nama Demmo. Setengah komponennya dari dalam negeri, dan setengahnya lagi dari luar negeri yang mencakup mesin 2-tak berpendingin.
Demmo (Foto: dok. ngalam.co)
zoom-in-whitePerbesar
Demmo (Foto: dok. ngalam.co)
Demmo kian menjamur di Malang karena didukung iklannya dengan jargon “waktu berjalan cepat, menggunakannya dengan baik”. Bunyi tapak kuda pun makin tereduksi oleh suara mesin 2-tak Demmo yang beradu pacu.
Kebisingan kota dengan populasi Demmo yang terus meningkat tidak menyurutkan masyarakat untuk tetap memboyong mobil murah itu. Pabriknya terus menerima pesanan dari luar Jawa yang akhirnya tidak lagi menampung kapasitas produksi yang kian besar.
Tanggal 11 Juni 1932, pabriknya pindah ke bangunan baru di Jalan Darmokali 7, Surabaya, yang dihadiri dan diresmikan langsung oleh Wali Kota Surabaya ketiga, H.I. Bussemaker. Dalam kesempatan tersebut, ia mengatakan bahwa Demmo telah mengatasi masalah transportasi.
ADVERTISEMENT
Karena produksinya meningkat, akhirnya Demmo bisa disitribusikan ke sejumlah kota di luar Pulau Jawa seperti Medan, Palembang, Banjarmasin, Balikpapan, dan Makassar.
Sejalan dengan proses produksi, Direktur Pabrik Demmo (yang akrab disebut Mr Kanis) kemudian punya remcana untuk memandu pengemudi mobil Demmo lewat pendidikan berkendara. Ide ini tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa banyak Demmo yang disulap menjadi angkutan umum.
Popularitas Demmo di kota-kota besar pulau Jawa memantik perusahaan lain untuk membuat mobil serupa. Adalah Borsumij yang juga merakit mobil serupa Demmo yang dinamakan Atax. Mesinnya didatangkan langsung dari Inggris, sementara body-nya rakitan lokal.
Atax (Foto: dok. ngalam.co)
zoom-in-whitePerbesar
Atax (Foto: dok. ngalam.co)
Tahun 1935 populasi mobil roda tiga tersebut makin menjadi-jadi. Suara bising bak kereta api dari mesin Demmo dan Atax diprotes banyak warga. Hal ini memacu NV Demmo untuk menyudahi pasokan mesin dari Amerika Serikat dan mulai bekerja sama dengan pabrikan mesin Merkur asal Jerman. Walhasil gelombang protes menurun karena penggunaan mesin dari Jerman yang lebih tenang.
ADVERTISEMENT
Namun sayang, era kejayaan mobil murah tidak bertahan lama, pabrikan mulai sulit mendatangkan bahan baku atau komponen mobil serta suku cadang karena situasi politik dan ekonomi zaman kolonial Belanda terpecah saat itu. Padahal Demmo semakin diminati dan menjadi mobil favorit.
Memasuki tahun 1940-an Demmo menjadi barang langka. Dua tahun berikutnya saat Belanda hengkang dan digantikan oleh Jepang, Demmo dan Atax hilang bak ditelan bumi, pabriknya pun juga memutuskan untuk setop produksi alias tutup karena situasi peralihan penjajahan tersebut.
Demmo tahun 1980 yang sudah 'dikanibal' mesinnya (Foto: dok. ngalam.co/Paimo Indonesian Cyclist )
zoom-in-whitePerbesar
Demmo tahun 1980 yang sudah 'dikanibal' mesinnya (Foto: dok. ngalam.co/Paimo Indonesian Cyclist )