Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Angklung Indonesia, Bislama, dan Kava: Ini Diplomasi!
26 Maret 2019 22:49 WIB
Diperbarui 15 April 2019 14:05 WIB
Tulisan dari Adriani Kusumawardani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
10 Hari Jelajahi Port Vila untuk Workshop Angklung Indonesia
Mengunjungi Saung Angklung Udjo-‘laboratorium’ seni dan pusat belajar untuk kebudayaan Sunda, khususnya angklung di bumi Parahyangan-Bandung akhir pekan lalu, mengingatkan kembali akan tugas yang harus saya laksanakan di negara kecil yang menjadi salah satu wilayah rangkapan akreditasi Kedutaan Besar Republik Indonesia di Australia, yaitu Vanuatu.
ADVERTISEMENT
Seperti menggunakan mesin waktu, hanya dengan penerbangan singkat 3 jam 15 menit dari Sydney-Australia menuju Port Vila-Vanuatu, telah membawa antusiasme saya dan Sam dari Saung Udjo Bandung, Jawa Barat, untuk memperkenalkan angklung Indonesia. Mulai dari cara membuat alat musik tradisional dari bambu hingga melatih memainkan instrumen musik khas Indonesia ini kepada para pelajar di Vanuatu.
Dari jendela pesawat, tampak gugusan pulau-pulau Vanuatu dengan sinar matahari terik hampir sepanjang tahun. Garis pantai yang jernih biru dengan lanskap gunung berapi. Vanuatu mengingatkan saya dengan keindahan alam Indonesia Raya bagian timur.
Port Vila adalah ibu kota Vanuatu yang merupakan kota terbesar dan paling ramai. Port Vila cukup padat dan diselimuti serangkaian laguna, garis pantai yang cantik, toko-toko cinderamata, pasar tradisional, serta restoran tepi laut dan kafe dengan pengaruh Prancis yang masih melekat kental.
Begitu mendarat di Port Vila, satu kata terlintas di benak saya: “santai”. Serasa berlibur, meskipun perjalanan ke Vanuatu pada saat itu ada misi budaya yang harus direalisasikan, yakni mengajar angklung untuk komunitas seni anak muda Vanuatu di Port Vila. Sembari membaca brosur wisata yang sempat saya ambil dari rak di bandara tentang berbagai budaya yang kaya dan otentik, seperti imaji dari buku cerita anak-anak, Efate adalah pulau impian dengan wisata pantainya, petualangan hutan hujan tropis, dan lingkungan yang berlimpah budaya lokal dengan keindahan alam murni yang belum terkontaminasi industri skala besar.
ADVERTISEMENT
Vanuatu adalah surga bagi para fotografer yang siap menangkap gambar-gambar alam yang menakjubkan dan wajah penduduk lokal yang masih ‘asli’ dalam keseharian yang sangat sederhana.
Indonesia dan Vanuatu: Tak Kenal maka Tak Sayang
Indonesia merupakan salah satu negara pertama yang mengakui kemerdekaan Vanuatu pada tahun 1980. Sedangkan hubungan diplomatik RI-Vanuatu baru terjalin setelah ditandatangani persetujuan pembukaan hubungan diplomatik pada tahun 1995. Dengan SK Menlu No. SK. 102/OT/VII/96/01 tanggal 10 Juli tahun 1996, Republik Vanuatu ditetapkan sebagai wilayah kerja rangkapan KBRI Canberra.
Setelah penyerahan surat-surat kepercayaan kepada Pemerintah Vanuatu tanggal 12 Desember 1996, Dubes S. Wiryono menjadi Duta Besar RI pertama untuk Republik Vanuatu berkedudukan di Canberra; sedangkan Vanuatu menunjuk Wakil Tetapnya di New York mewakili Vanuatu untuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pergeseran sifat geo-politik, penguatan, dan perluasan bidang kerja sama antara Indonesia dan Vanuatu, mengindikasikan signal positif dalam perkembangan regionalisme di Pasifik Selatan. Dalam kaitan ini, bergabungnya Indonesia dalam Melanesian Sparehead Group (MSG) merupakan tonggak penting untuk menguatkan presensi Indonesia di kawasan Pasifik Selatan.
