Konten dari Pengguna

Gerakan Pemuda Dalam Sejarah Perjalanan Panjang Bangsa

adityadimasbagus
Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Airlangga.
28 Oktober 2020 11:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari adityadimasbagus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gerakan Pemuda Dalam Sejarah Perjalanan Panjang Bangsa
zoom-in-whitePerbesar
Pemberitaan tentang demo dalam beberapa hari terakhir kembali terekspos ke media. Maklum saja, semenjak Undang-Undang Cipta Kerja atau Undang-Undang Omnibus Law yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Senin, (5/10/2020) menjadi buah bibir kalangan buruh yang merasa dirugikan akibat penetapan sepihak UU tersebut. Pasalnya dalam UU yang rencananya berhalaman 905 itu, tetapi dipangkas tanpa sebab yang jelas menjadi 812 halaman saat diserahkan ke Presiden RI pada Rabu (14/10/2020), dalam beberapa poin malah menguntungkan investor sebagai pemegang perusahaan.
ADVERTISEMENT
Dimotori oleh mahasiswa, selaku akademisi yang bergerak bersama buruh, selaku pihak yang dirugikan, mereka menggeruduk gedung-gedung vital negara, baik Gedung DPR ataupun Gedung DPRD didaerah. Demonstrasi ini berlanjut dari hari ke hari, bahkan sampai seminggu setelah penetapan Undang-Undang itu. Dibalik gegap gempita gelombang unjukrasa itu menarik sebuah ulasan bagaimana negara ini tumbuh sebagai negara yang berdikari dengan peran para pemuda sebagai agent of change yang dimotori oleh mahasiswa.
Diawali dari ikrar sumpah pemuda yang dikumandangkan oleh para pemuda yang diwakili oleh Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes dan lain-lain pada 28 Oktober 1928 di Jakarta. Mereka seiya kata mengikrarkan sebuah janji untuk bertanah air, berbangsa dan berbahasa satu yakni Indonesia. Hal ini merupakan tonggak awal kontribusi pemuda bagi Kemerdekaan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Lain halnya saat menjelang kemerdekaan, Jepang menyerah kepada Sekutu sehingga Indonesia menghadapi vacuum of power. Detik itu juga, para pemuda berusaha membujuk Soekarno sebagai ketua PPKI untuk sesegera mungkin mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Namun, Soekarno menolak usulan itu dengan tegas, Soekarno beralasan untuk Proklamasi Kemerdekaan Indonesia haruslah dikonsultasikan terlebih dahulu dengan kempetai. Tak mau ambil pusing, dengan persiapan yang secepat kilat, mereka mengamankan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Hal ini sebagai upaya untuk membendung pengaruh Jepang kepada mereka sebagai calon founding father. Tidak lama berselang, karena terus-terusan didesak oleh para pemuda, Soekarno menuruti kemauan mereka. Akhirnya tepat pada 17 Agustus 1945, kita bebas merdeka dari cengkraman penjajah Jepang berkat peran pemuda didalamnya.
ADVERTISEMENT
Setelah peristiwa G30S yang dibarengi dengan melonjaknya harga barang pokok yang tak terkendali. Rakyat yang terdiri dari berbagai elemen lapisan masyarakat seperti kalangan partai politik, pemuda, mahasiswa, dan kaum hawa secara serentak melakukan aksi demonstrasi besar-besaran turun ke jalan dengan tujuan untuk menumpas para pendukung G30S yang diduga terlibat dalam upaya kudeta G30S. Elemen lapisan masyarakat yang tergabung dalam barisan unjukrasa besar-besaran itu, dikemudian hari disebut sebagai Angkatan 66.
Namun yang menarik dari unjukrasa ini, seperti yang diutarakan oleh Soekarno, ia menduga bahwa aksi demonstrasi ini ditunggangi oleh CIA (Central Intelligence Agency). Jika dirunut kedepan, memang benar beberapa tahun setelah lengsernya Soekarno, tambang emas freeport berhasil dikuasai oleh Negeri Pamansam. Tapi apakah ada kaitannya dengan gelombang unjukrasa ini? Wallahu a’lam bissawam.
