Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Hatimu Capek? Mungkin Kamu Mengalami Ego Depletion
14 November 2019 13:12 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Adjie Santosoputro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sasya memejamkan mata, berusaha meredam rasa lelah. Dia berbaring begitu saja di ranjang kamar indekosnya. Di sekelilingnya, hanya ada keheningan. Maklum, ini sudah hampir tengah malam. Teman-teman satu rumah indekosnya pasti sedang tidur. Sasya sendiri baru pulang kerja. Ini hari lembur ke sekian. Dia lupa kapan pertama kalinya dia lembur, atau kapan terakhir kali dia pulang kerja tepat waktu, sejak dua tahun lalu posisinya naik menjadi Asisten Manajer.
ADVERTISEMENT
Harusnya kamu ikhlas menerima, begitu kalimat Bunda, setiap kali Sasya mengeluhkan pekerjaannya yang terlalu banyak dan tanggung jawab makin besar. Namanya kerja ya capek. Harusnya kamu ikhlas menerima kenyataan itu. Kurangi membandingkan dengan orang lain.
Namun, bukan ini yang Sasya mau. Sasya tak pernah membayangkan dirinya akan bekerja di BUMN. Tadinya dia enggan mendaftar program ODP, tetapi Bunda selalu mendesaknya.
"Daripada nganggur, Sya. Toh, gajinya lumayan, apalagi uang pensiunnya. Lihat Bapak, walau Bapak sudah nggak ada, Bunda masih menerima uang pensiun Bapak. Ya, karena bapakmu kerja di sana itu. Masa depanmu," ucap sang bunda.
Suara Bunda perlahan sayup, seperti diucapkan dari kejauhan. Mata Sasya mulai basah. Dia mengalah dan mendaftar. Dia lulus program itu dan bisa masuk jajaran posisi manajerial tengah setelah pelatihan dua tahun. Namun, ini bukan yang dia inginkan. Dia tak suka beban pekerjaannya, rutinitasnya, lingkaran pertemanannya, hingga ke hal-hal kecil seperti makanan di kantin kantornya.
ADVERTISEMENT
Lelahnya lebih dari sekadar tenaga dan pikiran. Dia juga lelah menahan diri, menjaga hati, dan mengatur ucapan. Dia ingin berhenti bekerja di perusahaan itu, meneruskan impiannya menjadi komikus, lalu…. Namun, pada detik dia ingin menyerah, ada suara Bunda menggema di kepalanya,
Matanya tertuju ke peralatan lukis di meja, lalu sebuah gambar buatan tangan di dinding kamar indekosnya. Beberapa hari lalu, dia minta izin ke ibu kos untuk menggambari dinding kamar indekosnya. Untungnya, ibu kosnya berbaik hati membolehkan.
Maka, Sasya mulai menggambar. Ada sketsa anak perempuan, dengan sayap di punggungnya, bersiap hendak terbang dari pucuk ranting yang meranggas. Anak itu sekilas mirip dirinya, dengan hidung yang mancung dan rambut ikal kecokelatan. Mural dinding itu nyaris selesai, tinggal diberi warna di beberapa detail kecil lain. Tangannya terulur, hendak mengambil kuas, lalu menggantung tertahan. Kali ini dia mendengar kalimat itu lagi. Kali ini bukan diucapkan Bunda, melainkan suaranya sendiri, yang baginya terasa begitu asing.
ADVERTISEMENT
________
Memperhatikan gejolak rasa di dalam dengan didasari kesadaran diri berarti memperhatikan tanpa menghakimi. Sering kali, perasaan seperti sedih atau khawatir, otomatis kita hakimi sebagai sesuatu yang “buruk”, “tidak pantas”, atau “tidak kita inginkan.” Ketika kita menghakimi suatu perasaan (“Saya sedih. Perasaan sedih ini buruk. Saya tidak ingin merasakan ini”), kita otomatis menciptakan konflik. Konflik antara perasaan yang sedang kita rasakan (yaitu sedih, yang kita hakimi: buruk), dengan perasaan yang ingin kita rasakan (misal gembira, yang kita hakimi: baik).
Berbagai upaya yang akrab kita kenal untuk mengatasi konflik tersebut, yaitu menekan, memendam, atau melawan perasaan negatif, ternyata menguras banyak energi. Bikin hati jadi capek. Seperti yang dibuktikan dalam penelitian para ahli (Baumeister, Bratslavsky, Muraven, & Tice, 1998) yang pernah saya baca, mengenai Ego Depletion. Dan upaya itu malah membuat keadaan batin kita semakin parah. Atau seperti penelitian Daniel M. Wegner, 1994, dikenal dengan istilah Rebound Effects.
ADVERTISEMENT
Penerimaan berperan penting dalam berlatih kesadaran diri untuk memulihkan batin. Berbekal perhatian yang didasari kesadaran diri dan penerimaan, kita mengizinkan setiap pikiran atau perasaan untuk hadir. Bagaimanapun juga, berbagai pikiran dan perasaan itu tak bisa kita anggap tidak ada. Daripada bertengkar melawan pikiran dan perasaan sendiri, berlatih kesadaran diri lebih memilih untuk memupuk keikhlasan untuk menyadari, mengizinkan, dan menerima segala kondisi batin tersebut.