Konten dari Pengguna

Peran PBB dalam Mengatasi Konflik yang terjadi di Sudan Selatan

Advenadi Denisa
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia
7 Mei 2024 16:31 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Advenadi Denisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sudan Selatan sedang menghadapi konflik yang merugikan ketahanan pangan dan perekonomian. Sudan Selatan, meski merdeka sejak 2011, terus dilanda konflik internal antara Presiden Salva Kiir dan Wakil Presiden Riek Machar. Konflik ini menyebabkan jutaan pengungsi, ribuan korban meninggal, dan dampak serius pada kehidupan masyarakat dan perekonomian. Krisis pangan, dipicu oleh cuaca ekstrem, pertumbuhan penduduk, dan konflik berkelanjutan, semakin memperparah situasi. World Food Programme (WFP) dari PBB berupaya menangani krisis dengan memberikan bantuan pangan dan dukungan nutrisi sejak tahun 2012. Meskipun demikian, Sudan Selatan tetap dihadapkan pada masalah serius, termasuk statusnya sebagai negara paling miskin nomor satu menurut IMF pada tahun 2019.
Kondisi Sudan Selatan sumber: istock.com
zoom-in-whitePerbesar
Kondisi Sudan Selatan sumber: istock.com
1. Konflik Sudan Selatan pasca Merdeka
ADVERTISEMENT
Pada 9 Juli 2011, Sudan Selatan merdeka, menjadikan Juba sebagai ibu kota. Namun, infrastruktur yang terbatas, masalah pendidikan, nutrisi anak, dan hak perempuan menjadi tantangan. Kurangnya sumber daya manusia menjadi hambatan utama, dan persaingan politik antara Presiden Salva Kiir dan Wakil Presiden Riek Machar memperumit situasi. Konflik internal meletus pada Desember 2013, melibatkan kedua kelompok etnis, Dinka dan Nuer, dan menyebabkan ribuan kematian serta kehilangan tempat tinggal. Meskipun berbagai upaya perdamaian dilakukan, termasuk perjanjian gencatan senjata pada 2015 dan kembalinya Riek Machar sebagai Wakil Presiden pada 2016, konflik terus berlanjut, menggusur puluhan ribu orang dan merusak ekonomi dan ketahanan pangan.
Pada 2018, meskipun Kiir dan Machar setuju untuk menandatangani Deklarasi Gencatan Senjata Permanen, konflik berlanjut dengan serangan dan pelanggaran perjanjian. Konflik merambah daerah yang sebelumnya damai, mengakibatkan kerugian pada produksi pangan dan perekonomian. Setelah lebih dari lima tahun konflik, dampaknya terasa meluas: perekonomian hancur, korban mencapai 380.000 orang, sepertiga populasi mengungsi, dan kelaparan terjadi setiap detik. Kondisi politik yang stagnan, kurangnya layanan kesehatan, pembatasan pendidikan, dan gagal panen semakin memperparah krisis pangan dan kemiskinan. konflik ini dapat mengancam Sudan Selatan dengan kemiskinan dan krisis pangan yang lebih mendalam.
warga menyiapkan kebutuhan air di Sudan Selatan sumber: istock.com
2. Kondisi pangan Sudan Selatan
ADVERTISEMENT
Sudan Selatan menghadapi serangkaian masalah serius terkait krisis pangan, termasuk rendahnya produksi pangan akibat kekeringan, kerusuhan politik, dan berhentinya hampir total produksi minyak. Ekspor minyak negara tersebut juga mengalami penurunan tajam. Faktor-faktor seperti cuaca tidak stabil dan kegagalan panen turut menyumbang pada krisis pangan yang mencapai puncak pada tahun 2017, sebagaimana diumumkan oleh PBB.
Pertumbuhan penduduk yang signifikan di Sudan Selatan, mencapai lebih dari 10 juta orang pada tahun 2019, menjadi penyebab lain dari krisis pangan, yang dapat dilihat dari diagram pertumbuhan penduduk. Kenaikan harga pangan, terutama jagung, tepung, dan gandum, semakin memperparah kondisi, sementara harga sorgum naik setiap tahunnya sejak konflik dimulai. Lebih dari separuh populasi Sudan Selatan mengalami kekurangan pangan, kesulitan air bersih, dan 66% dari mereka bertahan hidup dengan kurang dari 2 dolar per hari. Keseluruhan kondisi ini menunjukkan tantangan besar bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka.
bantuan pangan WFP sumber: istock.com
3. Peran serta Kebijakan PBB
ADVERTISEMENT
Saat konflik terjadi di Sudan Selatan, pemerintah negara tersebut berusaha mengatasi krisis ekonomi dan pangan dengan berbagai langkah, termasuk menaikkan biaya izin kerja bantuan asing dan menyediakan investasi infrastruktur. Namun, solusi tergantung pada bantuan internasional. Organisasi internasional, seperti PBB melalui FAO, UNICEF, dan WFP, menunjukkan perhatian dengan memberikan bantuan makanan dan berbagai program untuk mengatasi dampak krisis pangan dan konflik di Sudan Selatan.
FAO berfokus pada meningkatkan sistem pangan dan memberantas kelaparan dengan bantuan jangka panjang, sementara UNICEF menangani kebutuhan anak-anak, terutama mereka yang terlibat dalam konflik. WFP, yang memiliki pengalaman luas di seluruh dunia, memberikan dukungan logistik dan program untuk membantu Sudan Selatan memulihkan ekonomi dan mengatasi kelaparan, termasuk upaya khusus dalam penanggulangan gizi buruk pada anak-anak. Melalui kerjasama ini, PBB dan organisasi internasional berupaya memberikan solusi holistik untuk mengatasi kompleksitas krisis di Sudan Selatan.
ADVERTISEMENT