ADVERTISEMENT
Beberapa bulan setelah adanya unjukrasa besar-besaran itu, akhirnya estafet kepemimpinan Republik Indonesia dipegang oleh Soeharto, seorang yang katanya berhasil menumpas G30S dan berbagai prestasi menonjol lainnya yang tak akan habis untuk dibicarakan. Tapi apakah ada kaitannya antara Soeharto dengan G30S ini?. Para pakar berbeda pendapat mengenai hal ini. Tinggal kita sebagai warga negara memilih dan memilah mana yang terbaik untuk dibicarakan.
Jika pada masa peralihan kekuasaan orde lama ke orde baru diwarnai dengan gelombang unjukrasa. Maka masa akhir orde baru juga diwarnai dengan gelombang unjukrasa besar-besaran. Masih segar dalam ingatan kita, beberapa tahun silam, dimana empat martir reformasi tewas menjadi “korban otoriter orde baru” dimasa itu. Diinisiasi oleh mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat lainnya, mereka menyuarakan poin-poin demokrasi yang dikebiri oleh orde baru selama berkuasa 32 tahun di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Namun sayang, dibalik gelombang demonstrasi besar-besaran yang seharusnya berjalan lancar dan damai, ada beberapa oknum yang sengaja menyusupi aksi unjukrasa itu. Mereka menjarah pertokoan-pertokoan elit masyarakat Tionghoa. Akibatnya disaat penjarahan itu, mereka tewas terpanggang oleh oknum-oknum yang dengan sengaja membakar pertokoan itu. Beberapa hari setelah kejadian naas mei kelabu, turunlah Soeharto dengan disertai demonstrasi besar-besaran yang mengarah ke Gedung DPR RI.
Bahkan Soeharto menyampaikan lengser keprabon, tidak dalam rapat anggota DPR tetapi didepan Mahkamah Agung dan anggota MPR dan DPR yang sifatnya bukan kelembagaan. Hal ini tentu saja, tidak sesuai dengan pasal 9 UUD 1945 yang menyatakan bahwa, “Sebelum presiden memangku jabatan maka presidem harus mengucapkan sumpah atau janji didepan MPR atau DPR.”. Terlepas dari sah tidaknya pengunduran diri Soeharto, tetapi yang pasti akibat gelombang unjukrasa yang dimotori oleh mahasiswa itu dapat menurunkan kekuasaan orde baru yang telah berkuasa selama 32 tahun mencengkram Republik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Masih terngiang dalam ingatan kita, setahun yang lalu, gelombang panas unjukrasa menentang RUU-KPK yang dicetuskan oleh DPR. Para mahasiswa menyerbu seluruh gedung-gedung perwakilan rakyat diberbagai daerah di Indonesia. Mereka menyuarakan suara KPK yang tak lagi mandiri akibat disahkannya Undang-Undang itu. Seolah gayung bersambut, tepat setahun kemudian, setelah ditetapkannya Undang-Undang Cipta Kerja itu, gelombang unjukrasa kembali hadir ditengah pandemi Covid-19 yang tak berkesudahan ini. Para mahasiswa tak gentar dengan sikap represif aparat yang mencoba menangkap dan memukuli dari setiap demonstran. Mereka seiya-sekata, “Bunda relakan darah juang kami, padamu kami berjanji”.
Dengan gencarnya unjukrasa di berbagai elemen masyarakat dalam beberapa tahun terakhir, tidak menutup kemungkinan gelombang unjukrasa yang terus berlangsung dapat mengancam kekuasaan pemerintah. Mengingat perjalanan bangsa telah menunjukkan bahwa gelombang demonstrasi yang massif digerakkan dapat mengancam sebuah kekuasaan yang sah. Mengutip quote dari bahasa latin vox populi vox dei yang memilki arti suara rakyat adalah suara Tuhan!
ADVERTISEMENT