Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menengok Pangsa Pasar PLTS, Bagaimana Kesiapan Indonesia?
8 September 2021 17:02 WIB
Tulisan dari Adyan Pamungkas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Latar Belakang Konsep Keterbaruan Energi
ADVERTISEMENT
Konsep tentang 'sustainability' saat ini menjadi sebuah fokus manusia dengan melihat banyak fenomena alam yang terjadi di era modern saat ini. Gagasan yang memikirkan kelangsungan hidup generasi di masa depan mulai tampak pada berbagai karangan buku yang kemudian menginspirasi adanya 17 pokok tujuan keberlanjutan dalam Sustainable Development Goals oleh PBB dan Paris Aggreement yang keduanya terlahir di tahun yang sama yaitu 2015. Pasca dua sejarah besar ini, ide mengenai keterbaruan energi tanpa emisi muncul di berbagai negara dunia. Salah satunya adalah penerapan tenaga surya untuk dijadikan energi listrik baik untuk komersial, industri, maupun yang lainnya. Maka era pangsa pasar yang besar dimulai untuk para praktisi maupun industri di sektor energi surya dalam menginvestasikan berbagai macam asetnya.
ADVERTISEMENT
Produk dan Pangsa Pasar Energi Surya di Dunia
Banyak negara menggunakan momen untuk melakukan transisi menuju pemanfaatan energi baru terbarukan di lingkup domestik. Sebagai contoh di tahun 2019, terdapat empat negara yang mampu melakukan pemanfaatan energi surya dengan skala yang tidak bisa dianggap enteng, beberapa diantara lain adalah China dengan kapasitas 205,2 GW, Amerika Serikat dengan kapasitas 75,9 GW, India dengan kapasitas 42,9 GW, Jepang dengan kapasitas 7 GW, dan masih banyak negara yang sedang berproses dalam mengembangkan energi terbarukan khususnya tenaga surya.
Besarnya pasar serta keterbutuhan energi yang makin tinggi membuat banyak perusahaan swasta yang berlomba-lomba dalam produksi pembuatan panel surya. Beberapa perusahaan besar tersebut diantaranya seperti Jinko Solar, JA solar, Trina Solar, Longi Solar, Canadian Solar dan masih banyak lagi. Kebanyakan para produsen panel surya berfokus kepada produksi solar panel berbasis kristalin silikon, karena mempertimbangkan segala keuntungan seperti modul efisiensi yang mencapai 13-19%, harga modul terjangkau, dan juga degradasi dari modul juga tergolong rendah. Kendati demikian untuk urusan harga produksi, panel surya berbahan kristalin silikon masih jauh lebih tinggi daripada panel surya berbahan thin film yang dapat pula dimanfaatkan sebagai modul PLTS dengan berbagai macam bentuk mulai dari mobil, kaca gedung, dan multi rooftop solar.
ADVERTISEMENT
Sedangkan melihat jumlah perbandingan produksinya di tahun 2018 menurut data dari ITRPV, panel surya berbahan thin film hanya diproduksi kurang lebih sekitar 10% dari total panel surya yang ada. Hal ini bukan tanpa alasan mengingat dalam proses manufakturnya, pembuatan panel surya dari thin film membutuhkan investasi yang utuh mulai dari substrat gelas, TCO, a-Si Layer, Back Contact, hingga menjadi sebuah modul di dalam satu kesatuan tempat produksi. Berbeda dengan panel surya berbahan kristalin silikon yang memungkinkan melakukan proses produksi secara terpisah dari tahap silicon, ingot, wafer, cell, hingga menjadi modul, imbasnya investor bisa secara mudah masuk di berbagai babak produksi.
Kondisi dan Tantangan Pengembangan PLTS di Indonesia
Ketika melihat kondisi teknologi pengembangan solar pan Indonesia, sepertinya kita masih perlu bersabar. Berdasarkan data IESR 2018, walaupun dengan potensi tenaga surya sebesar 2000 GW dan target terpasang panel surya pada PP No. 79 tahun 2014 adalah sejumlah 6,5 GWp di tahun 2025, Indonesia masih bertahan pada angka 0,15 GWp kapasitas PLTS terpasang. Artinya, masih panjang perjalanan Indonesia untuk meraih target bauran energi terutama di energi surya. Kendati demikian pada Roadmap Pasar PLTS di Indonesia yang diinisiasi oleh PT. LEN dan perusahaan BUMN lainnya sebagai pelopor penggunaan EBT di Indonesia, melaporkan dalam kurun waktu 2019 hingga 2025 pemanfaatan energi surya akan menunjukkan tren dengan peningkatan dari 0,11% hingga 0,5% dengan proyek meliputi RUPTL 2019-2025, PLTS anggaran Pemerintah, PLTS atap perumahan, komersial, maupun industri.
ADVERTISEMENT
Tantangan pangsa pasar PLTS di Indonesia adalah kesulitan pengadaan lahan bagi pembangunan PLTS skala besar, keterbatasan infrastruktur jaringan transmisi dan distribusi listrik, keterbukaan mindset masyarakat untuk berinvestasi yang kurang, rencana kebijakan Fit in Tariff yang masih belum jelas pengesahannya, dan masih banyak lagi. Beberapa permasalahan tersebut sejauh ini sedang menjadi fokus pemerintah untuk diatasi, dibuktikan dengan komitmen dalam Permen ESDM No. 49 tahun 2018, Permen ESDM No. 13 tahun 2019, Permen ESDM No.16 tahun 2019 mengenai penggunaan sistem pembangkit listrik tenaga surya atap oleh konsumen yang isinya menyangkut manfaat, tujuan, sistem, dan perhitungan ekspor impor listrik sebagai bentuk tagihan listrik suatu bangunan.
Peran Pihak Swasta dalam Pengembangan Tenaga Surya
Selain dari regulasi pemerintah, perusahaan swasta Indonesia juga ikut mengambil peran dalam pengembangan pasar PLTS di Indonesia, Asosiasi Pengusahan Modul Surya Indonesia (APAMSI) salah satunya. Asosiasi yang memiliki 12 perusahaan terdafaftar yang diketuai oleh PT LEN telah menjadi asosiasi yang cukup berpengaruh dalam pengembangan PLTS Indonesia dengan menyediakan akomodasi PLTS bagi konsumen baik skala kecil, menengah, maupun skala besar dalam pemasangan modul surya. Dimulai dari penyediaan informasi, survei, penawaran harga, kontrak, pengiriman material, instalasi, dan test-comm.
ADVERTISEMENT
Harapannya dengan terbitnya peraturan khusus mengenai pengadaan PLTS atap bagi komersial dan berbagai akses kemudahan dalam mengaplikasikan PLTS atap dengan sinergitas pihak swasta dapat membuat masyarakat lebih tercerdaskan dan membuka diri untuk berkontribusi dalam pengembangan energi baru terbarukan khususnya tenaga surya, sehingga pangsa pasar akan tumbuh dan ketergantungan terhadap energi fosil menurun secara bertahap.