Konten dari Pengguna

Studi: Sekitar 230 ribu Orang Indonesia Meninggal Tiap Tahun Akibat Polusi Udara

Yayasan Indonesia Cerah
Akun resmi Yayasan Indonesia Cerah, organisasi nonprofit yang fokus mendorong transisi dari energi fosil ke energi bersih dan terbarukan.
23 Februari 2021 17:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Yayasan Indonesia Cerah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Penelitian terbaru Universitas Harvard yang bekerja sama dengan Universitas Birmingham, Universitas Leicester, dan Universitas College London memperkirakan ada lebih dari 8 juta orang meninggal dunia pada 2018 akibat polusi bahan bakar fosil.
ADVERTISEMENT
Angka tersebut, menurut peneliti, jauh lebih tinggi dari yang diperkirakan dalam penelitian sebelumnya. Artinya, saat ini polusi udara dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara dan diesel bertanggung jawab atas sekitar 1 dari 5 kematian di seluruh dunia.
Penelitian yang baru saja diterbitkan dalam jurnal Environmental Research ini mendapati bahwa wilayah-wilayah dengan konsentrasi polusi udara terkait bahan bakar fosil tertinggi seperti kawasan Timur Utara Amerika, Eropa, dan Asia Tenggara, memiliki tingkat kematian paling tinggi.
Di Indonesia, para peneliti memperkirakan sekitar 230.097 orang berusia di atas 14 tahun meninggal tiap tahun akibat konsentrasi PM2.5 pada polusi udara yang berasal dari penggunaan bahan bakar fosil. Angka tersebut mewakili 15,4% dari total 1.495.066 kematian tahunan orang-orang yang berusia di atas 14 tahun di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Studi di Indonesia itu menggunakan data polusi udara tahun 2012 karena kala itu El Niño berada dalam fase netral, yang artinya tidak mempengaruhi tingkat polusi udara saat itu.
Peneliti menjelaskan, kondisi meteorologi global dapat mempengaruhi perkiraan polusi udara, khususnya pola cuaca El Niño yang dapat memperburuk atau meningkatkan polusi udara. Namun untuk China, peneliti menggunakan data dari 2018 karena di sana telah terjadi pengurangan besar-besaran terhadap polusi bahan bakar fosil setelah tahun 2012.
Para peneliti Harvard yang sebelumnya menggunakan pengamatan satelit, kini beralih ke GEOS-Chem, sebuah model kimia atmosfer 3-D global yang dipimpin oleh Daniel Jacob, Profesor Vasco McCoy famili untuk Kimia Atmosfer dan Teknik Lingkungan di SEAS.
ADVERTISEMENT
Studi menggunakan GEOS- Chem ini untuk memodelkan dampak kesehatan dari materi partikulat, dan hasilnya telah divalidasi terhadap pengamatan permukaan, pesawat, dan ruang angkasa di seluruh dunia.
Untuk model global, GEOS-Chem memiliki resolusi spasial yang tinggi, yang berarti para peneliti dapat membagi bumi menjadi kisi-kisi dengan kotak sekecil 50 km x 60 km dan melihat tingkat polusi di setiap kotak satu per satu.
“Kami ingin memetakan di mana polusi itu dan di mana orang-orang tinggal, sehingga kami dapat mengetahui lebih banyak dengan tepat apa yang orang-orang hirup saat bernapas,” kata Karn Vohra, mahasiswa pascasarjana di University of Birmingham dan penulis utama dari penelitian ini.
Untuk memodelkan PM2.5 yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, para peneliti menghubungkan ke GEOS-Chem untuk perkiraan emisi dari berbagai sektor, termasuk listrik, industri, kapal, pesawat, transportasi darat, dan simulasi kimia oksidan- aerosol secara rinci yang digerakkan oleh meteorologi dari Kantor Pemodelan dan Asimilasi Global NASA.
ADVERTISEMENT
Begitu mereka memiliki konsentrasi PM 2.5 dari bahan bakar fosil luar ruangan PM2.5 untuk setiap kotak kisi, para peneliti mencari tahu bagaimana tingkat tersebut berdampak pada kesehatan manusia.
Model baru inilah yang kemudian menemukan tingkat kematian yang lebih tinggi untuk paparan jangka panjang terhadap emisi bahan bakar fosil, sekalipun pada konsentrasi yang rendah.
Para peneliti menemukan bahwa secara global, paparan materi partikulat dari emisi bahan bakar fosil menyumbang 21,5% dari total kematian pada 2012, dan turun menjadi 18% pada 2018 karena pengetatan langkah-langkah kualitas udara di China.
“Seringkali, ketika kita membahas bahaya pembakaran bahan bakar fosil itu dalam konteks CO2 dan perubahan iklim, dan mengabaikan potensi dampak kesehatan dari polutan yang dipancarkan bersama gas rumah kaca,” kata Schwartz.
ADVERTISEMENT
“Kami berharap dengan mengukur konsekuensi kesehatan dari pembakaran bahan bakar fosil ini, kami dapat mengirimkan pesan yang jelas kepada pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan tentang manfaat transisi ke sumber energi alternatif,” imbuhnya.
“Studi kami yang terbaru ini menambah bukti yang semakin banyak bahwa polusi udara dari ketergantungan yang terus-menerus pada bahan bakar fosil sangat merusak kesehatan global,” kata Marais.