Konten dari Pengguna

Tantangan Representasi Anak Muda: Antara Potensi dan Realitas

Muhammad Adnan Maghribbi
Peneliti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi
15 September 2023 14:15 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Adnan Maghribbi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Demo mahasiswa tolak harga BBM di Patung Kuda, Jakarta, Kamis (15/9/2022). Foto: Fadlan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Demo mahasiswa tolak harga BBM di Patung Kuda, Jakarta, Kamis (15/9/2022). Foto: Fadlan/kumparan
ADVERTISEMENT
Di Indonesia anak muda memiliki potensi besar untuk memainkan peran penting sebagai penentu, khususnya pada Pemilu 2024. Dengan jumlah pemilih yang signifikan, suara anak muda akan sangat menentukan.
ADVERTISEMENT
Namun berkaca pada beberapa pemilu sebelumnya, peran mereka dalam proses politik seringkali dikecilkan. Sehingga hasil pemilu belum sepenuhnya mencerminkan jumlah dan kepentingan mereka. Jargon “pro pemilih muda” lebih banyak dijadikan gimmick politik untuk mengeruk suara daripada diwujudkan dalam kebijakan.
Data pemilu terakhir (2019) mengungkapkan bahwa pemilih muda, yang berusia antara 17 hingga 40 tahun menyumbang sekitar 54,38 persen dari total pemilih. Angka ini menunjukkan bahwa suara anak muda memiliki potensi besar dalam membentuk hasil pemilu dan kebijakan yang dihasilkan dari pemilihan tersebut.
Survei yang dilakukan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) tahun 2022 juga menunjukkan bahwa partisipasi pemilih muda berada di angka 91,3 persen pada pemilu 2019, meningkat dibandingkan pemilu 2014 (85,9 persen). Artinya sebagian besar anak muda menggunakan hak pilihnya pada pemilu 2019 lalu.
Sumber: Survei Pemilih Muda CSIS (2022)
Meski demikian, angka tersebut tidak sepenuhnya tercermin dalam jumlah wakil anak muda di parlemen. Pada pemilu 2019 di mana pemilih muda memiliki jumlah yang signifikan, faktanya hanya ada 19,36 persen caleg yang berusia muda (17-40 tahun).
ADVERTISEMENT
Artinya, dari sisi kepesertaan pemilu sebagai calon legislatif saja, ada defisit yang cukup besar. Kemudian anak muda yang berhasil lolos di parlemen hanya sekitar 16,52 persen. Sementara itu, anggota parlemen terpilih didominasi oleh kelompok usia 41-60 tahun (66,78 persen) dan kelompok usia diatas 60 tahun (16,70 persen).
Lalu bagaimana dengan pemilu 2024 nanti? Apakah anak muda dapat mencapai representasi yang lebih baik?
Sumber: diolah Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (2023)
Masuk parlemen bagi anak muda tidaklah gampang. Tantangan dalam mewujudkan representasi yang sebanding di parlemen masih panjang. Mengutip laporan Inter-Parliamentary Union (IPU) pada 2016, ada tiga alasan mengapa anak muda mengalami kesulitan untuk masuk parlemen.
Pertama, batas usia minimum sebagai kandidat seringkali lebih tinggi daripada batas usia minimum pemilih. Di Indonesia misalnya, dalam UU Pemilu batas minimum usia caleg adalah 21 tahun, sedangkan batas minimum usia pemilih adalah 17 tahun.
ADVERTISEMENT
Kedua, keinginan anak muda untuk bergabung dengan partai politik masih rendah. Hal ini diperkuat temuan survei CSIS tahun 2022 yang mendapati bahwa hampir 15 persen responden ingin mencalonkan diri sebagai caleg/kepala daerah.
Namun hanya 1,1 persen responden yang menjadi anggota partai ataupun sayap partai. Alasan ketiga, partai politik cenderung memprioritaskan anggota parlemen/kader yang berpengalaman daripada anak muda yang sering dicap “anak kemarin sore”.
Selain tiga alasan di atas, sistem pemilu yang digunakan saat ini juga perlu disoroti. Sistem pemilu proporsional terbuka dengan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 4 persen dan daerah pemilihan (dapil) yang besar cenderung menguntungkan partai-partai besar dan caleg-caleg bermodal.
Sistem ini juga menyulitkan pemilih untuk mengenal caleg secara lebih dekat dan memilih berdasarkan kualitas individu. Sementara caleg muda cenderung tidak memiliki sumber daya yang kuat dibandingkan caleg yang lebih tua atau bahkan incumbent.
ADVERTISEMENT