Di sisi yang lain, Indonesia mendayagunakan secara optimal keanggotaannya untuk berbagai kepentingan yang tidak saja bersifat politis, namun juga ekonomi dan kultural. Indonesia juga mempertimbangkan posisi geo-kultural sebagai bagian dari Pasifik untuk berperan asertif dalam mengembangkan berbagai kerja sama dengan negara-negara Pasifik, termasuk Vanuatu.
Melalui Development Cooperation Agreement yang salah satu pasalnya memuat dukungan atas kedaulatan wilayah masing-masing dan komitmen pemerintah untuk tidak memberikan dukungan bagi kegiatan separatis, telah disepakati oleh Vanuatu dan Indonesia untuk lebih meningkatkan kerja sama di berbagai bidang.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia dan Vanuatu juga telah sepakat untuk perjanjian Indonesia-Vanuatu Bilateral Investment Promotion demi mengembangkan investasi. Di bidang perdagangan, Indonesia mengalami surplus perdagangan dengan Vanuatu dalam lima tahun terakhir. Produk yang diekspor Indonesia ke Vanuatu antara lain berbagai produk rumah tangga, makanan, minuman, plastik, karet, kulit, baju, dan elektronik.
Menyimak Budaya, Rasa, Bislama, dan Ni-Vanuatu: “Mi Glad Tumas” (Bislama: ‘saya sangat senang’)
Bercengkrama dengan komunitas seni anak-anak muda Vanuatu di Port Vila menjanjikan harapan untuk hubungan bilateral Indonesia-Vanuatu yang semakin baik. Tanpa harus menyentuh ‘souvereignty’ dan isu separatisme, fokus hanya untuk budaya dan seni. Indonesia membawa angklung untuk mempererat ‘persaudaraan Melanesia’ melalui lagu dan kecintaan akan musik tradisional dari bambu.
ADVERTISEMENT
Bukan hal mudah untuk mengajarkan suatu hal baru di negara yang hubungan politisnya ‘terdistraksi’ dengan masalah Papua. Meskipun ternyata, tak semua masyarakatnya paham benar apa yang terjadi di kalangan elit politik Vanuatu.
Bertekad membaur dan membangun kepercayaan dengan 20 pemuda komunitas seni inilah yang akhirnya membuat saya harus segera memahami dan ‘membaca’ arah keinginan mereka. Mengambil hati dengan menggunakan bahasa lokal Ni-Vanuatu—sebutan untuk penduduk asli Vanuatu di Port Vila, Bahasa Bislama dikenal sebagai bahasa ‘broken English’.
Sejarahnya, ketika orang Eropa tiba, lingua franca berevolusi. Bislama berasal dari Beche-de-mer (teripang) yang oleh para pedagang dikembangkan ke dalam bahasa Inggris Pidgin sebagai bentuk bahasa Inggris fonetis yang disederhanakan dan dipengaruhi bahasa Spanyol dan Prancis sehari-hari. Hapalan pertama yang saya pelajari untuk menyapa mereka adalah: Olsem Wanem?—apa kabar?; Gud, tangkiu – baik, terima kasih; Wanem nem blong yu?—siapa namamu?; Nem blong mi Adriani–nama saya Adriani; dan Gud mitim yu—senang bertemu Anda.
ADVERTISEMENT
Ternyata adaptasi budaya tak hanya berlaku untuk mereka, tapi juga saya dengan makanan khas lokal Vanuatu. Kata Bislama untuk makanan adalah Kaekae. Mencicipi kaekae pemberian masyarakat lokal di Port Vila seperti Tuluk - daging sapi cincang dibumbui dengan rempah-rempah dan bayam lokal, ditemani singkong parut dan dikukus dalam lubang tanah yang ditimbun batu panas selama 4-6 jam. Ada juga Lap Lap - adalah puding panggang yang dimasak dari ubi parut, pisang raja, ketela, dan talas dicampur dengan santan, garam, bumbu lokal, kemudian dipanggang di bawah batu panas, disajikan dengan alas daun pisang. Sederhana tapi nikmat!
