Konten dari Pengguna

Gen Z Tidak Mampu Beli Rumah?

Adrian Muhammad Rafi
Mahasiswa Polstat STIS
8 Januari 2025 19:01 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adrian Muhammad Rafi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Gen Z Susah Punya Rumah. Foto : Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Gen Z Susah Punya Rumah. Foto : Freepik
ADVERTISEMENT
Polemik akan kepemilikan rumah yang diperbincangkan di ranah cuitan media sosial para generasi muda kian memanas. Pasalnya, terdapat banyak kerisauan terkait kesulitan mendapatkan rumah bagi kalangan gen Z yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Hasil sensus penduduk 2020 yang dirilis oleh BPS mengungkapkan bahwa jumlah gen Z di Indonesia mencapai 71,50 juta jiwa, atau setara dengan 26,46% dari total populasi. Selain itu, survei perusahaan teknologi real estate 99 group pada 2023 menunjukkan bahwa 64,6% gen Z berencana membeli properti untuk tempat tinggal.
ADVERTISEMENT
Dari survei tersebut, didapatkan bahwa sebagian besar kalangan gen Z tertarik untuk membeli rumah. Apakah hal ini memungkinkan di era sekarang ini? Dilansir dari data BPS, persentase rumah tangga yang memiliki rumah milik sendiri meningkat sebesar 4,85% dari 80,10% pada tahun 2020 menjadi 84,95% pada tahun 2024. Meskipun data tersebut menunjukkan tren peningkatan kepemilikan rumah, cuitan panas para gen Z di media sosial berkata sebaliknya.
Terdapat beberapa alasan mengapa gen Z merasa sulit untuk memperoleh rumah di era kini. Pertama, harga rumah yang kian terus naik setiap tahunnya lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan upah pekerja. Kedua, biaya hidup yang terus meningkat dari sisi kebutuhan dasar seperti makanan, transportasi, dan kesehatan mengakibatkan minimnya perhatian terhadap alokasi dana untuk membeli rumah. Ketiga, kenaikan upah yang diterima masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan kebutuhan hidup dan inflasi. Terakhir, persyaratan akan kredit pemilikan rumah yang semakin ketat serta suku bunga yang lebih tinggi untuk mendapatkan kredit tersebut.
ADVERTISEMENT
Saat kita melihat iklan-iklan jual beli rumah di media sosial, kita seringkali terbelalak dengan harga yang dicantumkan. Nominal untuk mendapatkan suatu hunian rumah dapat dibilang cukup fantastis, semakin strategis wilayah tersebut, maka semakin tinggi harga yang ditawarkan.
Setiap tahun, harga rumah memang semakin naik, pernyataan tersebut didukung oleh Indeks harga properti perumahan yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik. Pada maret 2024, harga rumah meningkat sebesar 2,76 persen dibandingkan Maret 2023. Sementara pada Maret 2023, terjadi peningkatan sebesar 2,97 persen dibanding Maret 2022.
Tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup baik dari segi makanan, pakaian, transportasi, kesehatan, dan lain sebagianya juga semakin besar. Dapat kita ketahui dari Profil Statistik Kesehatan 2023 yang dirilis oleh BPS, rata-rata pengeluaran untuk makanan per orang untuk setiap bulannya pada tahun 2021 adalah Rp622.845, pada tahun 2022 Rp665.757, dan terus meningkat pada tahun 2023 menjadi Rp711.282. Pengeluaran untuk kebutuhan lainnya seperti yang disebutkan di atas juga bertambah seiring bergantinya tahun, dengan grafik peningkatan pengeluaran per orang per bulannya dapat dilihat dari grafik berikut:
ADVERTISEMENT
Grafik Rata-Rata Pengeluaran per Orang per Bulan. Sumber : www.bps.go.id
Kenaikan pengeluaran yang tidak setara dengan pendapatan akan mengurangi porsi yang dikeluarkan oleh penduduk termasuk gen Z yang ingin membeli rumah. Gen Z cenderung berfokus untuk memenuhi kebutuhan yang lebih primer seperti konsumsi makanan sehari-hari dibandingkan menabung untuk membeli rumah yang harganya semakin tidak rasional.
