Eksistensi Do di dalam Bushido

Adly Rosyad Fudhulul Ulwani
Undergraduate Student of Japanese Studies at Universitas Airlangga
Konten dari Pengguna
28 September 2022 6:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adly Rosyad Fudhulul Ulwani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: https://unsplash.com/photos/uYJSeEQBYGY
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: https://unsplash.com/photos/uYJSeEQBYGY
ADVERTISEMENT
Jepang merupakan salah satu negara yang paling kuat dalam hal pelestarian budaya nenek moyang perihal kebudayaan dan sejarah. Kebudayan di Jepang sangat kompleks dan memiliki nilai moral yang beragam. Setiap tindakan atau benda dapat dibuat menjadi landasan moral bagi masyarakat Jepang. Salah satu nilai esensial moral di Jepang adalah adanya "The Spirit of Do" atau semangat Do (道) dalam Jepang.
ADVERTISEMENT
Semangat Do terdapat dalam moral yang telah ada sejak pembentukan periode Kamakura yang merupakan kode etik bagi seorang samurai. Melalui kode etik atau etika moral, masyarakat Jepang akhirnya memiliki suatu pegangan atau ideologi yang digunakan sampai dengan sekarang. Lalu, apakah eksistensi dari semangat Do itu masih diperlukan pada saat ini? Dalam kaitannya dengan masa kini, semangat Do dalam Bushido mengalami pergeseran dan menimbulkan masalah. Masalah-masalah yang berhubungan dengan Do, antara lain:
• Kebanyakan orang Jepang berfokus pada mengikuti alur standar yang ada, tidak ada yang berani melampaui standar.
• Orang Jepang tenggelam dalam materialisasi mulai melupakan ajaran Zen seutuhnya.
Do sendiri adalah salah satu rangkaian moral Jepang yang terkenal yaitu "武士道". Bushi (武士) yang diartikan sebagai kesatria dan Do (道) yang berarti jalan untuk menggapai sesuatu sehingga jika digabungkan menjadi suatu jalan atau metode untuk menjaga perdamaian yang dilakukan secara diplomasi maupun senjata. Prinsip Bushido merupakan ajaran Buddha Zen. Dalam buku Bushido "The Soul of Japan" menjelaskan bahwa ajaran Zen mengajarkan kepercayaan pada takdir dan ketenangan hati yang ditempuh melalui meditasi bagi para samurai sedangkan menurut ajaran Shinto, mengajarkan loyalitas pada pimpinan, penghormatan pada warisan leluhur, dan sikap bakti.
ADVERTISEMENT
Asosiasi dari kedua kepercayaan itu membentuk jiwa samurai yang tangguh. Hal yang paling mendasar dalam prinsip Bushido adalah ajaran untuk senantiasa hidup dengan kejujuran terhadap diri sendiri. Dari ajaran tersebut berkembangan istilah On yang mempunyai makna kewajiban atau hutang yang harus dibayar karena telah menerima kebaikan dari orang lain.
Kewajiban mengembalikan tersebut yang biasa disebut On memiliki 2 jenis, yaitu:
1) Gimu atau Chu yang berarti pengabidian kepada Kaisar.
2) Giri yang berarti kesetiaan pengikut kepada tuannya dan menjaga nama baiknya.
Dari kedua On di atas, karakteristik masyarakat Jepang saat ini terbentuk. Bahkan jika kita melihat suatu film Jepang yang bertemakan kerajaan, pasti kita akan melihat bahwa terdapat salah satu jendral atau petinggi yang melakukan kesalahan dan mereka akan melakukan Seppuku. Seppuku adalah sikap bunuh diri dengan cara membelah perut. Hal itu terjadi karena dalam ideologi Jepang di Bushido mengutamakan nama baik yang tidak bisa diraih jika masih ada kesalahan yang melekat pada diri mereka. Lalu, jika tidak ada pilihan lainnya atau merasa sangat malu dengan dirinya sendiri, maka mereka tidak segan untuk membunuh dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, dengan bunuh diri mereka mempunyai pemikiran bahwa akan mati dalam keadaan terhormat walaupun Samurai telah dihapus dan peperangan tidak terjadi lagi di Jepang. Ajaran Bushido pada zaman modern ini masih dilaksanakan dan diwariskan kepada generasi muda melalui pendidikan dasar di rumah dan juga di sekolah. Ajaran dan etika Bushido ini masih sangat relevan diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan di masa kini.
Etika Bushido yang menjadi karakter bangsa Jepang secara menyeluruh terakumulasi dalam tujuh kode utama, yaitu:
a. 義 (Gi), artinya Kebenaran.
b. 勇 (Yuuki), artinya Keberanian.
c. 仁 (Jin), artinya Kebajikan.
