Konten dari Pengguna

HAM Menurut Perspektif Islam

Mutiara Adriana Putri
Nama saya Mutiara Adriana Putri, lahir di kota Depok jawa barat, pada tanggal 29 September 2004. Saya adalah seorang mahasiswi semester 4 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syari'ah dan Hukum Program Studi Hukum Pidana Islam.
3 Januari 2023 14:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mutiara Adriana Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi by : www.pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi by : www.pixabay.com
ADVERTISEMENT
Hak asasi manusia pada dasarnya memiliki dasar dan pemahaman yang universal di setiap negara di dunia. Namun, bagaimana dengan perspektif Islam sendiri tentang HAM?
ADVERTISEMENT
Menurut Anas Urbaningrum, Islam telah berbicara tentang hak asasi manusia atau yang lebih dikenal sekarang dengan HAM sejak empat belas abad yang lalu, hal ini memberikan kepastian bahwa pemahaman tentang hak asasi manusia yang khas Islam sebenarnya sudah ada sebelum deklarasi universal hak asasi manusia oleh Amerika Serikat. Pada tanggal 18 Syafar 1369 Hijriyah atau bersamaan dengan tanggal 10 Desember 1948 Masehi. (Anas, 2004; 91). Pada tanggal 5 Agustus 1990, umat Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) mengeluarkan pernyataan tentang HAM dari perspektif Islam. Juga dikenal sebagai "Deklarasi Kairo", Deklarasi tersebut menetapkan prinsip dan ketentuan tentang hak asasi manusia berdasarkan Syariah (Azra).
Piagam Madinah dibuat ketika Nabi Muhammad hijrah ke kota Madinah. Piagam Madinah antara lain memuat pengakuan dan penegasan bahwa semua golongan di kota Nabi, baik Yahudi, Nasrani, maupun Muslim itu sendiri, adalah satu bangsa (Idris, 2004:102). Karena semua pihak sepakat untuk bekerja sama sebagai satu bangsa, maka piagam tersebut berisi pengakuan hak asasi manusia bagi setiap pihak yang menyetujui piagam tersebut. Kita dapat melihat secara langsung bahwa dalam Piagam Madinah HAM diakui oleh Islam.
ADVERTISEMENT
Dalam Islam, hak mengacu pada hak asasi manusia, yang memiliki hubungan antara Tuhan sebagai pencipta dan manusia. Dalam Islam sendiri, manusia memiliki hak-hak yang patut diperoleh, antara lain hak untuk hidup, hak kebebasan, hak mengeluarkan pendapat, hak berorganisasi dan hak menjalankan keyakinan agamanya. HAM dalam Islam diatur secara komprehensif dan mendalam. Hak-hak tersebut dilindungi dan dihormati dengan jaminan-jaminan yang mendukung penerimaan hak asasi manusia.
Bahkan Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam adalah salah satu tokoh revolusioner dan pejuang HAM yang paling gigih seantero jagat raya. Dia tidak hanya membawa seperangkat deklarasi hak asasi manusia dari Kitab Suci (Al-Qur'an), tetapi dia juga memperjuangkannya dengan pengorbanan dan keikhlasan yang besar. Salah satu kegigihan Nabi dalam memperjuangkan hak asasi manusia adalah dalam pemurnian ajaran dan adat istiadat pada masanya, yaitu tradisi masyarakat Arab Jahiliyah di Mekkah yang sangat menentang konsep hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
Pada awalnya, hak asasi manusia didefinisikan sebagai konsep hukum dan normatif bahwa manusia memiliki hak yang melekat karena mereka adalah manusia. Hak asasi manusia berlaku di mana saja, selalu, dan untuk semua orang, sehingga bersifat universal. Hak asasi manusia pada prinsipnya tidak dapat dicabut, tidak dapat dipisahkan, saling terkait dan saling tergantung. Hak asasi manusia biasanya dikaitkan dengan negara, yaitu negara berkewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia, termasuk dengan mencegah dan mengawasi pelanggaran yang dilakukan oleh sektor swasta.
