Jangan Ada Nuklir di Antara (RUU EBT) Kita

Yayasan Indonesia Cerah
Akun resmi Yayasan Indonesia Cerah, organisasi nonprofit yang fokus mendorong transisi dari energi fosil ke energi bersih dan terbarukan.
Konten dari Pengguna
25 September 2020 9:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yayasan Indonesia Cerah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang saat ini dibahas di Komisi VII DPR RI sedang berada pada tahap Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Salah satu poin yang menjadi sorotan dan mengundang kontroversi adalah tentang pasal yang mengatur energi nuklir dan energi baru berbasis fosil yang semestinya tidak dimasukkan dalam RUU tersebut.
ADVERTISEMENT
Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Energi Bersih menyebutkan sejumlah alasan yang membuat penggunaan nuklir sebagai sumber energi untuk pembangkit listrik akan sangat berisiko bagi Indonesia. Secara geografis, Indonesia terletak di kawasan Cincin Api (Ring of Fire) yang sangat aktif secara tektonik sehingga rawan bencana gempa bumi dan tsunami.
“Secara geografis, Indonesia tidak ramah nuklir karena berada di Ring of Fire. Kondisi ini sangat berisiko dan berpotensi mengganggu operasional PLTN. Kita semestinya bisa belajar dari kasus PLTN Fukushima di Jepang.” kata Mahawira Singh Dillon, peneliti Yayasan Indonesia Cerah dalam diskusi media bertajuk “Urgensi Energi Bersih dalam RUU EBT” Rabu (23/9).
Masih terkait kondisi geografis, penyimpanan limbah pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) juga memerlukan lokasi yang stabil dan kedap air. Menurut Wira, akan sangat sulit dan berisiko untuk menentukan lokasi penyimpanan limbah nuklir di Indonesia. Perencanaan fasilitas penyimpanan limbah nuklir harus memperhatikan potensi terjadinya kebocoran karena aktivitas tektonik. Bila limbah nuklir sampai bocor ke dalam air tanah, dampaknya akan sangat berbahaya.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, memasukkan nuklir ke dalam RUU EBT merupakan langkah yang kontraproduktif dengan asas keberlanjutan, ketahanan energi nasional, serta asas kedaulatan dan kemandirian yang dicantumkan sebagai prinsip dasar penyusunan RUU ini. Hal ini terlihat jelas dari fakta bahwa Indonesia hanya memiliki pasokan uranium untuk mengoperasikan satu pembangkit dengan kapasitas 1.000 MWe selama enam hingga tujuh tahun. Wira menjelaskan, “Jika Indonesia masih bersikeras untuk menjadikan nuklir sebagai sumber energi baru, maka tidak akan lama sebelum kita malah bergantung pada impor uranium dari luar negeri.”
Alih-alih menggunakan sumber energi nuklir yang sangat berisiko dan bertentangan dengan prinsip keberlanjutan dan kemandirian, akan jauh lebih baik bagi Indonesia untuk memanfaatkan sumber energi terbarukan. Sebagaimana diketahui, sumber energi terbarukan seperti surya, angin, dan air Indonesia bukan hanya sangat melimpah, tetapi pembangunannya juga dapat diterapkan dari skala kecil hingga skala besar, dari daerah perkotaan hingga area terpencil, dan perkembangan teknologi yang membuat harga energi terbarukan semakin bersaing.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, dalam keterangan tertulis yang disampaikan Koalisi Masyarakat sebelumnya, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan bahwa pemerintah dan DPR seharusnya dapat mengantisipasi potensi ketergantungan teknologi dalam pengembangan PLTN. Selain biaya yang sangat mahal, pembangunan PLTN membutuhkan waktu lebih lama bila dibandingkan dengan pembangunan dan teknologi energi terbarukan.
“Ke depan, harga energi energi terbarukan semakin murah dan semakin cepat untuk dibangun, terutama dalam menggantikan kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dari batu bara yang juga harus segera ditutup,” kata Fabby dalam keterangan tertulis, Minggu (20/9).
Fabby menambahkan bahwa munculnya isu nuklir di dalam draf RUU EBT seharusnya menjadi perhatian Anggota DPR RI tentang kemungkinan adanya kepentingan segelintir orang yang mengemas nuklir sebagai solusi untuk menjawab ketahanan energi nasional.
ADVERTISEMENT
“Pembangunan PLTN memiliki sifat dan karakter yang berbeda dari energi terbarukan, serta risiko jangka panjang yang tidak selayaknya diwariskan kepada generasi yang akan datang,” Fabby menegaskan.
Dalam draf RUU per September 2020, sumber energi yang diatur adalah energi baru dan energi terbarukan. Sumber energi baru yang dimaksud adalah nuklir dan sumber energi baru lainnya dan pada bagian penjelasan disebutkan bahwa sumber energi baru lainnya melingkupi hidrogen, gas metana batu bara (coal bed methane), batu bara tercairkan (liquefied coal), dan batu bara tergaskan (gasified coal). Menanggapi hal ini, Koalisi Masyarakat mendesak DPR RI untuk mengeluarkan semua komponen energi baru dari draf yang ada agar pembahasan RUU dapat fokus pada energi terbaruk dan RUU tersebut dapat dinamakan kembali menjadi RUU Energi Terbarukan (ET).
ADVERTISEMENT