d. 礼 (Rei), artinya Hormat.
e. 誠 (Makoto), artinya Ketulusan.
f. 名誉 (Meiyo), artinya Kehormatan.
ADVERTISEMENT
g. 忠義 (Chuugi), artinya Loyalitas.
Pada masa kini, semangat Do erat kaitannya dengan masyarakat yang akan selalu stagnan. Hal ini dikarenakan setiap orang perlu menjaga nama baik mereka, dan salah satu cara yang paling mudah untuk melakukan hal tersebut adalah selalu mengikuti alur standar. Jika kita melihat secara langsung kehidupan di Jepang pastinya kita hanya melihat kehidupan yang sangat monoton. Masyarakat Jepang tentunya tidak akan mudah mengubah ataupun keluar dari lingkaran tersebut karena terbatas pada ideologi Bushido dan sosial masyarakat yang ada. Jika terdapat satu orang yang keluar dari lingkaran itu, maka orang itu akan dianggap sebagai orang yang gagal oleh masyarakat dan akan dijauhi atau dihukum secara masyarakat.
Masalah ini sering kali membuat orang Jepang menjadi mudah untuk stres. Hal itu terjadi karena disebabkan oleh tekanan dari luar seperti hukum norma masyarakat dan keinginan kuat untuk mempraktikkan Bushido. Dari sini muncul beberapa orang yang disebut NEET (Not in Education, Employment, or Training) atau Hikikomori. Orang Jepang yang telah membuang atau memandang Bushido dengan salah akan menyebabkan hidup mereka akan kosong. Mereka akan berdiam diri di rumah dan tidak semangat untuk melakukan sesuatu. Semua itu disebabkan oleh semangat Do yang hilang atau mengalami pergeseran makna. Oleh karena itu, semangat Do dalam Bushido harus dipahami dengan sangat baik agar masalah ini tidak terjadi.
ADVERTISEMENT
Masalah selanjutnya adalah banyak orang Jepang tenggelam dalam materialisasi dan mulai melupakan ajaran Zen seutuhnya. Ajaran Zen yang sejak dulu dianut sebagai bentuk penenang jiwa dengan meditasi dan memiliki maksud bahwa Zen berguna sebagai pemenang hati atau jiwa dalam tubuh manusia. Akan tetapi, saat ini unsur dari Zen sudah menghilang dan hanya unsur untuk menghidupi kehidupan saat ini melalui semangat Do. Misalnya, ketika orang Jepang memiliki suatu keinginan, keinginan itu pasti harus terwujud karena semangat Do tersebut dalam ideologi Bushido mengajarkan demikian sehingga mereka akan melakukan cara apapun untuk menggapainya. Akan tetapi, cara yang dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut mampu melupakan satu hal penting , yaitu Zen ketenangan dalam menggapainya. Pada praktiknya sudah seharusnya unsur Zen selalu melekat pada Do tetapi saat ini unsur itu mulai ditinggalkan dan hanya menyisakan unsur Do saja.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan yang didapat adalah sebagai berikut:
1. Salah satu nilai esensial moral di Jepang adalah adanya "The Spirit of Do", atau semangat Do () di Jepang.
2. Semangat Do terdapat dalam moral yang telah ada sejak pembentukan periode Kamakura, yang merupakan kode etik bagi seorang samurai.
3. Dalam ideologi Bushido Jepang, mengutamakan nama baik yang tidak bisa diraih jika masih ada kesalahan yang melekat pada diri mereka.
4. Dalam praktiknya sudah seharusnya unsur Zen selalu melekat pada Do, tetapi saat ini unsur itu mulai ditinggalkan dan hanya menyisakan unsur Do saja.
Etika Bushido secara nasional dipahami sebagai etika yang dapat menjamin stabilitas dan kemandirian bangsa, serta dapat diimplementasikan secara menyeluruh oleh masyarakat Jepang dari tingkat lapisan masyarakat bawah sampai masyarakat lapisan atas. Satu hal yang menjadi dasar dari pelaksanaan etika Bushido adalah keteladanan dari para pemimpin bangsa Jepang. Pada prinsipnya tindakan yang tidak berorientasi pada kepentingan masyarakat umum dan bangsa dianggap tindakan yang tidak terpuji dan merendahkan martabat bangsa.
ADVERTISEMENT

________________________________________________

Referensi:
Airways, A. N. (n.d.). Everything You Need To Know About The Japanese Tradition Of “Dou.” BuzzFeed. Diakses pada tanggal 27 September 2022.
Hidayanti, A. (2020). Andini Hidayanti: 日本分化:道と武士道 (Dou dan Bushidou). Andini Hidayanti.
Suliyati, T. (2013). Bushido Pada Masyarakat Jepang: Masa Lalu dan Masa Kini. IZUMI, 1(1).
Wibawarta, B. (2006). Bushido dalam Masyarakat Jepang Modern.