Pendar Nasionalisme, Perjuangan KH. Hasyim Asy’ari Dalam Memperebutkan Kemerdeka

adityadimasbagus
Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Airlangga.
Konten dari Pengguna
21 Oktober 2020 16:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari adityadimasbagus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
KH. Hasyim Asy’ari merupakan salahsatu ulama yang berani untuk menghadapi serangan ekstremis para rakyat yang membencinya. Dikisahkan saat pendirian Pondok Pesantren Tebuireng, masyarakat Desa Cukir seringkali mabuk-mabukan, meminum-minuman keras dan perbuatan-perbuatan tercela lainnya. Namun semenjak, berdirinya Pesantren Tebuireng kebiasaan masyarakat Cukir lambat laun berkurang.
ADVERTISEMENT
Walaupun demikian, gangguan, fitnahan, dan cemoohan muncul dari masyarakat Desa Cukir. Sehingga tak heran, KH. Hasyim Asy’ari mengutus seorang santrinya untuk sowan ke Cirebon dengan maksud untuk meminta kepada para kiai jagoan itu untuk mengajarkan silat kepada santri Tebuireng. Selang delapan tahun kemudian, para santri sudah bisa menguasai beberapa trik untuk belajar beladiri sehingga mereka mampu mengalahkan para bandit itu. Pendekatan inilah yang menyebabkan para pandit itu memutuskan untuk bertobat dan ngangsu kawruh di Pesantren Tebuireng, Jombang.
Karena Pondok Pesantren Tebuireng dinilai berkembang pesat, maka Belanda mencoba untuk mengirimkan seorang intel yang ditugaskan untuk membuat kericuhan di Pesantren Tebuireng. Sialnya, ia berhasil ditangkap serta di-gebug-i secara beramai-ramai oleh santri hingga sekujur tubuhnya tak berdaya. Momentum ini dengan sigap dimanfaatkan oleh kolonial Belanda untuk menangkap KH. Hasyim Asy’ari dengan tuduhan rencana pembunuhan. Akan tetapi karena kelihaiannya, KH. Hasyim Asy’ari mampu membantah semua tuduhan itu. Tak lama, ia dibebaskan dari kurungan penjara.
ADVERTISEMENT
Pada paruh tahun 1937, Belanda berusaha untuk memberinya sebuah kehormatan yakni bintang jasa. Tetapi, ia dengan tegas menolak semua gelar yang disematkan kepadanya. Bukan dukungan yang didapatkan oleh Belanda. Malahan, ia mengeluarkan sebuah fatwa yang mengharamkan para calon haji untuk menggunakan kapal Belanda untuk berangkat ke tanah suci. Ia menulis fatwa ini dan disiarkan oleh kementerian agama. Fatwa ini jelas membuat Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi kelimpungan dibuat bingung olehnya, karena umat Islam yang telah mendaftar kemudian membatalkan untuk berangkat haji. (Zubaidi Ahmad, 2017)
Masa Penjajahan Jepang
Pada masa penjajahan Jepang, KH. Hasyim Asy’ari tak luput dari berbagai fitnahan yang mengancamnya. Baru saja beberapa bulan kedatangan bangsa berkulit kuning itu, tepatnya pada 20 Mei 1942, terbitlah sebuah Undang-Undang No. 3 dan No.4 yang melarang segala organisasi yang berbau-bau pergerakan rakyat Indonesia untuk diselenggarakan kembali. Dai Nippon juga melarang pengibaran Bendera Merah Putih serta digemakannya lagu Indonesia Raya di Nusantara. Sebagai gantinya, bangsa Indonesia (harus) menyanyikan lagu kebangsaan Jepang, kimigayo dan mengibarkan bendera hinomaru. Menurut Isnaini dan Apid dalam Romusa Sejarah Yang Terlupakan, Dai Nippon juga mengganti waktu (jam) Jawa dengan waktu (jam) Jepang, kalender Masehi diubah menjadi kalender sowa, serta penghormatan kepada matahari (seikerei) dimulai setiap jam 7 pagi.
ADVERTISEMENT
Ketika UU itu berlaku, banyak terjadi silang pendapat antar ulama. Menurut para ulama melakukan seikerei adalah haram. Seperti yang dikemukakan oleh Hasbullah (1996:97) dalam Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, seikerei adalah membungkukan badan yang memiliki kesamaan dengan ruku’ yang ada dalam sholat lima waktu, sehingga ketika membungkuk hanya ditujukan kepada Allah SWT bukan kepada orang Jepang ataupun dewa matahari.
