Konten dari Pengguna

Akankah Rencana Pemulihan Covid-19 Indonesia Mendukung Transisi Hijau?

Yayasan Indonesia Cerah
Akun resmi Yayasan Indonesia Cerah, organisasi nonprofit yang fokus mendorong transisi dari energi fosil ke energi bersih dan terbarukan.
17 September 2020 10:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yayasan Indonesia Cerah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Efek gabungan dari pandemi covid-19 dan penurunan drastis harga energi global (sebagian besar harga minyak, juga gas alam dan batu bara) telah menghantam sektor energi berbahan bakar fosil. Pemerintah telah meluncurkan paket stimulus yang sebagian besar dananya diarahkan untuk kesehatan masyarakat dan jaring pengaman sosial sementara sektor energi menerima stimulus dalam bentuk berbagai insentif perpajakan dan keringanan kredit.
ADVERTISEMENT
Namun seiring dengan berjalannya waktu, semakin jelas bahwa Indonesia—seperti kebanyakan negara lain—memiliki peluang untuk merancang rencana stimulusnya secara lebih strategis, dengan menggunakan dana stimulus untuk mendukung transisi dari bahan bakar fosil menuju masyarakat yang lebih berkelanjutan dengan energi terbarukan.
Pertanyaannya adalah, akankah para pemimpin berani mengambil langkah tersebut?
Menanggapi penurunan harga minyak mentah dunia, sejauh ini pemerintah Indonesia maupun PT Pertamina (Persero) belum menunjukkan tanda-tanda akan menurunkan harga bahan bakar eceran. Meskipun langkah ini tampak tidak konvensional dan menimbulkan kontroversi di dalam negeri, hal itu mungkin dilakukan untuk menghindari keuangan Pertamina terpukul lebih dalam, terutama setelah baru-baru ini mengumumkan kerugian sebesar Rp11 triliun untuk semester pertama 2020. Menjaga harga BBM eceran dapat dilihat sebagai salah satu upaya untuk menjaga aliran pendapatan tetap stabil. Strategi ini bukan tidak memiliki kelemahan, salah satu kelemahannya adalah akah semakin sulit untuk Pertamina menaikkan harga di masa mendatang karena akan mengundang pertanyaan publik.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, untuk menanggapi pergulatan sektor gas dan batu bara akibat rendahnya permintaan dan penurunan ekspor, pemerintah telah memasukkan kedua sektor tersebut ke dalam daftar yang berhak mendapat insentif fiskal melalui paket stimulus Jilid I-III. Dukungan ini secara langsung bertentangan dengan agenda pemerintah yang bertujuan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil seperti batu bara. Insentif ini hanya akan semakin mengunci Indonesia sebagai negara dengan tingkat emisi karbon yang tinggi.
Mengingat bahwa sektor energi fosil masih memiliki kontribusi yang cukup besar bagi pendapatan negara dan sektor energi yang masih didominasi oleh batu bara, memang bisa dipahami kecenderungan para pembuat kebijakan untuk mengamankan perekonomian dengan menyalurkan dukungan kepada sektor tersebut. Namun periode ini sebenarnya adalah waktu yang paling tepat bagi Indonesia untuk mulai merencanakan transisi yang berkeadilan menuju masa depan yang berkelanjutan, yang memprioritaskan kesehatan masyarakat, menciptakan peluang kerja, mempertimbangkan kebutuhan masyarakat miskin dan rentan, serta membangun stabilitas ekonomi dan lingkungan jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Bagaimana Cara Agar Indonesia Dapat Memperkuat Sektor Energi Terbarukan?
