Membebaskan Mahasiswa dengan AI

Aditya Rizky Nugroho
Mahasiswa fakultas hukum UGM.
Konten dari Pengguna
1 Maret 2024 13:45 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aditya Rizky Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Media Ajaib Canva
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Media Ajaib Canva
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Penggunaan artificial intelligence (AI) di lingkungan perguruan tinggi masih menjadi perdebatan sengit. AI diumpamakan sebagai dosa besar yang tidak dapat diampuni. Penggunaan AI dianggap negatif sebab memperlemah daya pikir, kreativitas, serta intelegensia mahasiswa.
ADVERTISEMENT
AI yang dapat melakukan segala hal dengan praktis dipandang sebagai ancaman besar dalam "membodohkan" mahasiswa. Namun, menurut saya hal ini tidak sepenuhnya benar. AI adalah penyelamat yang kelak membebaskan mahasiswa dalam kerangkeng sistem neoliberalisme perguruan tinggi.

Neoliberalisme di Perguruan Tinggi

Skema Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) menandai masuknya neoliberalisme dalam perguruan tinggi dalam negeri . Neoliberalisme yang awalnya menyasar privatisasi perusahaan-perusahaan besar milik negara kini melebarkan sayapnya ke ranah publik seperti pendidikan tinggi. Perguruan tinggi yang harusnya murah dan disubsidi malah tergilas oleh logika pasar yang hanya bercerita untung-rugi.
Hasilnya, perguruan tinggi menjadi tidak terjangkau oleh mayoritas warga negara. Warga negara kita yang mayoritas masih sulit untuk menghidupi kehidupan sehari-hari seperti bermimpi apabila ingin melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi yang telah mengalami neoliberalisasi.
ADVERTISEMENT
Privatisasi perguruan tinggi tidak hanya berdampak kepada mahalnya biaya pendidikan, tetapi juga menjadi kendaraan bagi kaum neoliberal untuk menanamkan ideologi mereka. Agar neoliberalisme tetap subur dalam pendidikan tinggi, kurikulum perguruan tinggi dirancang sedemikian rupa untuk mengungkung mahasiswa agar hanya berpikir menjadi serdadu perusahaan yang menjunjung tinggi neoliberalisme. Pola ini terlihat jelas di kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).
Kurikulum MBKM, jikalau kita mengacu pada argumentasi pemerintah merupakan suatu terobosan signifikan. Terobosan yang dihadirkan meliputi fleksibilitas dalam kurikulum, pengembangan keterampilan soft skills, kemudahan memilih mata kuliah, dan mengakui pembelajaran sebelumnya. Program ini juga mendorong keterlibatan aktif mahasiswa dan memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
Harapannya, MBKM ini dapat meningkatkan relevansi pendidikan tinggi dengan kebutuhan pasar kerja dan memberikan pengalaman yang bermakna bagi mahasiswa. Namun, apakah MBKM ini benar-benar merdeka? Nyatanya tidak. MBKM hanya langkah pemerintah mengungkung mahasiswa di sistem neoliberalisme saja.
ADVERTISEMENT
MBKM nyatanya hanyalah strategi kaum neoliberal. MBKM memberikan betonan pada prinsip-prinsip neoliberalisme dengan memberikan mahasiswa kebebasan lebih besar dalam merancang jalur studi mereka. Konsep fleksibilitas kurikulum dan pemilihan mata kuliah sesuai minat mahasiswa sejalan dengan ide pasar bebas, di mana mahasiswa dianggap sebagai konsumen yang memilih layanan pendidikan sesuai dengan preferensi mereka.
Aspek lain dari MBKM, seperti pengakuan pembelajaran sebelumnya dan penekanan pada keterlibatan mahasiswa, merefleksikan pandangan neoliberal terhadap pendidikan sebagai investasi yang harus memberikan hasil langsung dan keterampilan yang relevan untuk kebutuhan pasar kerja. Terlebih lagi, program ini dapat memicu kompetisi antarperguruan tinggi untuk menarik mahasiswa, menggambarkan orientasi neoliberal yang mendukung persaingan pasar dan privatisasi.
Konsep neoliberalisme yang tengah mengakar kuat di kalangan mahasiswa mengharuskan mereka untuk mengamini bahwa hal ini merupakan suatu hal yang lumrah. Dalam sistem pasar bebas pendidikan tinggi ini, mahasiswa terkungkung dan terbatas dalam cakupan daya pikir kritis mereka. Bahkan jika ada, fokus daya pikir kritis mereka cenderung terpaku pada aspek pasar bebas semata.
ADVERTISEMENT
Seiring berjalannya waktu, idealisme mahasiswa pun tergadaikan, dengan mereka lebih memilih mengabdikan diri kepada pencapaian materi daripada memberikan suara terhadap ketidaksetaraan dalam masyarakat. Kondisi ini telah mencapai titik nadir yang memprihatinkan. Namun, ada sinar harapan yang datang, yaitu kehadiran AI.

