Pengungsi Iklim, Sebuah Kelompok yang Terlupakan

Aditya Pratama
Mahasiswa Magister Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada.
Konten dari Pengguna
10 Desember 2022 15:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aditya Pratama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sebuah pantai di Aceh. Sumber gambar: Sangga Rima Roman Selia on Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Sebuah pantai di Aceh. Sumber gambar: Sangga Rima Roman Selia on Unsplash
ADVERTISEMENT
Pada November lalu telah diselenggarakan Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP27) di Sharm El Sheikh, Mesir. Salah satu hasil inovasi dari konferensi itu ialah diluncurkannya dana “kehilangan dan kerusakan” untuk negara-negara yang dilanda oleh bencana karena faktor-faktor iklim. Tiga belas tahun sebelumnya di Kopenhagen, Denmark, terdapat suatu kesepakatan bahwa negara-negara maju berkomitmen untuk menggelontorkan dana sebesar $100 miliar setiap tahun kepada negara-negara kurang berkembang hingga 2020, meskipun, faktanya bahwa janji itu tidak terpenuhi. Belum lagi, pelbagai komitmen finansial negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang lainnya.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, terdapat suatu problem yang terlupakan dalam pelbagai konferensi dan komitmen finansial itu, yakni, pengungsi iklim (climate refugees). Ia adalah suatu term yang digunakan untuk menjelaskan fenomena ketika sekelompok orang berpindah tempat bukan atas kemauan sendiri, melainkan mereka terpaksa berpindah akibat dari bencana yang terkait dengan perubahan iklim seperti tenggelamnya pulau-pulau akibat dari naiknya tingkat permukaan air laut, kekeringan, dan banjir bandang.
Isu pengungsi iklim muncul pada 1990 ketika The Interngovernmental Panel ons Climate Change melaporkan bahwa dampak perubahan iklim adalah migrasi jutaan manusia akibat dari erosi pantai, banjir akibat naiknya permukaan air laut, dan disrupsi agrikultural.
Fenomena pengungsi iklim, masih menjadi debat dalam hukum internasional, apakah hak mereka diakui sebagaimana kategori pengungsi-pengungsi lainnya akibat dari konflik. Relatif barunya fenomena pengungsi iklim, membuat hukum internasional belum siap untuk menyikapi isu tersebut. Selain karena karakteristiknya yang baru, kerangka perlindungan internasional juga inkoheren mengenai kategorisasi siapakah yang dapat disebut sebagai pengungsi iklim.
ADVERTISEMENT
Kurang diperhatikannya masalah pengungsi iklim secara global menimbang bahwa sebagian besar mereka berpindah di dalam negara itu sendiri. Fenomena perpindahan pengungsi iklim secara global belum semasif perpindahan pengungsi akibat dari konflik/perang atau pun refresi rezim otoriter.
Kemunculan pengungsi iklim secara resmi baru terjadi pada 2014, ketika seorang pengungsi dari Kiribati, Ioane Teitiota, mendeklarasikan dirinya sebagai pengungsi iklim. Ia menjadikan Selandia Baru sebagai tujuan migrasi, namun demikian, Pemerintah Selandia Baru tidak mengakui faktor-faktor iklim sebagai alasan valid bagi seseorang untuk dikategorikan sebagai pengungsi. Oleh sebab itu,, satu tahun berikutnya ia dideportasi oleh Pemerintah Selandia Baru.
Kesangsian Pemerintah Selandia Baru terhadap alasan itu bertolak belakang dengan fakta bahwa sebagian wilayah atol Talawa di Kiribati telah tenggelam. Bahkan, hampir seluruh area atol abaiang telah tenggelam yang memaksa sebagian besar penduduknya berpindah ke atol lain. Per 2017 hanya terdapat tujuh puluh kepala keluarga yang tinggal di atol Abaiang. Pada 2050, Kiribati adalah satu dari enam negara Pasifik yang diperkirakan akan tenggelam atau tidak dapat ditinggali.
ADVERTISEMENT
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menilai bahwa situasi Teitiota saat itu tidak dalam kondisi yang sangat berbahaya. Menurut PBB Pemerintah Kiribati saat itu dapat melakukan intervensi berupa melindungi dan merelokasi penduduknya dengan bantuan komunitas internasional. Namun, demikian, PBB membuka jalan bagi pengakuan terhadap adanya pengungsi iklim. Menurutnya, negara tujuan pencari asilum tidak dapat mendeportasi pengungsi iklim lainnya dan jika terjadi maka itu adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Meskipun keputusan PBB tidak mengikat secara hukum, namun itu menjadi jalan bagi penduduk yang terancam naiknya permukaan air laut akibat dari perubahan iklim, untuk diakui sebagai pengungsi.
Keputusan PBB tersebut sebenarnya masih terbatas, perlu direvisinya konvensi mengenai pengungsi, Geneva Convention Relating to the Status of Refugees tahun 1951 yang hanya mengakui pengungsi akibat dari faktor-faktor politik. Meskipun, revisi itu sulit untuk direalisasikan akibat dari kontestasi kepentingan negara-negara peratifikasi. Apalagi potensi pengungsi iklim dibandingkan pengungsi konvensional jumlahnya lebih besar, sehingga beberapa negara enggan untuk menyetujui perubahan konvensi tersebut.
ADVERTISEMENT
Pada konteks ini, pengakuan terhadap pengungsi iklim tidak hanya sebagai proteksi hak terhadap penduduk negara-negara Pasifik, melainkan ia juga berperan sebagai instrumen untuk melindungi penduduk di Samudra Hindia seperti Maladewa yang terancam oleh meningkatnya level permukaan air laut. Belum lagi beberapa bencana alam yang terkait dengan perubahan iklim seperti di Pakistan pada Juni hingga Oktober 2022 lalu.