Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Ketika Sang Maestro mengulik Diplomasi Susastra: Cogito Ergo Sum
27 Februari 2019 21:27 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:03 WIB
Tulisan dari Adriani Kusumawardani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
(kesaksian untuk kekaguman yang ‘sedikit’ terlambat…)
Berdiskusi dengan Legenda Sastra Indonesia sekaliber Taufiq Ismail pada saat saya mengikuti pendidikan dan latihan untuk Diplomat Madya di Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Kemenlu RI awal medio Februari lalu sungguh mampu mengharu-birukan perasaan dan intelektual yang saya miliki. Tak hanya karena semangatnya untuk terus berkarya menyuarakan sastra asli Indonesia yang ber-rima dan bemakna ‘dalam’ dengan misi terus meng-edukasi generasi muda untuk gemar membaca, mengisi waktu dengan menulis yang berkualitas, serta mengungkapkan rasa dan ekpresi tentang kehidupan yang bijak dan berwarna. Bahkan seorang Taufiq dalam hitungan masa yang tidak lagi masuk dalam kenormalan usia ‘produktif’, namun masih terus menulis prosa, puisi, kumpulan cerita, dan catatan kaki yang membuka pemikiran siapapun yang masih memiliki kecintaan kepada Indonesia dan tumpah darah Indonesia untuk berandai menjadi penutur handal melalui rangkaian tulisan yang sarat filosofi.
ADVERTISEMENT
Bicara tanpa batas tentang hakikat hidup dan kehidupan, proses perjuangan tanpa lelah menggapai cita-cita, dan kenikmatan tanpa pamrih untuk terus berbagi nilai-nilai positif yang mampu membangunkan semangat untuk terus bergerak maju, melawan kebodohan, meninggalkan ketidak-berdayaan, dan tekad kuat berkawan asa untuk tetap eksis melalui guratan pena adalah impresi dan kekaguman luar biasa yang dapat saya tangkap dari tatap muka kurang dari empat jam kala itu. Tak terbesit kelelahan, keputus-asaan, atau ‘kegamangan’ dalam segenap hidupnya untuk tidak menulis atau bercurah gagasan dalam konteks susastra dengan lintas generasi dan lintas pemangku kepentingan. “Cogito ergo sum”.
Saat itu, saya berkeyakinan bahwa seorang Taufiq Ismail adalah Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh tanpa perlu ‘kredensial’ untuk melegasikan mandatnya sebagai pelopor sekaligus penjaga karya sastra Indonesia, tak hanya di ranah domestik namun bahkan di tingkat global. Tanpa sadar saya mencari kejelasan pemahaman saya terhadap karya-karya fenomenal Taufiq Ismail yang ternyata telah ditranslasikan ke dalam bahasa Rusia, Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Arab, Jepang, Bosnia, Korea, termasuk dalam bahasa Jawa, dan dilantunkan di berbagai bangsa, dicintai para sahabatnya di seluruh dunia, diapresiasi tertinggi di negara lain, dan dihormati sebagai putra daerah dengan gelar ‘Datuk Panji Alam Khalifatulah’—dan ini perlu proses pembuktian akan gemilangnya karya tanpa putus dari pria Bukit Tinggi kelahiran 1935. Hebat! dan tak tergantikan. A Living Legend…
Makin dalam kupasan bahasan hari itu, makin jelas tersurat impian dan visi Taufiq untuk “menggemar-bacakan” anak-anak Indonesia sejak dini. Gemar membaca sebagai kebutuhan primer menumbuhkan ‘rasa’ dan kreativitas untuk berpikir tanpa sekat sejak masa kanak-kanak. Kebiasaan membaca menjadi capaian ‘kekayaan’ batin semua keluarga Indonesia, yang tidak hanya mengutamakan simbol-simbol hedonis dan merek mewah sebagai catatan keberhasilan dalam menjalankan fungsi keluarga, namun ke depannya, kepemilikan jumlah buku (baca: perpustakaan keluarga serta koleksi buku pribadi) dan kebiasaan baca buku ‘best seller’ yang akan menjadi indikator untuk kemapanan sosial sebuah keluarga Indonesia.