Mengidentifikasi ayat-ayat HAM dengan lafal yang mengacu pada harta manusia atau martabat manusia merupakan salah satu cara untuk menemukan konsep HAM dalam al-Qur’an. Salah satu ayat yang dapat menunjukkan pentingnya hak asasi manusia adalah ayat yang berbicara tentang hak untuk hidup dan membiarkan hidup, seperti dalam Q.S Al-An'am ayat 151:
ADVERTISEMENT
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ ۖ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۖ وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ مِنْ إِمْلَاقٍ ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ ۖ وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ ۖ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Artinya: “Katakanlah (Muhammad) Biarlah aku membaca apa yang diharamkan Allah. Jangan mempersekutukan-Nya, berbuat baiklah kepada kedua orang tuamu, jangan bunuh anak-anakmu karena mereka miskin. Kamilah yang memberi rezeki dan kepada mereka; janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang kelihatan maupun yang tersembunyi, janganlah kamu membunuh orang-orang yang diharamkan oleh Allah."
Setiap manusia berhak untuk memiliki, menikmati dan mengalihkan harta, tetapi wajib mewariskan hartanya. Oleh karena itu, Islam mengatur hukum waris dan menciptakan dasar bagi perpindahan harta. Sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nisa ayat 11:
ADVERTISEMENT
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Artinya: “Allah memerintahkan kepadamu tentang pembagian harta warisan untuk anak-anakmu, yaitu bagian laki-laki sama dengan bagian perempuan; jika ada lebih dari dua wanita, maka bagi mereka dua pertiga dari harta peninggalan yang meninggal; jika satu anak perempuan seseorang, maka mendapat setengah harta, untuk ibu bapaknya masing-masing seperenam, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika ia tidak mempunyai anak dan ia diwariskan oleh ibu bapaknya, maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal mempunyai saudara perempuan, ibu mendapat seperenam. Pembagian ini telah dipenuhi dengan wasiat dan setelah hutang dibayar. Itu adalah ketetapan dari Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, dan Maha Bijaksana."
ADVERTISEMENT
Seperti yang dipaparkan Ishomudin pada seminar nasional HAM BEM UMM senin (17/12), Ishomudin memaparkan bahwa, HAM pada setiap individu bersumber pada hati masing-masing. Saat hati tidak merasa puas akan apa yang terjadi, khususnya pada fisik manusia, maka hal itu diungkapkan sebagai pelanggaran HAM.
“Manusia itu lupa, bahwa mereka sejak diciptakan telah dianugerahi sifat selalu ingin memuaskan diri dan tamak. Sifat tersebut akan menjadi liar jika tidak dikendalikan oleh logika,” kata Ishomudin.
Islam sendiri secara utuh telah mengajarkan bagaimana menerapkan HAM dalam kehidupan sehari-hari. Keberadaan perbedaan yang kemudian dihargai adalah bentuk ditegakkannya HAM.
Tidak sampai di situ saja, Ishomudin juga memaparkan bahwa penegakkan HAM dapat dimulai dengan memutuskan dan memusnahkan hal-hal yang tidak sesuai dengan norma dalam kehidupan bersosial, yang membawa keburukan bagi kehidupan sosial.
ADVERTISEMENT
“Menghargai perbedaan dan memerangi yang zalim sebenarnya adalah hal yang mudah untuk dilakukan oleh setiap umat sebagai seorang individu,” tutup Ishomudin dalam pemaparannya.
Dapat disimpulkan bahwa, pandangan HAM dalam Islam mengenai HAM mengarah pada hak-hak yang diberikan Allah sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. HAM dalam perspektif Islam menganut pandangan yang bersifat religius (ketuhanan).
Islam adalah agama yang sempurna dan menyempurnakan, telah membahas hak asasi manusia baik dari ayat Al-Qur'an, juga sejak zaman Nabi Muhammad SAW, maka sudah seharusnya kita menyadari bahwa Islam adalah agama yang baik dan benar.