Kondisi ini diperparah dengan tingginya tingkat pengangguran di kalangan gen Z. Berdasarkan data BPS per Agustus 2024, 7 dari 10 pengangguran di Indonesia merupakan gen Z dengan jumlah mencapai 7.465.599 orang. Dari angka tersebut, kelompok usia 20-24 tahun menyumbang proporsi terbesar, yakni sebesar 48,14%. Memang sangat memprihatinkan, mengingat masih banyak dari mereka yang dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari saja masih belum mampu karena ketiadaan pendapatan. Ketika kalangan gen Z nantinya pun berhasil mendapatkan pekerjaan, tidak serta merta mampu memperbaiki kondisi finansial mereka. Indonesia Millenial Gen Z Report (IMGR) 2024 melaporkan bahwa lebih dari 80% pendapatan gen Z masih berada di bawah UMP DKI Jakarta. Di sisi lain, kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) untuk tahun 2024 yang diatur dalam diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 dimana hanya berkisar antara 2% hingga 4% tetap tidak sebanding dengan inflasi dan lonjakan biaya hidup yang terus meningkat. Dengan kenaikan UMP yang relatif rendah dan inflasi yang terus ada, gen Z menghadapi tantangan besar untuk mewujudkan mimpi dan harapan dalam membeli rumah.
ADVERTISEMENT
Persoalan terkait sulitnya mendapatkan akses kredit perumahan menjadi hambatan besar lainnya bagi gen Z untuk dapat memiliki rumah. Meskipun ada berbagai program bantuan yang ditawarkan oleh pemerintah, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa hanya sekitar 30% dari pekerja muda yang memenuhi syarat untuk mendapatkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Rendahnya akses ini disebabkan utamanya oleh perbandingan rasio tabungan yang terlampau rendah dibanding pengeluaran mereka. Banyak gen Z terjebak dalam siklus pengeluaran tinggi akibat biaya hidup yang meningkat, seperti pendidikan dan kebutuhan sehari-hari, sehingga menyulitkan mereka untuk menabung. Selain itu, akibat tingginya pengangguran, banyak dari mereka yang terpaksa bekerja di sektor gig economy, dimana sering kali tidak memberikan stabilitas pendapatan. Hal ini tentunya membuat mereka kesulitan dalam memenuhi syarat pengajuan KPR yang biasanya memerlukan bukti pendapatan tetap.
ADVERTISEMENT
Catatan kredit yang kurang baik juga seringkali menjadi batu sandungan utama bagi gen Z dalam mengajukan KPR. Menurut Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Frederica Widyasari Dewi, banyak dari mereka terjebak dalam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) akibat penggunaan produk keuangan seperti pay later, kartu kredit, dan pinjaman online (pinjol), baik yang legal maupun ilegal. Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) melaporkan bahwa sebesar 40% pengajuan ditolak karena calon nasabah pernah menunggak utang di pinjol. Pada akhirnya, para gen Z ini terpaksa harus mengubur dalam-dalam mimpi mereka untuk dapat memiliki rumah.
Permasalahan peminjaman uang dan sulitnya mengakses kredit perumahan yang menimpa gen Z semakin diperparah oleh tingginya suku bunga di berbagai lembaga perbankan. Hal ini disebabkan karena suku bunga acuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Suku bunga acuan ini menjadi referensi oleh lembaga keuangan di seluruh Indonesia sebagai dasar dalam menetapkan tingkat suku bunga yang diberikan kepada nasabah, baik untuk pinjaman maupun tabungan. Suku bunga acuan ini dikenal dengan sebutan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) dan telah ditetapkan oleh Bank Indonesia sejak 19 Agustus 2016. Istilah tersebut berubah menjadi BI-Rate mulai dari 21 Desember 2023 guna memperkuat komunikasi kebijakan moneter. Dilansir dari publikasi resmi Bank Indonesia, data BI-rate mengalami peningkatan sebesar 2,25% dari 3,75% pada tahun 2020 menjadi 6% pada tahun 2024.
ADVERTISEMENT
Permasalahan suku bunga ini berdampak pada meningkatnya biaya pinjaman. Biaya pinjaman yang tinggi mengakibatkan cicilan bulanan menjadi semakin mahal. Hal ini membuat banyak calon pembeli rumah, khususnya dari kalangan gen Z, kesulitan memenuhi persyaratan keuangan untuk mendapatkan pinjaman.
Harga rumah yang tinggi, biaya hidup yang tinggi, upah yang tidak signifikan, persyaratan akan kredit pemilikan rumah yang ketat, serta suku bunga yang lebih tinggi menjadi alasan utama gen Z gelisah untuk membeli rumah. Bagi gen Z yang sedang merintis karier dengan pendapatan yang belum stabil, semua kondisi tersebut menjadi tantangan besar untuk mewujudkan impian memiliki rumah sendiri.