Pengesahan Perppu Ciptaker Menjadi UU: di Mana Letak Harga Diri Konstitusi?

Adji Prabowo
Undergraduate Law Student at Brawijaya University (UB)
Konten dari Pengguna
27 Maret 2023 16:48 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adji Prabowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto bersama Ketua DPR RI, Puan Maharani dalam Rapat Paripurna penetapan Perppu Ciptaker menjadi Undang-Undang pada 21 Maret 2023. foto dari Galih Pradipta/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto bersama Ketua DPR RI, Puan Maharani dalam Rapat Paripurna penetapan Perppu Ciptaker menjadi Undang-Undang pada 21 Maret 2023. foto dari Galih Pradipta/Antara Foto
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pada 20 Maret 2022, dalam sidang paripurna DPR RI, Ketua DPR RI Puan Maharani mengesahkan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Hal ini menjadi kontroversi dan menimbulkan banyak kritik dari akademisi hukum hingga masyarakat umum.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, UU Cipta Kerja telah diajukan uji formil oleh Ali Sujito dkk yang pada intinya para pemohon beralasan bahwa metode omnibus law yang diusung dalam UU Cipta Kerja dan formalitas lain mengenai minimnya partisipasi publik bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sehingga UU tersebut dianggap cacat formil.
Pada 20 Mei 2020, melalui putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, majelis hakim menyatakan bahwa UU Ciptaker Inskontitusional bersyarat atau tidak memiliki kekuatan hukum apabila selama 2 tahun sejak putusan diucapkan, tidak dilakukan perbaikan.
Putusan tersebut secara tidak langsung memberikan perintah kepada DPR bersama pemerintah untuk memperbaiki formalitas dari UU Ciptaker dengan batas waktu 2 tahun sebelum UU tersebut dianggap inkonstitusional.
ADVERTISEMENT
Alih-alih memperbaiki, pemerintah justru menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang saat ini telah diresmikan menjadi Undang-undang oleh DPR RI. Secara subtansial, isi dari Perppu tersebut serupa dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Gedung Mahmakah Konstitusi. Foto dari Muhammad Adimaja/Antara Foto
Dengan pengesahan Perppu tersebut, DPR bersama pemerintah secara terang-terangan telah membangkang terhadap konstitusi dengan mengabaikan putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Mahkamah Konstitusi (MK) adalah salah satu produk reformasi yang dibentuk dengan tujuan mewujudkan negara hukum yang demokratis dan mengimbangi kekuasaan para pembentuk Undang-Undang yang dimiliki oleh DPR dan Presiden dengan mekanisme judicial review.
MK lahir berdasarkan perubahan supremasi MPR menjadi supremasi Konstitusi, yaitu kekuasaan tertinggi saat ini ada pada konstitusi. Maka dari itu, dibentuk MK sebagai lembaga independen yang dapat melakukan judicial review untuk menjamin tidak ada aturan yang bertentangan dengan Konstitusi. Secara tidak langsung, MK adalah penerjemah terakhir dari konstitusi, UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Judicial review adalah mekanisme pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar yang terdiri dari uji formil, yaitu mengujikan proses pembentukan UU dan uji materil, yaitu mengujikan isi atau materi dari UU.
Menurut Mantan Hakim MK, prof Jimly Asshiddiqie, mekanisme judicial review hadir untuk mengontrol produk hukum yang dibuat parlemen berdasarkan rule of majority. Dengan tujuan agar pembuatan undang-undang tidak bertentangan dengan UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia.
Ilustrasi Partisipasi Masyarakat. Foto dari Adi Saputra/Kumparan
Namun dengan terjadinya pengesahan Perppu Ciptaker, MK seakan kehilangan fungsinya sebagai suatu lembaga yang dicita-citakan dapat mengontrol pemerintah dalam membentuk Undang-Undang.
Menurut Pakar hukum UM Surabaya, Satria Unggul Wicaksana, Perppu Ciptaker yang dibentuk pemerintah tidak dapat dikatakan sebagai perbaikan formalitas dalam UU Ciptaker, melainkan upaya licik untuk memanipulasi regulasi dengan memaksakan pemberlakuannya menggunakan Perppu. Hal tersebut dilakukan karena pemerintah gagal memenuhi perintah putusan MK, yakni perbaikan dalam waktu 2 tahun.
ADVERTISEMENT
Fenomena serampangan dalam pembentukan perppu Ciptaker adalah bentuk ketidakhormatan pemerintah kepada konstitusi sebagai supreme dengan mengabaikan putusan MK dan sekaligus menjatuhkan harga diri konstitusi yang seharusnya menjadi pedoman pemerintah dalam bertindak.
Ciri utama dari negara demokrasi adalah adanya partisipasi publik dalam pembentukan kebijakan, termasuk pembentukan peraturan perundang-undangan. Konstitusi Indonesia telah menjamin hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam suatu kebijakan.
Dalam pasal 22A UUD 1945 yang selanjutnya diatur pada pasal 96 UU nomor 12 tahun 2011 telah dijelaskan bahwa masyarakat memiliki hak berpartisipasi dalam pembentukan perundang-undangan (meaningfull participation). Hal ini dimaksudkan agar terjadi kontrol sosial dan terdengarnya aspirasi masyarakat dalam perancangan peraturan perundang-undangan.
Namun, dengan terjadinya pengesahan perppu Ciptaker menjadi UU ini, pemerintah secara tegas telah menghiraukan partisipasi publik dalam merancang peraturan tersebut. Pemerintah secara licik menggunakan alasan "kegentingan yang memaksa" melalui Perppu sebagai jalan pintas untuk menghilangkan partisipasi masyarakat.
Massa aksi saat unjuk rasa menolak Omnibus Law, di kawasan Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (22/10). Foto: M Risyal Hidayat/ANTARA FOTO
Sikap pembangkangan konstitusi dari pemerintah ini perlu diatasi oleh MK selaku lembaga yang diberi wewenang melakukan judicial review. Harga diri konstitusi ada di tangan MK selaku penerjemah terakhir konstitusi, maka dari itu MK harus bijaksana dan mendengar suara-suara publik, khususnya dari kalangan akademisi, dalam memutus. Apalagi saat ini terdapat pengajuan uji formil terhadap Perppu Ciptaker.
ADVERTISEMENT
MK adalah penerjemah konstitusi sekaligus penjaga marwah dari konstitusi itu sendiri. Untuk itu, diperlukan kemawasan diri dari para hakim konstitusi dalam menegakkan keadilan untuk mengembalikan martabat konstitusi dan kepercayaan masyarakat. Terlebih lagi saat ini MK sedang memiliki masalah mengenai salah satu hakimnya yang melanggar kode etik yang menyebabkan menurunnya kepercayaan masyarakat.
Selain itu, kita sebagai masyarakat Indonesia juga harus terus mengeluarkan suara terhadap pemerintah untuk menciptakan kontrol sosial agar pemerintah tidak sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahan. Sebagai negara hukum, sudah seharusnya kita melek terhadap hukum dan segala kebijakan pemerintah untuk melawan tindakan kesewenang-wenangan, seperti yang pemerintah sedang lakukan saat ini.