Konten dari Pengguna

Climate Transparency: Subsidi Bahan Bakar Fosil Negara G20 Capai Rekor Tertinggi

Yayasan Indonesia Cerah
Akun resmi Yayasan Indonesia Cerah, organisasi nonprofit yang fokus mendorong transisi dari energi fosil ke energi bersih dan terbarukan.
4 November 2022 13:22 WIB
clock
Diperbarui 16 November 2022 14:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yayasan Indonesia Cerah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi. Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara membakar bahan bakar fosil untuk menghasilkan listrik. Foto: Bronswerk | Getty Images.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara membakar bahan bakar fosil untuk menghasilkan listrik. Foto: Bronswerk | Getty Images.
ADVERTISEMENT
Laporan Climate Transparency 2022 mencatat subsidi bahan bakar fosil negara-negara G20 mencapai rekor tertinggi pada tahun lalu, yakni US$ 64 miliar. Indonesia, bersama China dan Inggris, merupakan negara yang menggelontorkan subsidi fosil terbesar. Padahal, lonjakan subsidi ini justru akan menaikkan suhu bumi jauh di atas target 1,5 derajat celcius.
ADVERTISEMENT
Menurut Ipek Gencsu, peneliti senior Overseas Development Institute (ODI) dan Finance Lead Laporan Climate Transparency 2022, dana publik sektor energi negara G20 masih banyak yang dikucurkan untuk industri bahan bakar fosil, yakni mencapai 63% pada 2019-2020. Padahal pada tahun sebelumnya, G20 telah mengafirmasi kembali komitmen untuk mengurangi dan merasionalisasi subsidi fosil yang tidak efisiensi dalam jangka menengah.
"Namun menurut saya, kita saat ini sudah berada pada jangka menengah, dan jelas bahwa G20 telah gagal memenuhi janjinya, justru malah melanjutkan menggunakan dana publik untuk mendistorsi pasar yang menguntungkan bahan bakar fosil," kata dia dalam keterangan resmi.
Bahkan, Laporan Climate Transparency 2022 mencatat emisi sektor energi negara-negara G20 malah kembali naik 5,9% pada 2021, lebih tinggi dari level sebelum pandemi Covid-19. Bill Hare, CEO Climate Analytics, mengungkapkan bahwa G20 bertanggung jawab atas produksi dua pertiga emisi global. Namun, G20 juga merupakan negara dengan kemampuan keuangan dan teknologi yang bisa mengatasi krisis iklim.
ADVERTISEMENT
"Kita berada pada masa di mana kombinasi isu geopolitik dan ketahanan energi menekankan manfaat energi terbarukan yang murah, namun kita justru menyaksikan banyak negara beralih ke bahan bakar fosil sebagai solusinya," tutur dia.
Meski merupakan opsi yang mahal, beremisi tinggi, dan paling rentan ketahanan energinya, gas dan batu bara masih memperoleh dukungan tertinggi dari pemerintah. Bahkan pada tahun ini, subsidi energi fosil diperkirakan semakin menggelembung akibat krisis energi global.
Di Indonesia, sektor energi masih didominasi bahan bakar fosil, yakni mencapai 70% pada 2021, dan merupakan penghasil emisi terbesar, yaitu menyentuh 65% pada 2019. Namun, menurut Climate Transparency, dana subsidi bahan bakar fosil Indonesia justru menyentuh US$ 16 miliar pada 2020, yakni 45% untuk bahan bakar minyak, 24% untuk batu bara, dan 21% untuk listrik.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, kebijakan iklim Indonesia di sektor energi dinilai belum cukup untuk dapat menahan kenaikan rata-rata suhu bumi di bawah 1,5°C sebagaimana disepakati pada KTT COP 26 di Glasgow pada 2021. Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia yang menargetkan pemangkasan emisi 29% pada 2030, menurut Climate Transparency report, justru akan meningkatkan emisi hingga 421% dibanding pada 1990.
Revisi target pengurangan emisi menjadi 31,89% dalam Enhanced NDC 2022 juga dinilai tidak berdampak signifikan. Tercatat, tetap tercipta banyak ruang untuk peningkatan jumlah total emisi gas rumah kaca yang akan dihasilkan Indonesia pada 2030. Climate Action Tracker (CAT) kembali menilai rencana pengurangan emisi GRK Indonesia sangat tidak cukup dalam upaya global untuk atasi krisis iklim.
ADVERTISEMENT
Selain itu, meski sudah meneken kesepakatan untuk mengakhiri penggunaan PLTU secara bertahap hingga 2060 pada COP 26, Indonesia belum memiliki peta jalan yang jelas. Bahkan, Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 tetap mempertahankan kebergantungan pada PLTU dengan menambah kapasitasnya sebesar 13,8 gigawatt (GW).