news-card-video
15 Ramadhan 1446 HSabtu, 15 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Rakhine Tidak Selalu Tentang Rohingya

a fauziah
Hakuna Matata. Sesdilu78
14 Maret 2025 17:17 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari a fauziah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Nama Rakhine kerap disebut bergantian dengan Rohingya dalam pemberitaan. Namun, betulkah keduanya sama? Apakah Rakhine hanyalah nama lain dari sebuah etnis yang hingga kini masih terus mengalami diskriminasi oleh pemerintah, kini junta militer, Myanmar?
ADVERTISEMENT
Rakhine, atau Rakhine State, sebenarnya merupakan salah satu provinsi di bagian barat daya Myanmar. Sebagai sebuah negara, pembagian administratif Myanmar cukup unik yakni 7 Region dan 7 Negara Bagian (State). Membedakannya mudah, dimana Region dominan didiami oleh orang Bamar selaku etnis mayoritas Myanmar, sedangkan State ditempati oleh etnis minoritas tertentu. Penamaan State pun biasanya mengikuti nama etnis setempat. Rakhine State termasuk diantaranya.
Perjalananan bulan Desember 2021, mengenalkan saya pada sisi lain dari Rakhine State. Sebagai pengingat, catatan ini hanya sekelumit pengamatan pribadi saat itu, sehingga kondisi sekarang sangat mungkin berubah.
Laut sepanjang pesisir hotel-hotel di Ngapali (Foto: pribadi)
Terbang dengan maskapai Myanmar Airways International (MAI), rombongan saya mendarat di bandara Thandwe, Rakhine State di tengah cuaca cerah. Penerbangan dari Yangon ke Thandwe singkat, hanya 50 menit. Pesawat kesanapun menggunakan tipe ATR yang relatif baru, membuat perjalanan tanpa keluhan.
ADVERTISEMENT
Memang tujuan kali ini adalah wisata pesisir Myanmar dan pantai Ngapali di kota Thandwe, Rakhine State, adalah salah satu andalannya. Penginapan saya bersisian langsung dengan pantai pasir putih yang menghadap laut Teluk Bengal. Lumayan mengobati kangen udara pantai setelah cukup lama pergerakan di Myanmar dibatasi demi mencegah penyebaran Covid-19. Saat itu, larangan perjalanan dalam negeri di Myanmar sudah diangkat, diganti kewajiban menunjukkan sertifikat vaksin Covid di titik-titik keberangkatan.
Banyaknya pulau-pulau kecil di sekitaran Ngapali, tentu tidak dilewatkan untuk island hopping diantar speed boat nelayan lokal. Rombongan kami akhirnya hanya sempat ke dua pulau atas permintaan peserta, serta melewati satu pulau, (mungkin lebih tepatnya disebut Gosong Karang) yang dahulunya menjadi tujuan pencari mutiara.
Seorang nelayan tradisional menunggu bubu udang di laut Ngapali (Foto: pribadi)
Bawaan sebagai orang Indonesia, rasanya kurang apabila berjalan-jalan tanpa membawa (baca: memborong) oleh-oleh setempat. Hal ini dimudahkan karena begitu keluar penginapan di sepanjang jalan utama Ngapali, berjejer kios-kios pedagang souvenir dari kerang dan mutiara, serta makanan olahan boga bahari. Karena penasaran, kami juga menelusuri bagian pantai tempat nelayan berlabuh. Rencananya ingin membeli ikan segar langsung, sayangnya para nelayan hanya berhasil menjaring ikan-ikan kecil karena hujan besar di malam sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Pernak-pernik dari hasil laut di pinggir jalan utama Ngapali (Foto: pribadi)
Selain wisata alam, rombongan saya pun sempat mengunjungi pengrajin longyi khas Rakhine. Longyi adalah kain tradisional Myanmar yang masih digunakan di keseharian masyarakat. Mirip dengan kain-kain Indonesia, setiap provinsi memiliki desain berbeda. Pendapat pribadi, saya lebih suka motif khas Shan dan Rakhine, karena tampak lebih kecil dan rapi. Ronde kedua pemborongan terjadi, mengingat prinsip “kapan lagi bisa ke Rakhine”.
Sebuah workshop lokal pengrajing longyi khas Rakhine (foto: pribadi)
Gadis penenun longyi sedang bekerja dengan alat tenunnya (Foto: pribadi)
Longyi-longyi yang sudah terlipat rapi siap dipilih dan dibeli (Foto: pribadi)
Rumah makan lokal tempat rombongan kami makan siang (Foto: pribadi)
Oh iya, makanan di restoran setempat, rasanya aman dan cocok dengan lidah Indonesia, apalagi boga baharinya dan ada satu yang menarik, Coconut Rice. Sekilas cara pembuatannya mirip dengan nasi uduk, tetapi begitu dicoba…rasanya...hmm…agak unik. Burmese Coconut Rice ini sangat kental rasa santannya.
Lauk makan siang, termasuk Burmese Coconut Rice (Foto: pribadi)
Berdasarkan pembicaraan dengan manajer penginapan, tingkat kunjungan ke Thandwe mulai membaik setelah penerbangan dibuka kembali. Biasanya kunjungan wisatawan akan naik saat libur panjang seperti Thingyan (Tahun Baru Myanmar atau Festival Air) di bulan April. Pandemi lebih berpengaruh di wilayah ini, sedangkan demonstrasi masyarakat melawan kudeta militer tidak terlalu terlihat.
ADVERTISEMENT
Kunjungan singkat itu, berakhir dengan tes swab di Rumah Sakit Ngapali sebagai prasyarat terbang, karena saya dan seorang teman hanya membawa fotokopi, bukan sertifikat asli, vaksin.
Kartu vaksin yang sempat menghilang TeeSBe (Foto: pribadi)
Walaupun melancong Rakhine tampak menarik, tetap tidak menutup mata kita atas kondisi memprihatinkan warga setempat, ya…
Ketegangan antar etnis Rakhine dengan Rohingya belum sepenuhnya hilang. Posisinya sebagai salah satu “provinsi” termiskin juga mengancam jutaan warga kelaparan. Keadaan diperparah dengan konflik bersenjata tak berkesudahan. Di Rakhine State ada kelompok bersenjata Arakan Army (AA) yang masih sering terlibat kontak senjata dengan militer Myanmar.
Semoga keadaan Myanmar cepat mendapatkan titik terang ya, agar teman-teman Myanmar dapat kembali meraih perdamaian dan demokrasi yang lama mereka perjuangkan. Sementara itu, ada yang tertarik melihat-lihat Myanmar?
ADVERTISEMENT
***