Penguatan Taksonomi Hijau Indonesia Dorong Transisi Energi Berkeadilan

Yayasan Indonesia Cerah
Akun resmi Yayasan Indonesia Cerah, organisasi nonprofit yang fokus mendorong transisi dari energi fosil ke energi bersih dan terbarukan.
Konten dari Pengguna
22 September 2022 10:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yayasan Indonesia Cerah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi. Seorang insinyur sedang memegang tablet di depan pembangkit listrik tenaga angin yang sedang menghasilkan listrik, konsep pembangunan keberlanjutan melalui energi alternatif. Foto: @arrow_smith2 | Freepik.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. Seorang insinyur sedang memegang tablet di depan pembangkit listrik tenaga angin yang sedang menghasilkan listrik, konsep pembangunan keberlanjutan melalui energi alternatif. Foto: @arrow_smith2 | Freepik.
ADVERTISEMENT
Sejumlah pihak menekankan perlunya penguatan Taksonomi Hijau Indonesia 1.0 dan adaptasi kriteria lingkungan dan sosial yang lebih tegas untuk mendorong transisi energi yang berkeadilan. Hal ini lantaran instrumen yang diluncurkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada awal tahun ini, masih mengkategorikan batu bara dan turunannya dalam klasifikasi kuning atau tidak berbahaya bagi lingkungan.
ADVERTISEMENT
Dalam Taksonomi Hijau Indonesia 1.0 kegiatan ekonomi ini diklasifikasikan dengan warna merah, kuning, dan hijau untuk menunjukkan dampaknya terhadap lingkungan. Penempatan batu bara dan turunannya dalam label kuning, menurut Program Manager dari Perkumpulan PRAKARSA Herni Ramdlaningrum, merupakan sebuah kompromi dan berpotensi menyesatkan.
“OJK harus mengambil posisi tegas terkait beberapa sektor yang masih dilabeli kuning karena akan kontra produktif dengan agenda transisi energinya,” kata dia dalam diskusi bertajuk “Taksonomi Hijau Indonesia dalam Mengakselerasi Pembiayaan Transisi Energi” yang digelar Yayasan Indonesia Cerah dan Koalisi ResponsiBank Indonesia, Kamis (15/9).
Apalagi, adanya Taksonomi Hijau ini diharapkan mampu mendorong Indonesia untuk mewujudkan komitmennya mencapai target nol emisi. Untuk itu, tambah Herni, OJK diharapkan memiliki timeframe yang jelas untuk memutuskan hal ini, dengan secara serius mempertimbangkan dimensi sosial.
ADVERTISEMENT
“Semoga saat ini, yang dikategorikan kuning (seperti batu bara) dapat berubah menjadi merah,” tegas Herni.
Hal yang sama diungkapkan Luthfyana Larasati, Analis Senior Climate Policy Initiative. Menurutnya, taksonomi hijau perlu memperkuat penentuan matriks sub-sektor dan ambang batas (threshold) dari pelabelannya. Hal ini perlu dilakukan agar Taksonomi Hijau benar-benar dapat sejalan dengan komitmen netral karbon.
“Dengan memperkuat konsolidasi dan sinkronisasi dari Taksonomi Hijau sehingga dapat menarik investasi di sektor hijau dan mengurangi biaya verifikasi dan uji tuntas (due diligence),” ujarnya.
Sementara itu, Istiana Maftuchah, OJK Secondee untuk Direktorat Lingkungan OECD, menjelaskan bahwa Taksonomi Hijau hadir sebagai pengembangan instrumen komponen ekosistem dalam sustainable finance. Tujuannya, untuk mengukur kemajuan implementasi keuangan berkelanjutan pada industri jasa keuangan.
ADVERTISEMENT
“Setelah adanya POJK, industri keuangan sudah mulai mengarah (pada sustainable finance), namun mayoritas baru pada level awareness dan capacity building,” kata Istiana.
Keberadaan instrumen keuangan hijau menjadi penting sebagai panduan dalam menunjukan kegiatan ekonomi mana saja yang berbahaya dan tidak. Pasalnya, kesadaran publik terhadap isu lingkungan dan aspek keberlanjutan semakin meningkat.