Dalam hal merancang paket stimulus yang efektif dan berkelanjutan, para pembuat kebijakan di Indonesia dapat mencontoh langkah yang diambil Korea Selatan saat krisis keuangan global 2008-2009: investasi besar dalam proyek efisiensi energi, konservasi alam, energi bersih, dan peningkatan transportasi umum.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyadari bahwa pandemi dapat mempengaruhi industri energi terbarukan—terutama dalam hal investasi. Oleh karena itu, pemerintah sebenarnya telah menyiapkan beberapa langkah dukungan untuk energi terbarukan dalam bentuk insentif pajak yaitu pembebasan PPN dan PPh bagi pengembang energi terbarukan. Selain itu, ada langkah-langkah stimulus lain seperti penundaan pembayaran kembali pinjaman, penurunan beban tarif proyek energi terbarukan, dan penyesuaian ketentuan pengadaan seperti pelonggaran tanggal operasi komersial dan pembebasan denda. Ini adalah jenis insentif yang harus dilanjutkan, bahkan setelah pandemi, sebagai upaya menciptakan iklim investasi yang lebih stabil dan berisiko rendah untuk proyek energi terbarukan di Indonesia. Namun apakah langkah ini sudah cukup untuk mendorong pertumbuhan energi terbarukan?
ADVERTISEMENT
Sebagaimana yang telah diidentifikasi dalam laporan Achieving Low Solar Energy Price in Indonesia: Lessons Learned from the Gulf Cooperation Council (GCC) Region and India, beberapa perbedaan utama yang memungkinkan India dan negara-negara Timur Tengah memperluas industri energi surya mereka secara signifikan adalah kebijakan yang jelas dan suportif, iklim investasi yang stabil, dan persepsi risiko investasi yang lebih rendah.
Sebagai contoh, salah satu alasan rendahnya tingkat risiko dalam proyek energi terbarukan di India adalah rangkaian kebijakan yang jelas untuk menciptakan iklim investasi yang stabil. Hal ini memudahkan mereka menarik investor baik dalam dan luar negeri, serta menurunkan cost of financing—yang pada akhirnya akan menurunkan keseluruhan biaya proyek. Insentif untuk industri energi terbarukan juga dapat diberikan dalam bentuk kebijakan yang bertujuan mengurangi/menghilangkan risiko proyek - seperti kebijakan Solar Park di India yang menghilangkan biaya dan risiko terkait pembebasan lahan. Di Indonesia, perihal pembebasan lahan memainkan peran yang cukup besar dalam meningkatkan profil risiko dan pembiayaan proyek.
ADVERTISEMENT
Peraturan Menteri ESDM No 4/2020 diharapkan dapat mengatasi beberapa kendala regulasi terkait pembangkit listrik energi terbarukan. Salah satu perubahan terpenting dalam peraturan baru ini adalah penghapusan skema Build Own Operate Transfer (BOOT) untuk semua jenis pembangkit listrik energi terbarukan. Hal ini dapat dilihat sebagai perkembangan positif, karena produsen listrik independen dapat memiliki semua aset proyek dan tidak harus mentransfer kepemilikan ke PLN di akhir proyek - ini dapat membantu meringankan kekhawatiran bankability di proyek energi terbarukan.
Meski terdapat beberapa perkembangan positif dari revisi ini, namun tampaknya revisi ini masih belum mengatasi hambatan utama dalam menarik minat investor yaitu tarif pembelian listrik. Hal ini disebabkan karena Permen No 4 masih menggunakan biaya dasar pembangkitan listrik (Biaya Pokok Pembangkitan/BPP) sebagai patokan penentuan harga agar energi terbarukan dapat menjual listriknya ke jaringan.
ADVERTISEMENT
Indonesia memiliki target memenuhi 23% total kebutuhan energi nasional melalui energi terbarukan pada 2025. Tercatat hingga Mei 2020, hanya 14,7% dari total pembangkit yang terpasang berasal dari energi terbarukan - masih jauh dari target. Kita tidak dapat menyangkal kompleksitas dan dampak ekonomi yang parah akibat krisis covid-19, namun tetap ada peluang untuk menggunakan fase pemulihan dan langkah-langkah stimulus untuk mendukung target 23% energi terbarukan sekaligus menciptakan lapangan kerja baru di sektor tersebut untuk merealisasikan transisi menuju masa depan rendah karbon.
Oleh Anissa Suharsono
Peneliti International Institute for Sustainable Development (IISD)