AI Sang Messiah

Pengaruh AI dalam menghancurkan dominasi neoliberalisme di perguruan tinggi menciptakan paradigma baru yang merangsang pertanyaan terhadap asumsi dan struktur fundamental dari ideologi ini. Kekuatan AI muncul sebagai harapan di tengah ketidaksetaraan dan keterbatasan mahasiswa dalam sistem pendidikan tinggi yang dikuasai oleh neoliberalisme.
Pertama-tama, teori neoliberalisme menegaskan peran krusial dari pasar bebas dan privatisasi. Implementasi AI di pendidikan tinggi memiliki potensi untuk mengubah struktur biaya dan model bisnis perguruan tinggi.
ADVERTISEMENT
Dengan menyediakan jalur pendidikan alternatif yang lebih terjangkau dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, AI mampu menantang dominasi neoliberal yang cenderung meningkatkan biaya pendidikan dan mengutamakan keuntungan bisnis perguruan tinggi. Transformasi ini membuka ruang bagi model pendidikan yang lebih efisien, sejalan dengan tuntutan masyarakat, serta meruntuhkan hegemoni pasar bebas yang mendominasi sistem perguruan tinggi neoliberal.
Pemanfaatan AI dalam mendukung pengembangan kurikulum di perguruan tinggi menjadi alat utama untuk mengurangi pengaruh ekonomi yang mendominasi penentuan fokus pendidikan. AI dapat menjadi pendorong utama dalam menciptakan kurikulum yang responsif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat, fokus pada kebutuhan akademis daripada keuntungan ekonomi semata.
Dengan analisis data yang cermat, AI membantu perguruan tinggi meramalkan tren dan kebutuhan pasar kerja, memungkinkan penyesuaian kurikulum agar lebih sesuai dengan tuntutan era digital dan teknologi. Proses ini membuka peluang untuk pendekatan pendidikan yang lebih mandiri, tidak terbelenggu oleh tekanan ekonomi yang mendominasi logika neoliberalisme.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, integrasi AI dalam pengembangan kurikulum tidak hanya memberikan fleksibilitas dan responsivitas yang lebih besar, tetapi juga berpotensi meruntuhkan fondasi neoliberalisme yang menekankan pasar bebas dan profitabilitas di perguruan tinggi.
AI, dengan membuka pintu bagi pengembangan keterampilan berpikir kritis dan analitis mahasiswa, menjadi senjata efektif dalam melawan dominasi ideologi, terutama neoliberalisme. AI memberikan informasi yang seimbang dan beragam, merangsang keterampilan berpikir kritis mahasiswa dengan cara memungkinkan mereka melihat suatu isu atau konsep secara menyeluruh, mendorong pemikiran kritis terhadap kompleksitas dunia.
AI bukan hanya membantu mahasiswa untuk mengemukakan pendapat mereka sendiri, tetapi juga membuka peluang untuk memahami dampak ideologi seperti neoliberalisme dalam sistem pendidikan tinggi. Dengan cara ini, keberadaan AI tidak hanya sebagai teknologi, tetapi juga sebagai sekutu kuat dalam memberdayakan mahasiswa untuk berpikir kritis dan memahami dampak neoliberalisme yang mendasari sistem pendidikan tinggi saat ini.
ADVERTISEMENT

AI sang Messiah: janji atau sekadar mimpi?

Meskipun potensi AI untuk membawa perubahan positif di perguruan tinggi cukup besar, perlu diakui bahwa AI bukanlah solusi ajaib yang secara otomatis dapat meruntuhkan sistem neoliberalisme. Pertama, implementasi AI dalam pendidikan tinggi tidak menjamin perubahan struktural yang mencakup penghapusan kebijakan neoliberal, karena teknologi hanyalah alat dan bukan solusi kebijakan.
Kedua, kecenderungan neoliberalisme mungkin akan merasuk ke dalam pengembangan dan penggunaan teknologi, mengarah pada risiko mengoptimalkan AI untuk kepentingan ekonomi semata tanpa memperhatikan tujuan pendidikan yang lebih luas.
Selain itu, resistensi terhadap perubahan juga dapat berasal dari pemangku kepentingan lain di luar lingkungan perguruan tinggi, seperti pemerintah dan sektor bisnis. Para penggagas neoliberalisme dapat menggunakan kekuatan politik dan ekonomi mereka untuk melawan penggunaan AI yang dapat mengancam posisi mereka dalam mengendalikan perguruan tinggi. Bahkan jika perguruan tinggi bersedia mengadopsi AI, keputusan terakhir sering kali tergantung pada kebijakan dan regulasi yang diterapkan oleh pemerintah, yang mungkin juga terpengaruh oleh ideologi neoliberal.
ADVERTISEMENT
Perlu diingat pula bahwa AI, sebagaimana teknologi lainnya, tidak bersifat netral secara politis. Algoritma dan kebijakan yang dibangun dalam AI dapat mencerminkan bias dan asumsi tertentu yang mungkin tidak selalu sesuai dengan tujuan kesejahteraan sosial atau keadilan. Oleh karena itu, perubahan yang dihasilkan oleh implementasi AI perlu dipandu oleh pemikiran kritis dan kebijakan yang berpihak pada keadilan sosial, bukan sekadar menggantikan satu ideologi dengan yang lainnya.
Terakhir, perubahan sistemik memerlukan dukungan luas dari seluruh komunitas perguruan tinggi, termasuk mahasiswa, staf pengajar, dan administrasi. Mencapai kesadaran dan aksi kolektif dalam mendukung perubahan ini dapat menjadi tugas yang kompleks.
Meskipun AI menjadi solusi, saya rasa hal ini akan tetap menjadi mimpi. Penggagas neoliberal di perguruan tinggi pastilah tidak mau ide privatisasi perguruan tinggi yang menguntungkan ini terusik. Walaupun begitu mahasiswa harus segera tersadar. Potensi AI sebagai kekuatan pengubah di perguruan tinggi menawarkan harapan untuk mengatasi ketidakseimbangan dan ketidaksetaraan yang mungkin timbul dari sistem neoliberal yang ada.
ADVERTISEMENT
Dengan implementasi yang bijaksana dan terencana, AI memiliki potensi untuk merombak fondasi sistem pendidikan tinggi dan membuka jalan menuju model yang lebih inklusif, efisien, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Dengan kesadaran dan aksi kolektif, mahasiswa dapat menjadi agen perubahan yang mendorong perguruan tinggi menuju masa depan yang lebih baik.