ADVERTISEMENT
Bilakah itu terjadi? Ini retorika.
Sambil terus menyimak semangat kecintaan Sang Maestro dalam mengajarkan bagaimana memupuk kebiasaan dan perilaku ‘baik’ dengan semua orang, berpretensi bahwa semua orang yang sebenarnya kita tahu punya kepentingan yang sangat jelas terbaca, dan bahkan mungkin dapat mencederai kepentingan dan ‘zona kenyamanan’ kita, namun tetap harus kita sikapi dengan tutur bahasa sopan, baik, dan tak menghinakan—jelas itu tidak mudah. Itu sikap yang ‘mandatory’ harus dimiliki seorang diplomat. Kehalusan budi pekerti merefleksikan kematangan pikir dan kedalaman intelektual yang saling melengkapi. Itukah wajah Indonesia tempo dulu? (mengingat Taufiq adalah generasi angkatan 66 di masanya!) Atau yang seharusnya? Ini retorika yang kedua.
Menuju sesi terakhir sebelum diingatkan oleh pengampu kelas karena waktu ishoma (istirahat, sholat, makan siang) hampir mendekat, saya kembali mencermati ulasannya dan menyelami pemikirannya dalam-dalam, sungguh seperti palung labirin dengan perkecualian tetap ada cahaya yang memberikan sinar untuk mengarahkan kita sehingga tidak tersesat dan takut dalam kegelapan tak berujung. Taufiq dengan lugas dan indahnya menyajikan ‘ilmu-ilmu tua’ yang terus terpakai dan menjadi landasan sebagai manusia Indonesia yang beradab, berakal budi, dan berakhlak. Belajar untuk terus menjadi pribadi yang berkembang dengan karakter Indonesia yang kental, berpikir dan berperilaku positif dengan terus menebarkan tauladan dan suri patut dicontoh untuk generasi yang lebih muda tanpa menghilangkan penghormatan kepada yang lebih dahulu membukakan jalan untuk perkehidupan kita, dan mengintegrasikan kecintaan supranasional yang masih masuk nalar dengan tetap mengindahkan perbedaan, kemajemukan, toleransi, termasuk kontribusi luhur para pahlawan dan figur besar yang membentuk negara Indonesia Raya. Sungguh bernas dan wajib untuk di-camkan dalam otak dan hati saya, sehingga tidak akan mudah terkontaminasi atau bahkan terhapus dalam kelemahan memori ingatan saya.
ADVERTISEMENT
Lima belas menit menjelang akhir, dengan serta merta ter-ide untuk membaca puisi meski sejengkal tentang ‘ketangguhan’ Palestina dalam keterkoyakan kekuasaan dan penderitaan tak berkesudahan rakyatnya untuk terus berjuang demi tanah yang dijanjikan. Tanpa sadar saya meneteskan keharuan yang segera saya tutupi dengan menundukkan kesombongan ego saya sebagai diplomat muda yang baru berupaya untuk menjelajah dunia politik luar negeri tanpa takaran dan tak mudah untuk diprediksi dengan kacamata kecerdasan, perse. Tiga setengah jam yang telah mengubah pemahaman saya tentang ‘rasa’, kecintaan, pengharapan, ketulusan, dan semangat kebajikan yang luar biasa dari seorang Pujangga Sastra Indonesia, seorang Taufiq Ismail. Taufiq Ismail adalah ‘Diplomat Indonesia’ tulen dengan kekuatan pena dan kata yang melebihi ribuan negosiasi tanpa perang dan tanpa konflik--pun dengan nilai pasti: mempromosikan kedahsyatan Indonesia pada seluruh tingkatan diplomasi tanpa perlu sebutan sebagai Delegasi RI atau Utusan Khusus—Taufiq mencerna diplomasi dengan aktualitas berkarya sampai tiba masanya.
ADVERTISEMENT