Pentingkah Mendorong Representasi Anak Muda?

Ilustrasi Partai Peserta Pemilu Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Minimnya representasi anak muda di parlemen dapat berdampak pada produk kebijakan yang dihasilkan. Perbedaan preferensi anak muda dan generasi diatasnya dapat menghambat anak muda memperjuangkan agenda kebijakan yang relevan dengan kebutuhannya.
Survei Indikator (2023) menunjukkan perbedaan preferensi isu antara kelompok pemilih muda dan kelompok pemilih yang lebih tua. Kelompok pemilih yang lebih tua cenderung memprioritaskan isu seperti pengendalian harga kebutuhan pokok, mengurangi kemiskinan, dan memajukan sektor pertanian. Isu-isu ini mencerminkan perhatian mereka terhadap stabilitas ekonomi dan kesejahteraan.
Di sisi lain, kelompok pemilih muda menekankan pentingnya isu-isu seperti menciptakan lapangan pekerjaan, pemberantasan korupsi, dan kemanan/ketertiban. Isu-isu ini mencerminkan keprihatinan anak muda terhadap tantangan sosial dan ekonomi yang mereka hadapi, serta aspirasi untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Dalam konteks ini, dapat tergambar bagaimana pentingnya mendorong lebih banyak keterwakilan anak muda di parlemen 2024.
Sumber: Survei Indikator (2023)
Dengan memiliki lebih banyak perwakilan anak muda di parlemen, kita dapat memastikan bahwa isu-isu krusial bagi anak muda mendapatkan perhatian yang sebanding. Keterwakilan yang lebih kuat akan memungkinkan suara anak muda didengar dalam pembuatan kebijakan yang lebih relevan dengan kebutuhan mereka.
ADVERTISEMENT
Tanpa bermaksud mendiskreditkan keterwakilan orang tua, harus diakui anak muda memiliki pandangan yang lebih segar dan inovatif yang dapat berkontribusi dalam merumuskan solusi atas tantangan kompleksitas zaman.

Bukan Sekadar Menggenjot Jumlah Kursi

Rapat paripurna DPR RI di Ruang Paripurna, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (19/5). Foto: Zamachsyari/kumparan
Meningkatkan representasi anak muda dalam politik bukanlah hanya tentang mencapai jumlah wakil yang memadai, tetapi juga tentang memastikan bahwa suara mereka didengar dan direspons dengan serius. Mendorong partisipasi anak muda dalam ruang politik formal adalah langkah penting untuk memastikan kepentingan mereka diakui dan diperjuangkan dengan baik.
Partisipasi dan representasi anak muda dalam politik adalah investasi dalam masa depan. Suara anak muda adalah suara perubahan dan inovasi. Sudah semestinya pemilu 2024 digunakan oleh partai politik dan institusi lainnya untuk bersama-sama menciptakan ekosistem yang mendukung dan mendorong keterlibatan generasi muda.
ADVERTISEMENT
Hanya dengan demikian anak muda dapat merasa bahwa suaranya diperhitungkan dan masa depan mereka memiliki tempat di meja kebijakan. Bukan sekadar dijadikan “basa-basi” tanpa dampak politik yang signifikan.