Namun, tak disangka, disaat terjadi silang pendapat itu. Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng sekaligus Rais Akbar Nahdlatul Ulama, Hadratussyaikh, KH. Hasyim Asy’ari ditangkap oleh Jepang. Tak ada yang tahu apa sebabnya ia dipenjara. Mula-mula ia dipenjara di Jombang, kemudian di tempatkan di Mojokerto, hingga dikurung di Penjara Bubutan.
Menurut berita yang beredar ketika itu, ia dituduh sebagai otak dibalik kerusuhan di Pabrik Gula Tjoekir. Bahkan ada satu kabar yang menggelitik yakni ia dituduh mengislamkan secara paksa penduduk China. Padahal berita ini justru dibuat-buat oleh Jepang, karena sebenarnya KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan sebuah fatwa yang melarang umat Islam untuk melakukan seikerei.
ADVERTISEMENT
Sewaktu KH. Hasyim Asy’ari dipenjara otomatis kegiatan pembelajaran di pesantren Tebuireng terhenti total. Keluarga KH. Hasyim Asy’ari berpindah tempat tinggal ke Pesantren Denanyar di dekat Kota Jombang. Karena upaya dari KH. Wahid Hasyim, maka beberapa bulan kemudian KH. Hasyim Asy’ari dibebaskan oleh Jepang pada 18 Agustus 1942.
Hal lain didapatkan ketika, terjadi perbedaan pendapat dalam tubuh PPKI. Dimana KH. Wachid Hasyim mewakili Islam di PPKI setelah mendapat restu dari ayahandanya, KH. Hasyim Asy’ari untuk menghapus tujuh kata kontroversial di Piagam Jakarta demi persatu dan kesatuan Republik Indonesia yang baru terbentuk beberapa hari itu.
Masa-Masa Revolusi Fisik
Melalui Resolusi Jihad yang disetujui serta dikumandangkan oleh KH. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Para santri dari seluruh pelosok Jawa Timur bergegas untuk turut serta dalam barisan melawan pasukan Sekutu dengan dikomandoi Inggris dan diboncengi oleh NICA (Netherland Indies Civil Administration) yang melakukan upaya agresi di Surabaya dengan tujuan “abal-abal” untuk membebaskan tawanan Jepang. Melalui keputusan bersama yang didapatkan dari Rapat Besar Pengurus Nahdlatul Ulama (NU) se-Jawa dan Madura pada 21-22 Oktober 1945. Mereka seiya-sekata untuk mengeluarkan “Resoloesi Djihad” untuk mempertahankan tanah air dari “Walondo” keparat itu. Akibatnya meletuslah pertempuran sengit antara arek-arek Suroboyo dengan bersenjatakan bambu runcing dan senjata hasil rampasan dari tawanan Jepang melawan NICA dan sekutu dengan alat-alat bersenjatakan yang canggih pada tanggal 10 November 1945.
ADVERTISEMENT
Tak ayal dari dua hari penting itu, kita sekarang memperingatinya sebagai Hari Santri Nasional di tanggal 22 Oktober sebagai upaya untuk mengingat perjuangan santri-santri di seluruh pelosok Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan sekaligus sebagai pengingat bahwa “Resolusi Jihad merupakan tonggak awal berjuang di jalan kebenaran yang diridhoi oleh Allah SWT. Lain halnya, dengan 10 November 1945 yang dikemudian hari ditetapkan sebagai Hari Pahlawan Nasional.
Kabar Duka
Saat pertempuran yang tak berkesudahan di Jawa Timur ini, KH. Hasyim Asy’ari mendapat kabar bahwa santri mustami’-nya Bung Tomo menderita kekalahan di Malang. Sehingga, Bung Tomo dan Jenderal Soedirman meminta kepada Hadratussyaikh untuk mengungsi ke Magetan agar tidak tertangkap oleh Belanda. Namun, Hadratussyaikh tidak menyanggupi permintaan ini, sehingga ia syokh dan mengalami pendarahan otak. Menurut buku “Profil Pesantren Tebuireng, tertera bahwa KH. Hasyim Asy’ari menghembuskan nafas terakhirnya pada 25 Juli 1947 atau 7 Ramadlan 1366 dan dimakamkan di Kompleks Lingkungan Pondok Pesantren Tebuireng.
ADVERTISEMENT