Vanuatu penuh dengan hasil bumi yang luar biasa, segar, organik, dan tidak menggunakan pengawet atau suplemen tambahan apa pun. Ini semua produk alami buatan tangan. Dari hasil tangkapan laut hari ini, buah-buahan segar seperti mangga hijau dari kebun Malekula, nanas, dan kelapa muda, daging sapi lokal yang lembut karena digembalakan secara bebas di padang rumput, hingga menu escargot dan foie gras khas masakan Prancis dapat dijumpai di berbagai rumah makan di Port Vila.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya makanan Prancis yang ditawarkan, ada restoran Amerika, Australia, Italia, India, dan Asia dengan Cina, dan Jepang yang ditata fusion Asian modern. Sayangnya restoran Indonesia belum ada.
Pengalaman tak terlupakan lainnya adalah ritual minum Kava yang disajikan dalam "cangkang" kelapa. Kava dibuat dari akar tanaman asli Kepulauan Pasifik Selatan. Kava diberikan sebagai minuman ‘penyambutan’ layaknya “wine” khas Vanuatu yang dinikmati bersama sahabat dan sanak saudara untuk lebih mendekatkan rasa kekeluargaan. Rasanya tak terkira….
Semangat “Vanuatu blong mi” (Bislama: ‘Vanuatu milik kami’)
Hampir sepekan mengajar angklung di Vanuatu Kaljoral Senta/VKS (Bahasa Bislama) atau Pusat Budaya Vanuatu. VKS adalah lembaga budaya nasional Vanuatu yang terletak di seberang Parlemen Nasional di Area Nambatu dan terus memainkan peran yang sangat penting dalam pelestarian dan promosi seluruh budaya daerah di Vanuatu. Seusai berlatih, hanya dengan berjalan kaki, selalu saya sempatkan mengunjungi Nasonal Musium Blong Vanuatu (Museum Nasional Vanuatu) untuk mempelajari budaya tradisional asli Vanuatu. Mulai dari menggambar pasir hingga musik unplug dan berbagai kearifan lokal yang dikemas dalam bentuk keping cakram—yang telah diaransemen secara kontemporer disebut "Sounds of Vanuatu" dengan suara hutan tropis dan nyanyian suku-suku di Vanuatu.
ADVERTISEMENT
Terdapat pula ukiran tradisional dari kayu, batu, koral, atau material vulkanik yang dicat dengan pewarna alami dari tumbuh-tumbuhan lokal, dan dicetak tangan dalam bentuk kano, mangkuk, burung, dan ikan. Penduduk pulau juga membuat topeng, tenun seperti keranjang, tikar, tembikar, serta perhiasan dan pakaian tradisional yang dapat dibeli di pasar tradisional atau di Haos Blong Handikraft & Mahitahi. Ini adalah tempat yang tepat untuk menghabiskan sore hari mengenal budaya dan sejarah Vanuatu.
Satu hari menjelang berakhinya Workshop Angklung Indonesia, sudah lima lagu termasuk lagu kebangsaan Vanuatu "Yumi, Yumi, Yumi" (Bislama: "Kami, Kami, Kami") dan lagu “Indonesia Pusaka” telah dimainkan dengan nyaris sempurna oleh anak-anak muda komunitas seni Port Vila. Bersemangat karena beberapa lagu akan dimainkan di depan Presiden Vanuatu pada saat perayaaan hari Kemerdekaannya, dan merupakan kehormatan bagi Indonesia karena seni musik angklung diberikan sesi khusus untuk memeriahkan acara kenegaraan tersebut. Seni memang tak terbatas. Tentu saja dengan tetap mengedepankan prinsip saling menghormati dan prinsip non-intervensi sebagai modal dasar bagi pengembangan hubungan bilateral yang kuat antara Indonesia dan Vanuatu untuk ke depannya. Art is Universal. Tankiu tumas! (terimakasih banyak!) dan Lukim Yu…..(sampai jumpa lagi)
ADVERTISEMENT
Live Update